Hingga Tetes Terakhir

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 14:00 WIB

“Wah,” seru Brownie Wilson, ketika pita ukur baja yang saya turunkan ke dalam leher sumur irigasi di padang rumput Kansas meluncur dan terulur dengan cepat ke kedalaman di bawah.

Sumur itu, yang cukup besar untuk membuat orang terperosok, memperoleh air dari akuifer Ogallala, cekungan air tawar raksasa bawah tanah yang memungkinkan adanya kehidupan modern di negara-negara bagian kering di tengah Amerika. Kami ke sini untuk mengevaluasi kesehatan akuifer tersebut. Ujung pita yang diberi pemberat itu mengenai air pada kedalaman 60 meter, 30 sentimeter lebih rendah daripada setahun yang lalu. Dengan penurunan secepat ini, sumur ini sudah mendekati ajalnya. “Sekarang saja air di sumur ini tidak cukup untuk keperluan irigasi sepanjang musim panas,” kata Wilson.

Saat itu 3 Januari, dan kami hanya berdua di bentang datar nan luas yang dikelilingi cakrawala biru muda 360 derajat, tak terlihat segumpal awan pun, sebatang pohon pun. Kami berada 1.200 meter di atas permukaan laut, yang menyebabkan tempat ini disebut High Plains. Angin tiada henti, namun kini tenang, hal langka pada musim ini, meski mobil SUV Wilson dipenuhi peralatan untuk menghadapi bencana cuaca apa pun yang dapat terjadi. Di padang di belakang kami, kerangka batang baja dari alat siram irigasi putar merentang di atas tanah cokelat, bagaikan serangga raksasa dari novel fiksi ilmiah, tidur hingga musim semi.

Wilson adalah manajer data air di Kansas Geological Survey dan anggota tim yang mengunjungi Kansas bagian barat setiap musim dingin untuk mencatat seberapa cepat akuifer ini menghilang. Air di bawah kaki kami telah terkumpul dalam batuan berpori-pori selama sekitar 15.000 tahun, sebelum akhir zaman es terakhir. Selama 60 tahun terakhir, akuifer Ogallala telah dipompa keluar lebih cepat daripada tetes hujan dan leleh salju dapat meresap kembali ke tanah untuk mengisinya kembali, terutama oleh mesin irigasi seperti mesin yang sedang lelap itu. Akibatnya, di beberapa bagian, sudah mengering. Penyusutan itu terus berlanjut, pada tahun kering maupun basah. Pada 2015 hujan turun sangat lebat—150 sampai 200 persen di atas normal. Meski demikian, ketinggian air di sumur turun lagi.

Bersama Wilson, hampir selesailah perjalanan saya sepanjang 8.000 kilometer di jalan-jalan kecil di wilayah Ogallala, dari South Dakota hingga Texas. Perjalanan ini membawa saya melintasi beberapa lahan tani paling produktif di dunia, yang membentuk industri senilai setidaknya 271 miliar rupiah per tahun, memelihara hampir seperlima gandum, jagung, dan sapi Amerika Serikat. Tempat ini juga tengah menghadapi pilihan sulit: Petani bisa mengurangi konsumsi air untuk memperpanjang usia akuifer. Atau mereka melanjutkan perjalanan yang ujungnya sudah di depan mata. Sebagian petani tidak suka perumusan dilema yang suram seperti ini. Namun, jika mereka tidak mengurangi penyedotan air dan akuifernya terkuras, pasar makanan di seluruh dunia akan merasakan dampak yang besar. Dalam beberapa dasawarsa ke depan, krisis yang berjalan lambat ini akan terjadi justru saat dunia perlu meningkatkan produksi makanan sebesar 60 persen, menurut PBB, untuk memberi makan lebih dari sembilan miliar orang pada pertengahan abad.

Pengurasan akuifer terbesar Amerika Utara juga terjadi di tempat lain di dunia, saat cekungan air tanah besar di Asia, Afrika, dan Timur Tengah menyusut dengan cepat. Banyak di antara akuifer ini, termasuk Ogallala selatan, sulit pulih. Setelah airnya habis, perlu waktu ribuan tahun untuk mengisinya lagi.

“Konsekuensinya pasti dahsyat di masa depan,” kata Jay Famiglietti, ilmuwan air senior di NASA Jet Propulsion Laboratory dan peneliti kepala dalam kajian yang menggunakan satelit untuk merekam perubahan di 37 akuifer terbesar di dunia. “Kita perlu mempertahankan air tanah untuk mempertahankan produksi makanan, tetapi itu tidak kita lakukan. Apakah pengurasan akuifer Ogallala tindakan yang bijak bagi produksi makanan di AS dan di dunia? Inilah pertanyaan yang perlu kita jawab.”

Rute yang diambil Wilson membawa kami ke tempat yang berjarak 30 kilometer di sebelah timur perbatasan Colorado. Orang-orang yang tinggal di atas akuifer Ogallala, yang juga disebut akuifer High Plains, sering menggambarkan air di sana sebagai tebal atau tipis. Penggambaran ini mencerminkan kondisi akuifer itu sendiri. Akuifer Ogallala adalah spons raksasa bawah tanah yang terbuat dari campuran ke-rakal, lumpur, pasir, dan tanah liat. Semua air ditampung dalam celah-celah pada spons. Jika lapisan tanah atas digulung seperti karpet, kata Wilson, spons di bawahnya mirip kertas wadah telur yang kosong, penuh puncak dan lembah dengan beragam kedalaman. Di beberapa bagian Nebraska barat, yang air di akuifer Ogallala-nya masih melimpah, spons itu meluas hingga 300 meter di bawah permukaan bumi, yang berarti airnya “tebal”. Di Kansas barat, tempat kami berada, akuifer begitu bergelombang sehingga jarak antara air “tipis” dan air “tebal” biasanya hanya beberapa kilometer.

Hari masih pagi ketika kami tiba di Mai Farms, usaha keluarga yang menanam gandum musim dingin untuk King Arthur Flour. Keluarga Mai, orang Jerman yang beremigrasi dari Rusia, datang persis ketika Dust Bowl terjadi. Pertanian pertama mereka tertutup debu dan bangkrut. Pertanian kedua, 30 kilometer dari yang pertama, selamat dan tumbuh subur. Bill Mai lahir di sana pada 1936 dan masih tinggal di sana hingga kini. Sumur pertama yang kami ukur dibor pada 1948 oleh ayah Mai untuk menopang kelangsungan pertaniannya pada masa-masa kekeringan.

Sumur itu terhitung canggih saat itu, menyedot 3.800 liter per menit, kecepatan yang dapat mengisi kolam renang ukuran Olimpiade dalam setengah hari. Mai sudah 16 tahun tidak mengairi ladangnya. Para tetangganya menyedot begitu banyak dari sumur mereka, sehingga sumur Mai sendiri turun 30 sentimeter setiap tahun. “Tetangga persis di seberang jalan dari sini menanam jagung,” katanya. Jagung irigasi sangat menguntungkan, tetapi menggunakan banyak air. Saya bertanya kepada Mai, apa yang dapat dilakukannya soal ini. Tidak ada, katanya. Perang hukum soal hak air “tak ada gunanya,” katanya, terutama karena airnya juga akan habis.

Selama 20 tahun Mai beralih kembali ke pertanian lahan kering—atau tanpa irigasi—berjaga kalau-kalau air di sumurnya habis. Laporan tentang akuifer sebagai sumber daya yang menipis sudah ada sejak 1930-an, ketika komite memerhatikan bahwa mendasarkan perekonomian pertanian yang berkembang pada sumber daya yang terbatas itu kontradiktif.

Bagi delapan negara bagian yang terletak di atas akuifer Ogallala, keragaman hidrologi yang kompleks di bawah tanah—dan keragaman hukum negara bagian, situasi politik, dan tradisi pertanian di permukaan—mempersulit upaya untuk melestarikan akuifer alih-alih menyedotnya. Kedelapan negara bagian itu memantau penggunaan air, membentuk rekaman penting tentang berapa banyak yang disedot setiap tahun. Tetapi, memangkas penggunaan, lebih sulit. Air tanah di Kansas dan Nebraska, misalnya, adalah milik publik. Hak air diberikan kepada pemilik lahan oleh pemerintah negara bagian itu, yang menetapkan jumlah tertentu yang dapat digunakan secara legal. Masalahnya adalah bahwa di daerah yang bermasalah, jumlah yang tersedia di atas kertas biasanya melebihi jumlah yang tersisa di tanah.

Hukum air di Texas jauh berbeda. Air tanah bukan milik publik; warga Texas dapat memompa air sebanyak-banyaknya di lahannya.