Kini di Kuba, paradoks pariwisata begitu lantang dan membingungkan. Kesampingkan sejenak pertengkaran politik tentang apakah yang salah embargo Amerika, ataukah Partai Komunis Kuba.
Sebelum “Jurassic Park perkotaan,” begitu Coyula suka berseloroh, menjadi ... apa? Coyula tidaklah menentang pariwisata; mengakomodasi orang Amerika baginya terlihat seperti industri pertumbuhan yang jelas bagi pulau terbesar di Karibia ini. Ancaman dari kekaguman berlebihan oleh para pengunjung, jelas bagi dirinya. Bahkan, selagi Adonia mengelilingi Kuba, beberapa lusin akademisi dan pejabat tengah berkumpul dalam sebuah konferensi. Salah satu hal yang dipresentasikan: Sebuah klip dari Bye Bye Barcelona, film dokumenter yang menyoroti kasus gerombolan besar wisatawan, yang telah membuat kota Spanyol itu nyaris tak bisa jadi tempat tinggal bagi warganya sendiri. “seperti taman hiburan,” keluh seorang warga.
Bagi pulau besar penuh pantai yang berjarak 145 kilometer dari AS, ini bukanlah perbandingan tak masuk akal. Sejumlah kapal yang kini mengarungi Karibia bisa menampung penumpang enam kali lipat lebih banyak daripada Adonia; Carnival Corporation, pemilik kapal ini, tengah merancang perjalanan di Kuba. Begitu pula setiap perusahaan wisata Amerika yang tertarik dengan kawasan Karibia (termasuk Ekspedisi National Geographic, yang rutin melakukan perjalanan antarpribadi ke Kuba).
Setidaknya ada tiga juta orang Amerika dalam setahun. Akhirnya, itulah yang diperkirakan para ekonom. Populasi Kuba adalah sebelas juta, dan banyak yang masih melakukan resolver: Untuk bisa mendapat cukup susu bubuk bagi anak-anaknya, untuk sebuah balkon yang tidak akan runtuh. Bagaimana membawa masuk semua orang Amerika itu dengan cara yang benar-benar meningkatkan kehidupan orang Kuba?
“Saya sudah memikirkan hal ini,” ujar Rafael Betancourt, profesor ekonomi di sebuah universitas di Havana yang membantu mengatur konferensi pariwisata. “Selalu ada risiko. Tetapi, saya adalah orang yang optimistis. Saya percaya kami punya tradisi, budaya, dan sejarah yang sangat solid milik kami sendiri.”
Satu hal lagi, ujarnya: baju renang bendera Kuba. Bendera negara mana pun harus diperlakukan dengan lebih terhormat daripada itu, demikian tulis para penulis esai. Salah satunya berbicara tentang vergüenza, rasa malu, merujuk kepada penulis nasionalis terpandang Nicolás Guillén. Pada 1930-an—jauh sebelum Revolusi Kuba—ia menulis puisi tentang pemain marakas penurut yang tergopoh-gopoh menuju kapal pesiar Amerika untuk mencari dolar.
Betancourt menghela napas saat saya bertanya tentang esai tersebut. Ia berkata bahwa tak ada seorang pun yang ia kenal yang marah terhadap penari berbusana renang itu. “Mereka tak melakukannya untuk menghina bendera Kuba,” ujarnya. Seluruh kebisingan itu hanyalah gagasan seseorang tentang Kuba yang Menyambut Hangat, Gegap Gempita, Ramah, dan Menari, begitu katanya, dan kepanikan seperti ini bisa ada gunanya. “Ini menimbulkan diskusi,”katanya. “Seperti sakelar. Dan kami harus waspada. Kami harus sangat berhati-hati. Ini adalah negara yang tidak sudi identitasnya direnggut.”