Gelombang Pun Datang

By , Selasa, 18 Oktober 2016 | 11:30 WIB

Pada Senin pagi, tepat setelah matahari terbit, untuk pertama kalinya tampaklah pemandangan Kuba. Pulau itu memiliki panjang hampir 1.300 kilometer dari ujung ke ujung. Untuk sesaat, cakrawalanya berkilauan, lalu menjadi garis berbukit berlatarkan langit merah muda, dan akhirnya: atap bangunan.

Dek paling atas kapal kami penuh sesak dengan awak media televisi; orang lainnya bercampur-baur di sepanjang selusur dek di bawahnya. Kini, kami menuju Malecón, dinding penahan ombak sekaligus tempat berjalan-jalan untuk orang yang mencari udara segar, atau ingin mundur sejenak dari pekerjaan rumah tangga. Pada sore hari yang hangat, orang Kuba selalu memenuhi Malecón. Namun, ini sesuatu yang baru­—jam sembilan pagi, dan kerumunan orang telah berkumpul di situ, menggoyangkan bendera mereka dan melambaikan tangan. Bersorak-sorai!

Tak seorang pun dari kami tahu harus berharap apa; saat kami berangkat dari Miami pada hari Minggu sore, ada spekulasi bahwa kapal pesiar pertama dari AS yang berlabuh di Kuba setelah hampir empat dasawarsa bisa memicu kekerasan anti-Castro. Dan kini, begitu kami merapat ke terminal kapal penumpang di Havana, perayaannya begitu gegap gempita. Petugas gerai penukaran mata uang dan saya pun saling berteriak dalam bahasa Spanyol melalui kaca yang membatasi kami.

Saya: “apa di sini selalu seribut ini?” Petugas penukaran: “apa?” Saya: “drum, musik, penari? mereka selalu menyambut kapal?” Petugas penukaran: “apa?” Ia lalu menyelipkan sebuah pulpen, dan saya pun menulis di balik selembar kertas tanda terima: “apa ini khusus untuk orang amerika?” Ia mengangguk, tersenyum penuh penyesalan. Penari-penari wanita yang berkumpul di situ memakai sepatu berhak tinggi dan berbalut baju renang bermotif bendera Kuba, dengan hiasan bintang perak besar tersemat di rambutnya. Kami melihat dua dari mereka saling merangkul, tersenyum, dan berpose ke arah seorang penumpang pria bercelana pendek yang baru turun dari kapal. Ada sesuatu yang terlintas di raut wajah sang petugas penukaran uang­—tidak suka, saya rasa—lalu ia pun menunduk dan melanjutkan menghitung peso. Foto-foto ponsel yang memperlihatkan wanita cantik setempat pasti akan menyebar dengan amat cepat, dan menimbulkan masalah.

“Amiga, ayo duduk di antara kami,” desak Javier dan Lydia. Mereka itu bertetangga di sebuah bangunan tua di Havana, tak jauh dari terminal kapal. Mereka membawa segulung senar pancing dan beberapa potong udang untuk umpan. Mereka duduk berdampingan di atas dinding penahan ombak yang ramai, dengan tali pancing di air dan memandang ke arah kapal yang berlabuh. Kemudian, mereka  bergeser untuk memberi tempat duduk bagi saya.

Dari luar sini, bagi saya kapal itu tampak seperti objek paling besar di seantero tepi laut Havana. Di atas permukaan air, kami bisa menghitung sembilan susun jendela bundar dan lempengan kaca jendela (fotografer David Guttenfelder dan saya tinggal dalam dua kamar di kapal itu selama seminggu, di suatu tempat di tingkat empat). Saya juga berpikir bahwa dari sudut pandang orang Kuba, keseluruhan kapal putih besar yang berkilauan itu pastilah menjulang seperti sebuah papan baliho raksasa: Orang Amerika Datang. Persiapkan Dirimu.

Di satu pihak, segala yang penting tentang perjalanan pertama dari Miami ke Kuba ini—semua yang bersifat histórico—ada di depan mata, dan ada dalam antisipasi terhadap apa yang akan muncul selanjutnya. Kapal pesiar bukanlah sesuatu yang baru bagi Kuba. Hotel terapung raksasa berbendera negara lain telah mengunjunginya selama sekian dasawarsa. Bahkan, pariwisata secara umum bukanlah hal yang baru bagi Kuba. Setelah Uni Soviet tumbang, dukungan ekonomi pun berakhir, menimbulkan depresi berat. Kementerian Kuba pun menyetujui dibangunnya sanggraloka pantai yang baru, yang menjadi terkenal di kalangan orang Kanada dan Eropa.

Meskipun embargo AS masih melarang warga AS untuk pergi ke Kuba dalam rangka yang disebut oleh Departemen Keuangan AS sebagai “kegiatan wisata,” orang Amerika mulai berdatangan dalam jumlah yang dapat diamati sejak lima tahun silam. Bahkan, sebelum diumumkan pernyataan pada Desember 2014, bahwa hubungan diplomatik akan diadakan kembali, pemerintahan Obama menyetujui tur untuk “perjalanan antarpribadi yang sifatnya edukasi.” Suatu kategori yang spesifik untuk Kuba. Gagasannya adalah: tak boleh berbaring di pantai seharian sambil minum rum, tetapi boleh mengunjungi sekolah yang mengajarkan cara bermain biola kepada anak-anak dari pencampur minuman rum.

Meskipun embargo AS masih melarang warga AS untuk pergi ke Kuba dalam rangka yang disebut oleh Departemen Keuangan AS sebagai “kegiatan wisata,” orang Amerika mulai berdatangan dalam jumlah yang dapat diamati sejak lima tahun silam.

Lalu, pada Maret tahun ini pemerintah AS menyatakan bahwa orang Amerika boleh melakukan perjalanan antarpribadi atas biaya dan usaha sendiri, dengan syarat menandatangani surat pernyataan untuk mengikuti aturan embargo. Pada Juni, pemerintah AS memberi lampu hijau untuk penerbangan terjadwal rutin ke Kuba. Penerbangan sewaan telah mengudara dari Florida sedemikian seringnya, sehingga papan petunjuk keberangkatan Bandara Internasional Miami menempatkan Cienfuegos, Kuba, di antara Chicago dan Cincinnati.

Cienfuegos bahkan bukanlah salah satu kota terbesar di Kuba. Namun demikian, kini kota ini mempunyai sebuah bandara internasional dan sebuah pelabuhan kapal pesiar, dan menjadi tempat kedua dari tiga persinggahan di sepanjang pelayaran Adonia di wilayah Kuba. Tujuh ratus wisatawan dalam satu perjalanan membutuhkan penggembalaan sungguh-sungguh untuk mengelilingi kota agak kecil seperti Cienfuegos. Javier mengatakan kepada saya, ia cukup yakin negaranya mampu menghadapi tsunami wisatawan yang akan terjadi. Istilah tsunami ini lebih dari sekali saya dengar keluar dari mulut orang Kuba selagi mereka memikirkan apa yang tengah terjadi. “Keadaan akan berubah. Tetapi sedikit demi sedikit,” ujar Javier. “Ini akan bagus untuk negara kami, lihat saja. Kita akan tahu nanti.”

Pasar bahan makanan, cienfuegos: Yanet, penjaja sayuran, bersandar di meja kiosnya dengan raut muka senang saat orang Amerika lewat berderap di luar, beberapa di antaranya berhenti cukup lama untuk melongok ke dalam dan mengambil foto. Penginapan, Havana: Señora Martha, sang pemilik tempat, berkata bahwa penumpang kapal pesiar tak ada gunanya buat dirinya, tetapi negaranya amat memerlukan lebih banyak bisnis. Tempat menunggu taksi, Santiago de Cuba: Jorge, mantan insinyur sipil, kini mengantarkan wisatawan berkeliling dalam mobil Lada tua buatan Rusia karena pendapatannya jauh lebih besar ketimbang pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai negeri sipil. Ia mendengar orang-orang khawatir aliran masuk ini pada akhirnya akan membawa narkoba, eksploitasi, dan peningkatan prostitusi. (“Saya pikir tak begitu. Saya percaya dengan pemerintah kami, nilai-nilai kami—dan dengan moralitas norteamericanos, orang amerika utara.”)

Di Kuba, resolver atau mencari penyelesaian masalah, merupakan kata kerja yang amat penting. Artinya bagi Kuba adalah mengelola tantangan kehidupan modern Kuba dengan kecerdikan kreatif. Di kalangan warga negara biasa, banyak orang yang telah menyelesaikan masalah dan berimprovisasi dalam melewati keadaan kejatuhan pasca-Soviet. Ini adalah suatu kebanggaan nasional. Termasuk dalam menghadapi keadaan akibat kesalahan kelola dan tindakan berlebihan di luar kemampuan yang dilakukan kementerian di sana, dan melalui masa embargo AS yang amat lama. 

Kini di Kuba, paradoks pariwisata begitu lantang dan membingungkan. Kesampingkan sejenak pertengkaran politik tentang apakah yang salah embargo Amerika, ataukah Partai Komunis Kuba. Hal yang ada pada brosur perjalanan wisata yang ditujukan bagi orang Amerika adalah: di seantero pulau tidak ada modernitas materi dari perdagangan yang telah dikenal, yang bersifat Amerika. Tidak ada McDonald’s . “Sembilan puluh sembilan persen warga Amerika yang berencana mengunjungi Kuba mengatakan hal yang sama,” demikian arsitek Havana Miguel Coyula memberi tahu saya. “’Saya mau melihat Havana sekarang.’”