Bulu Kembali Diburu

By , Kamis, 8 September 2016 | 12:30 WIB

Udara pertengahan Februari di wilayah utara Amerika membekukan jemari kaki. Kami berjalan menginjaki salju menuju lahan basah berkedalaman 23 sentimeter yang telah beku.

Bill Mackowski, yang telah 60 tahun menjadi pemerangkap terutama di sekitar bagian utara Maine, menunjuk beberapa dahan pohon alder yang mencuat menembus salju. Berang-berang mulai mengumpulkan ranting-ranting poplar kala udara mulai dingin, dia menjelaskan, lalu menumpuk ranting-ranting alder yang tidak bisa dimakan untuk menahan ranting-ranting poplar agar terkubur di bawah lapisan es, tempat mereka bisa memakannya selama musim dingin. Dia menghantam lapisan es hingga pecah dengan tongkat logam. Mackowski melebarkan lubang di permukaan es dan mulai menarik, hingga sebuah perangkat baja terangkat dari permukaan air. Itu perangkap, menjepit erat leher berang-berang besar.

Bulu binatang ini hanya dihargai sekitar 328 ribu rupiah, dia mengira-ngira, tetapi sepanjang perjalanan pulang dia tampak puas, sebagaimana seribu generasi pemburu dan pemerangkap ulung sebelum dirinya.

Sejujurnya, mengabaikan pembantaian sepertinya bukan masalah lagi. Model-model papan atas yang pernah berpose untuk iklan kini memeragakan bulu hewan. Para perancang busana yang “enggan menyentuhnya” 15 atau 20 tahun silam juga telah “mengabaikan hal tabu itu,” ujar Dan Mullen, peternak cerpelai di Nova Scotia. Banyak pelaku perdagangan bulu hewan mengakui bahwa para aktivis yang dahulu memprotes keras, ada benarnya: Peternak tidak memberikan standar perawatan yang baik bagi hewan mereka. Tetapi para pelaku perdagangan ini menambahkan bahwa dunia perdagangan telah berubah, walaupun para aktivis tetap menyanggah. Bagaimanapun, banyak orang kini sepertinya beranggapan bahwa mengenakan bulu hewan adalah urusan pribadi seseorang.

Peternakan hewan berbulu indah mendominasi perdagangan, dan produksi bulu hewan meningkat hingga lebih dari dua kali lipat sejak 1990-an, menjadi sekitar seratus juta kulit tahun lalu, sebagian besar di antaranya dari cerpelai dan beberapa jenis rubah. Para pemerangkap biasanya menambah pula jutaan kulit berang-berang liar, anjing hutan, muskrat, dan yang lainnya. Itu belum termasuk jutaan lainnya dari hewan yang diambil daging sekaligus kulitnya seperti sapi, domba, kelinci, burung unta, buaya, alligator, dan buaya caiman.

Bulu hewan yang dahulu menjadi pilihan busana musim dingin wanita Park Avenue dan penggemar pesta country club, kini digemari oleh penyanyi hip-hop dan Generasi Z. Bulu hewan tampil di berbagai musim dan dijadikan sarung bantal, dompet, sepatu berhak tinggi, gantungan kunci, baju hangat, syal, dan kap lampu. Ada mantel bulu bercorak kamuflase, mantel bulu celup ikat, dan mantel bulu bercorak ilusi optik kotak-kotak M. C. Escher.

Para pemerangkap biasanya menambah pula jutaan kulit berang-berang liar, anjing hutan, muskrat, dan yang lainnya.

Jadi bagaimana bulu hewan meraih kejayaan kembali setelah mengalami pengucilan sosial besar-besaran pada 1990-an? Atau, dari reputasi buruknya pada 1960-an, ketika perdagangan bulu hewan di dunia nyata mengancam kelestarian macan tutul, ocelot, dan spesies lainnya di alam liar? Larangan baru pada 1970-an mengakhiri penggunaan spesies langka dalam dunia mode. Tetapi kebangkitan yang terjadi saat ini adalah kisah perdagangan bulu hewan yang menjawab para kritikusnya dan kerap mengungguli mereka, berpadu dengan meningkatnya permintaan dari orang-orang kaya baru di Tiongkok, Korea Selatan, dan Rusia.

Kakek buyut saya adalah pemerangkap hewan berbulu indah, dan naluri saya mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan berburu, memancing, dan bekerja dengan makhluk hidup memiliki nilai yang sebagian besarnya telah lenyap di kehidupan urban kita. Selain itu, saya dan istri saya pernah mewarisi sebuah jaket bulu ocelot, dan ke-15 set bulunya menghantui kami sampai akhirnya kami menyumbangkannya sebagai alat peraga pendidikan ke sebuah pusat perlindungan satwa liar nasional.

Saya menuju Nova Scotia, sebuah pusat perdagangan bulu hewan. Mullen mengundang saya melihat bagaimana cerpelai ternakannya hidup dan juga bagaimana mereka mati.

Mullen menghabiskan masa kanak-kanaknya di peternakan cerpelai model lama, dengan kandang kayu yang sempit, panjang, terbuka, dengan sebaris kurungan kecil di kedua sisinya. Ketika dia terjun ke bisnis ini, dia memilih kurungan lebih besar yang kini diwajibkan di Eropa, memasang enam baris kurungan yang saling berseberangan di bawah atap plastik transparan di bangunan kandang sepanjang lapangan sepak bola. Seorang pekerja mengendarai kereta pakan menyusuri lorong berkali-kali dalam sehari, meletakkan pakan berwujud mirip hamburger mentah yang diformulasikan secara ilmiah dan diatur porsinya oleh komputer di atas setiap kurungan. Pipa bebas es menyalurkan air minum 24 jam per hari, dan penampung di bawah kurungan secara otomatis membuang kotoran cerpelai untuk diproses menjadi pupuk atau, menggunakan biodigester, menjadi listrik.

Perubahan-perubahan tersebut ada terutama untuk menanggapi tekanan dari para advokat kesejahteraan binatang. Tetapi itu juga kerap menguntungkan para peternak. Kurungan Mullen, misalnya, masing-masing dilengkapi sebuah rak tinggi agar induk yang masih menyusui bisa menjauh sejenak dari anak-anaknya—dan ternyata induk yang lebih santai menghasilkan anak-anak yang lebih sehat. Mainan di dalam kurungan mengurangi stres dan sepertinya menghasilkan bulu berkualitas lebih baik. Alhasil pelaku perdagangan bulu hewan kini kerap menyombongkan perbaikan yang dahulu dipaksakan oleh lawan mereka.

Cerpelai Mullen ternyata besar dan tampak sehat—berbobot dua kali lipat kerabat mereka yang hidup di alam liar, dengan wajah lebar penuh rasa ingin tahu. Mereka, sudah pasti, juga bernasib buruk. Saya datang untuk melihat pembunuhan. Pekerja peternakan, menghampiri sangkar demi sangkar, mengangkat masing-masing hewan di pangkal ekornya. Beberapa cerpelai memekik marah, namun sebagian besar sepertinya sudah biasa dipegang, hingga saat mereka dijatuhkan, seperti paket ke dalam kotak pos, melalui pintu ayun kotak pembantaian karbon monoksida. Mereka kehilangan kesadaran dalam semenit dan kehilangan nyawa beberapa menit kemudian.

“Kalau Anda melihat hewan ternak jenis lain dibunuh,” kata Mullen, “mereka biasanya diambil dari rumah mereka, diangkut dengan truk hingga ratusan kilometer jauhnya ke tempat pemotongan hewan, dan prosesnya berdarah dan mengerikan. Ini bentuk pembunuhan hewan ternak yang paling manusiawi.” Keesokan harinya kami mengunjungi pabrik pengolahan, tempat mesin-mesin mengiris kulit dari setiap bangkai dan mencopotnya secara utuh, seperti kaus.