Perlombaan ke Planet Merah

By , Senin, 7 November 2016 | 15:00 WIB

Elon Musk ingin pergi ke  Mars.Dia terkenal pernah berkata ingin meninggal di Mars, asal jangan karena gagal mendarat. Teknologi yang bisa mencegah kecelakaan seperti itu, telah lolos ujian yang penting pada suatu malam Desember silam. Saat itu, roket Falcon 9 yang dibangun oleh perusahaan SpaceX milik Musk lepas landas dari Cape Canaveral, Florida, membawa 11 satelit komunikasi.

Beberapa menit setelah terbang, penggalak (booster) berpisah dari bagian roket yang lain. Sama seperti ribuan penggalak lainnya setelah habis bahan bakarnya, sejak awal mula zaman antariksa. Penggalak biasanya terbakar di atmosfer, dan puing-puingnya menghujan ke laut. Tetapi, bahan bakar penggalak yang satu ini belum habis. Penggalak ini tidak jatuh, tetapi berbalik. Mesinnya menyala lagi untuk memperlambat dan memandu penurunannya ke tempat pendaratan di dekat situ. Dari darat, rasanya seperti menonton film peluncuran yang diputar mundur.

Di pusat kendali peluncuran di Cape Canaveral, dan di pusat kendali misi SpaceX di Hawthorne, California, ratusan wajah insinyur muda menonton bola cahaya yang mendekat di layar video, terpaku. Di pusat kendali peluncuran, Musk berlari keluar untuk melihat langsung. Beberapa detik kemudian terdengar dentum yang mencemaskan. Belum pernah ada yang berhasil mendaratkan roket-penggalak kelas-orbit seperti ini; beberapa kali pertama SpaceX mencobanya, roketnya meledak. Namun, suara ini ternyata hanya dentuman sonik dari penggalak yang turun dengan cepat melalui atmosfer. Suaranya sampai ke telinga Musk persis saat penggalak itu mendarat—dengan lembut, aman, dan akhirnya berhasil. Di depan layar masing-masing, para insinyur bersorak-sorai.

SpaceX baru saja mencapai tonggak penting dalam upaya menciptakan roket pakai-ulang. Musk memperkirakan, teknologi ini dapat memangkas biaya peluncuran hingga 99 persen, memberi SpaceX keunggulan kompetitif dalam bisnis meluncurkan satelit dan mengantarkan persediaan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Namun, sejak awal bukan itu tujuan Musk. Pendaratan-lunak pertama roket penggalak itu, katanya dalam telekonferensi berita malam itu, adalah “langkah penting dalam mengembangkan kemampuan untuk mendirikan kota di Mars.”

SAMPAI DENGAN SELAMAT. Jarak Mars dari Bumi tak kurang dari 54 juta kilometer, lebih dari 140 kali lipat lebih jauh daripada Bulan. Untuk mengirim astronaut ke sana, diperlukan pesawat antariksa jenis baru yang dapat dihuni secara nyaman berbulan-bulan, melindungi dari radiasi kosmis, dan membawa cukup persediaan untuk pulang. Konsepsi seniman ini, berdasarkan kajian NASA, menampilkan kemungkinan skema. (JASON TREAT, STAF NGM; TONY SCHICK. SENI: STEPHAN MARTINIERE SUMBER: JAMES B. GARVIN, NASA GODDARD SPACE FLIGHT CENTER; JASON C.)

Elon Musk tak hanya ingin mendarat di Mars, seperti astronaut Apollo mendarat di Bulan. Dia ingin membangun peradaban baru di sana, sebelum malapetaka, yang kemungkinan akibat ulah manusia, memusnahkan manusia dari muka bumi. Di Hawthorne, di dekat meja Musk, tergantung gambar kembar Mars di dinding:  Salah satunya menampilkan planet merah gersang seperti keadaannya kini, satu lagi menampilkan Mars biru, yang telah ditransformasi oleh para insinyur, dengan laut dan sungai. Musk membayangkan mengolonisasi Mars, dengan armada kapal antarplanet, masing-masing membawa sera­tus pemukim. Mirip kapal laut Mayflowers yang membawa pemukim Inggris pertama ke benua Amerika, kecuali bahwa pemukim antariksa ini akan membayar 6,5 miliar rupiah atau lebih untuk menumpang di kapal luar angkasa itu.

SpaceX, yang didirikan pada 2002, belum pernah meluncurkan seorang pun ke luar angkasa. Tetapi, mereka berharap bisa mengubah kenyataan itu tahun depan dengan mengangkut astronaut NASA ke stasiun luar angkasa dengan Falcon 9. Perusahaan ini sedang membangun roket lebih besar, Falcon Heavy, tetapi itu pun belum cukup besar untuk membawa manusia ke Mars. Musk berjanji akan mengungkap perincian rencana Mars-nya pada akhir September, (dan hanya beberapa minggu setelah roket SpaceX lain meledak di tempat peluncuran). Tetapi, sebelum ini, belum pernah terlihat tanda-tanda SpaceX telah mengembangkan, apalagi menguji, teknologi lain yang diperlukan untuk menyokong kehidupan dan kesehatan manusia di Mars, atau selama perjalanan panjang ke sana. Namun, Musk mengumumkan pada Juni lalu, bahwa SpaceX menargetkan mengirim astronaut pertamanya ke Mars pada 2024. Kemudian mereka akan mendarat pada 2025.

Elon Musk tak hanya ingin mendarat di Mars, seperti astronaut Apollo mendarat di Bulan. Dia ingin membangun peradaban baru di sana, sebelum malapetaka, yang kemungkinan akibat ulah manusia, memusnahkan manusia dari muka bumi.

“Mereka akan terkenal dan sebagainya,” kata Musk. “Tetapi, dalam konteks sejarah lebih luas, yang penting sebenarnya adalah kemampuan untuk mengirim sejumlah besar manusia, puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang, dan pada akhirnya jutaan ton kargo.”  Itu sebabnya dia memandang roket pakai-ulang itu sangat penting.

NASA, yang mendaratkan manusia di Bulan pada 1969 dan bahkan sudah mulai menjelajahi Mars dengan wahana robot sebelum itu, mengatakan mereka juga berencana mengirim astronaut ke Mars. Tetapi, hal ini baru akan dilaksanakan pada 2030-an dan itu pun hanya mengorbit pla­net merah. Menurut NASA, bagian yang sulit dan berbahaya, yaitu mendaratkan pesawat besar di permukaan, adalah “target ufuk”—target tak bertenggat, yang baru akan dicapai dalam dasawarsa lain. NASA tidak berbicara soal kota di Mars.

Semua orang tampaknya sepakat: Mars adalah tujuan besar umat manusia berikutnya di antariksa. Namun, jelas ada visi bertentangan tentang seberapa mungkin itu dicapai. Astronaut NASA legendaris John Grunsfeld, yang pensiun musim semi lalu sebagai kepala sains lembaga itu, ingat dia pernah diberi tahu pada 1992 bahwa dia termasuk angkatan astronaut yang kelak akan pergi ke Mars. Tahun ini, sebagian berkat The Martian, buku dan film yang laris, NASA menerima 18.300 lamaran untuk angkatan berikutnya—yang paling banyak hanya menerima 14 orang. Grunsfeld masih ingin manusia pergi ke Mars, tetapi juga memegang teguh nasihat yang diberikannya beberapa tahun lalu kepada Charles Bolden, administrator NASA dan sesama astronaut. Nasihat itu perihal berbicara kepada rekrut baru. “Jangan mengatakan bahwa mereka akan ke Mars, karena itu mustahil,” kata Grunsfeld. “Saat itu terjadi, mereka sudah berumur 70-an atau 60-an.”

Kesibukan NASA selama ini, selain merancang roket untuk ke Mars, adalah meneliti cara mengurus para penumpang. Pada Maret, misalnya, astronaut Scott Kelly dan kosmonaut Rusia Mikhail Kornienko pulang ke Bumi setelah 340 hari di stasiun antariksa. Dalam “Misi Setahun” tersebut, mereka menjadi kelinci percobaan dalam kajian tentang pengaruh hidup lama di antariksa (perjalanan pulang-pergi ke Mars mungkin memakan waktu hampir tiga tahun) pada tubuh dan pikiran manusia. Ketika mereka terjun kembali ke atmosfer, kata Kornienko mengenang, kapsul Soyuz mereka berderak-derak seperti mobil di jalan batu. Dia dan Kelly hampir tak bisa bernapas: Setelah setahun tanpa bobot, otot dada dan paru-paru mereka lemah. Dan setelah mendarat di stepa Kazakstan, mereka hampir tak bisa berjalan. Kru darat menggotong mereka dari kapsul, kalau-kalau mereka jatuh dan patah tulang.

Film-film menggambarkan asyiknya keadaan tanpa bobot. Wawancara dengan Kelly dan Kor­nienko dari stasiun antariksa menyiratkan sisi lain. Wajah mereka bengkak, karena cairan menumpuk di situ.  Astronaut bisa terbiasa pada toilet sedot dan bahkan, kata Kornienko, terbiasa menyeka tubuh dengan lap basah selama setahun. Dalam perjalanan ke Mars yang jauh lebih panjang dan lebih berbahaya, pengaruh luar angkasa pada tubuh manusia bisa menjadi masalah besar. “Me­reka akan sakit saat sampai di sana,” kata Jennifer Fogarty, wakil ketua ilmuwan Human Research Program, Johnson Space Center NASA, Houston.

Tulang akan menyusut dalam gravitasi nol:  Patokannya adalah massa tulang menyusut satu persen per bulan. Olahraga giat dapat membantu, tetapi peralatan besar yang digunakan di stasiun antariksa, terlalu berat untuk dibawa ke Mars. Sebagian astronaut di stasiun juga mengalami gangguan penglihatan parah, rupanya karena cairan berkumpul di otak dan menekan bola mata. Dalam skenario terburuk, astronaut mendarat di Mars dengan penglihatan kabur dan tulang rapuh, lalu patah kaki. Secara teori, risiko ini dapat dikurangi dengan memutar pesawat antariksa dengan cepat, menggantikan gravitasi dengan gaya sentrifugal. Namun, para insinyur NASA merasa pilihan itu terlalu memperumit misi.