Bukti DNA tidaklah seratus persen pasti. Manfaatnya dapat berkurang jika terjadi pencemaran dari DNA luar, di mana pun dalam perjalanan dari TKP ke laboratorium yang mengurutkan sampel itu. Sinyal yang jelas dari air mani, air liur, atau jaringan dapat memperkecil kemungkinan kecocokan semu hingga praktis nol, tetapi sedikitnya jumlah DNA yang tertinggal pada benda yang dipegang tersangka dapat jauh menurunkan keakuratan hasilnya. Dan kualitas pengurutan DNA di lab ditentukan oleh keterampilan orang yang melakukan analisis itu. Pada April 2015 analisis DNA di lab kriminal D.C. dibekukan selama 10 bulan dan lebih dari seratus kasusnya ditinjau, setelah dewan akreditasi mendapati bahwa para analisis di sana “tidak kompeten” dan menggunakan “prosedur yang kurang layak.”!break!
Sudah tujuh tahun berlalu sejak laporan National Academy of Sciences menyerukan pembenahan ilmu forensik. Beberapa rekomendasinya—membentuk National Institute of Forensic Sciences, misalnya—kemungkinan kecil terwujud karena alasan keuangan, kata narasumber pemerintah. Beberapa rekomendasi lain—seperti memperbanyak penelitian untuk mengetahui sejauh mana sebenarnya sidik jari, tanda gigitan, dan pola lain dapat diandalkan untuk mengidentifikasi orang—sedang dilaksanakan.
Pengembangan standar seperti itu penting agar ilmu forensik menjadi lebih, yah, ilmiah. National Institute of Standards and Technology (NIST) turut merumuskan daftar praktik terbaik tentang cara mengalibrasi alat, proses yang digunakan saat membandingkan sidik jari, serta cara menafsirkan selongsong peluru, pengujian profil DNA, dan hasil analisis obat. “Pada akhirnya akan ada daftar standar, yang menentukan tingkat standar yang harus dipenuhi,” kata John Butler, ahli kimia analitis di NIST.
NIST tidak bisa mewajibkan semua lembaga mengikuti pedomannya. Hal yang lebih mungkin terjadi, lembaga yang mampu menunjukkan bahwa mereka memenuhi standar suatu prosedur dapat memperoleh akreditasi. Saat survei 2014 meninjau lebih dari seribu penyedia jasa forensik, mencakup lab maupun kepolisian, para penulisnya mendapati bahwa lebih dari 70 persen tidak memiliki akreditasi umum.
Hambatan lain, kata Mnookin, adalah bahwa para hakim masih saja menerima bukti forensik yang meragukan—termasuk analisis rambut dan tanda gigitan. Sepanjang kesaksian seperti itu terus diterima di pengadilan, tidak banyak insentif bagi pakar forensik untuk melakukan perubahan besar.
Dengan teknik forensik tradisional disorot sedemikian rupa, apakah teknik baru yang berbasis sains seperti prakiraan fenotipe DNA menawarkan harapan lebih besar, ataukah hanya sumber ketidakpastian lain?
Pada 1 September 2015 Kantor Sheriff di Calcasieu Parish di kota Lake Charles, Louisiana, mengumumkan kepada media gambar wajah lelaki kulit putih yang disangka dalam pembunuhan Sierra Bouzigard. Gambar yang dihasilkan Parabon NanoLabs (lihat halaman 49) memperlihatkan berapa banyak informasi tentang penampilan seseorang yang dapat dikorek dari DNA dan berapa banyak yang tidak bisa.
Wajah itu aneh, tidak memiliki kepribadian atau emosi. Tidak ada yang mengintai di mata yang menyiratkan masa kecil tidak bahagia; tidak ada cibir pada bibir tebal yang dapat menandakan kecenderungan jahat atau kebencian pada aturan hukum.
Versi-versi baru teknik ini melengkapi profil garis keturunan dengan ciri fisik yang sudah diketahui akar genetikanya. Orang Asia Timur dan Eropa sama-sama berkulit putih—tetapi faktor genetis penyebabnya berbeda. Kulit putih orang Eropa terkait dengan versi tertentu gen yang disebut SLC24A5. Hampir semua orang Eropa memiliki dua salinan gen versi tersebut; orang non-Eropa dengan satu salinan gen versi itu kulitnya jauh lebih putih daripada orang yang tidak memilikinya sama sekali. “Jika saya duduk di ruangan yang penuh orang Amerika Afrika, saya bisa menebak dengan jitu siapa saja yang memiliki gen itu,” kata Mark Shriver, profesor antropologi biologi di Pennsylvania State University. “Efek gen itu memang sekuat itu.”
Selain melacak versi gen yang diketahui merupakan kode untuk ciri fisik tertentu, para penyusun fenotipe DNA dapat mencari variasi kecil, yang disebut polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism, SNP), yang bertaburan di seluruh genom. SNP diketahui berkaitan dengan ciri-ciri fisik, seperti warna rambut dan mata, kecenderungan kulit berbintik, dan apakah cuping telinga menempel atau tidak.!break!
Para peneliti di Parabon dan Human Longevity milik Venter melangkah lebih jauh dan menggunakan basis data komputer raksasa untuk mencari hubungan antara pola SNP dan bentuk ciri wajah. Relawan diminta mengisi kuesioner tentang penampilannya, termasuk misalnya apakah kulitnya berbintik-bintik. Sampel DNA setiap relawan lalu diperiksa di sekitar sejuta titik yang diketahui sering memunculkan SNP. Pemindai 3-D merekam bentuk wajah relawan—sudut khas pada tulang pipi, garis rahang, hidung, dan sebagainya—untuk membuat citra wajah yang dikomputerisasi. Algoritme komputer lalu dapat mencari kaitan antara pola SNP tertentu dengan ciri mencolok dalam pindaian 3-D pada orang itu, misalnya garis rahang atau bentuk hidung—pengolahan data masif yang dapat memakan waktu berminggu-minggu, dijalankan pada ratusan komputer. Hasil korelasi antara pola SNP dan ciri wajah yang diketahui lalu dapat digunakan untuk proses sebaliknya, menyusun wajah dari sampel DNA milik orang yang tidak diketahui—seperti pembunuh yang jaringannya ditemukan di balik kuku Bouzigard.
Pertanyaannya, tentu saja, seberapa mirip gambar wajah itu dengan orang yang DNA-nya digunakan untuk membuat gambar itu, sehingga dapat mengeliminasi orang lain, bahkan orang dengan garis keturunan geografis serupa. Secara teori, semakin banyak orang dari beragam etnis dan profil wajah menyumbang ke basis data DNA, semakin tinggi kemampuan basis data itu memperkirakan wajah tersangka kejahatan. Yang belum ada sejauh ini, kata Manfred Kayser, profesor di Erasmus University Rotterdam yang mengembangkan uji yang memperkirakan warna mata dan rambut dari DNA, adalah bukti yang jelas dan diterbitkan, bahwa model yang dibuat dari basis data ribuan orang mampu menghasilkan gambar wajah yang mirip untuk orang yang tidak termasuk dalam basis data tersebut. “Yang penting, kegiatan mereka harus dapat divalidasi, dapat direplikasi,” katanya.
Menurut Steven Armentrout, CEO Parabon, orang harus memahami manfaat rekonstruksi wajah dari perusahaan tersebut: bukan untuk mengidentifikasi tersangka tertentu, melainkan mengeliminasi orang yang jelas tidak mirip gambar itu, dimulai dengan orang yang jelas tidak cocok—seperti buruh Meksiko dalam kasus Bouzigard.
“Kelak,” ujar Armentrout, “kita akan melakukan ini pada awal penyidikan—siapa yang masuk dalam daftar tersangka, siapa yang tidak.” Sementara arah penyidikan menyempit, DNA seorang tersangka yang tidak dieliminasi oleh Parabon Snapshot dapat diuji terhadap sampel yang tertinggal di TKP. Dan prakiraan fenotipe yang dilakukan Parabon tidak dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang tertentu.
“Saya ingin menegaskan hal itu,” kata Armentrout. “Teknologi baru ini sebenarnya semata-mata agar proses penegakan hukum lebih efisien.”
Les Blanchard, detektif di Lake Charles yang berharap dapat memecahkan kasus pembunuhan Sierra Bouzigard, berkata bahwa dia dan timnya telah memperoleh banyak informasi sejak mengumumkan Parabon Snapshot September lalu. Mereka sudah mulai mengunjungi rumah-rumah.
Saat artikel ini ditulis, belum ada kecocokan.