Perlombaan ke Planet Merah

By , Senin, 7 November 2016 | 15:00 WIB

“Hari ini sungguh luar biasa!” kata Gerstenmaier di konferensi berita setelahnya. Dan uji itu memang luar biasa—hingga batas tertentu, menimbang bahwa roket itu tak benar-benar terbang.

“Kami semakin dekat dengan mengirim astronaut Amerika ke Mars, lebih dekat daripada siapa pun, di mana pun, kapan pun,” tulis Wakil Adminis­trator NASA Dava Newman dalam artikel blog, April silam. Beberapa pengkritik NASA tak merasa demikian. Jelas tidak bagi Wernher von Braun, pembuat roket bulan Saturn V. Pada 1969, dalam euforia setelah pendaratan pertama di Bulan, von Braun mengajukan rencana kepada Presi­den Richard Nixon untuk mendaratkan manusia di Mars pada 1982. Nixon malah memerintahkan NASA untuk membuat pesawat ulang-alik.

Sejak itu, rencana besar untuk keluar dari orbit Bumi rendah datang silih berganti. Gerstenmaier, yang sudah puluhan tahun di NASA, sudah sering mengalami perubahan strategi yang diterapkan oleh para politikus. Dia disuruh mengirim astronaut lagi ke Bulan, lalu mengirim mereka ke asteroid saja, lalu menangkap asteroid dan menyuruh astronaut mengunjunginya di orbit Bulan. Gerst, demikian nama panggilannya, tetap tenang. Dia insinyur yang kalem, bertolak belakang dengan Musk, orang yang tidak ingin berjanji terlalu banyak. Dia ingin ke Mars secara perlahan, metodis, dan berkelanjutan.

Itu berarti secepat siput, kata sebagian pengkritik. “Menyebut bahwa NASA punya strategi [untuk pergi ke Mars] sebenarnya penghinaan untuk kata ‘strategi,’” kata Robert Zubrin, pendiri Mars Society, yang mendukung kolonisasi Mars sebagai “perjuangan terbesar generasi kita.”  Michael Griffin, administrator NASA di bawah Presiden George W. Bush, meyakini misi Mars sulit, tetapi tidak lebih sulit daripada program Apollo: “Dari segi teknologi, saat ini kita lebih dekat ke Mars daripada kita ke Bulan saat Presiden Kennedy menetapkan target itu pada 1961. Kita jauh lebih dekat.”

Apakah kita dapat pergi ke Mars atau tidak, serta kapan waktunya, semata-mata tergantung pada teknologi dan dana. Tergantung pada tingkat risiko yang kita pandang dapat kita terima.

Namun, kita masih belum mampu membiayai perjalanan ke Mars—dan biaya itulah yang mengandaskan rencana-rencana besar di masa lalu. Pendaratan Apollo di Bulan menelan biaya sekitar 1,8 kuadriliun rupiah dengan nilai uang saat ini. Para pakar memperkirakan perjalanan ke Mars yang realistis akan memakan biaya setidaknya sebesar itu; rencana lengkap yang diajukan di bawah Presiden George H. W. Bush mencantumkan biaya 5,8 kuadriliun rupiah. Tetapi, anggaran tahunan NASA untuk semua penerbangan antariksa manusia hanya sekitar 117 triliun rupiah. Untuk sampai ke Mars sebelum 2040-an, diperlukan uang banyak dan presiden yang memiliki komitmen ala Kennedy. Dalam lomba ke Bulan dengan Uni Soviet, NASA memperoleh lebih dari 4 persen anggaran federal; sekarang sekitar setengah persen. Jika memang ada “lomba ke Mars” dengan Tiongkok, misalkan, itu mungkin membantu, tetapi tampaknya bangsa Tiongkok tidak terburu-buru ingin ke sana.

Apakah kita dapat pergi ke Mars atau tidak, serta kapan waktunya, semata-mata tergantung pada teknologi dan dana. Tergantung pada tingkat risiko yang kita pandang dapat kita terima. Pendukung pendaratan awal berpendapat, NASA terlalu menghindari risiko bahwa penjelajah sejati rela gagal atau mati. NASA dapat mengirim orang ke Mars jauh lebih cepat kalau tidak terlalu mencemaskan apakah mereka akan sampai dengan selamat dan kemudian bermukim di sana.

Pada akhir konferensi berita Gerstenmaier di Utah, seorang wartawan setempat berdiri. Dia berumur 49 tahun, katanya:  Apakah dia akan sempat menyaksikan lelaki sampai di Mars?

“Sempat,” kata Gerstenmaier. Dia ragu sejenak, lalu menambahkan: “‘Lelaki’ mungkin kurang tepat. Anda akan menyaksikan manusia.”

Lalu, Gerstenmaier melanjutkan dengan menjelaskan mengapa perlu waktu sampai 2040-an. NASA perlu mengawali penjelajahannya kembali ke luar angkasa dengan misi-misi ke “Tanah Pembuktian,” katanya, yaitu ke sekeliling Bulan dan beberapa tempat di dekatnya di antariksa. Itu akan dilanjutkan pada 2030-an dengan menempatkan astronaut di orbit Mars. “Kalau melihat tantangan untuk mendaratkan kru ke permukaan, ini akan menambah kerumitan kegiatan ini sepu­luh kali lipat,” kata Gerstenmaier kepada saya sebelumnya. “Itulah yang menyebabkan perkiraan saya adalah setelah 2030-an.”

Tetapi, mungkin di bidang inilah SpaceX dapat membantu. Mars itu jauh lebih keras daripada Bulan, lebih sulit melakukan pendaratan lunak pesawat antariksa di sana. Gravitasinya lebih besar, dan atmosfernya cukup tebal untuk menimbulkan panas berlebih. Sudah banyak wahana nirawak yang kandas di Mars. NASA pernah mendaratkan penjelajah (rover) seberat hampir satu ton, Curiosity. Tetapi, muatan yang cukup besar untuk membawa manusia dan persediaan, ukurannya akan sebesar rumah dan berbobot sekurangnya 20 ton.

“Saya rasa kita harus menganut anggapan bahwa kegagalan di Bumi itu bukan pilihan. Pemikiran bahwa Mars adalah sekoci penyelamat kita itu jauh lebih tragis daripada tragedi Titanic.”

Solusi yang paling menjanjikan saat ini adalah teknologi yang sedang dikembangkan SpaceX: retropropulsi supersonik. Saat penggalak Falcon 9 turun dengan kecepatan supersonik melalui atmosfer atas Bumi yang tipis, kondisi ini menyerupai kondisi di Mars. Berkat kesuksesan di Cape Canaveral pada Desember silam, serta pendaratan selanjutnya di kapal di lepas pantai, begitu banyak orang kini berkata bahwa mengirim orang ke Mars itu tidak mustahil—meski belum pasti. Di Kennedy Space Center, SpaceX menyewa Launch Pad 39A, tempat astronaut Apollo 11 lepas landas ke Bulan. Perusahaan itu muda, lincah, dan berani, seperti NASA pada masa itu; NASA kini lamban, birokratis, dan hati-hati. Tetapi, kedua organisasi ini bukan lawan dalam persaingan, tidak pula sedang berlomba. Mereka bermitra. SpaceX sudah mengirim persediaan ke stasiun antariksa dalam kapsul Dragon yang diangkut pada Falcon 9. Pada April, Musk mengumumkan bahwa SpaceX ingin mengirim kapsul Dragon tanpa awak ke Mars pada 2018. Untuk melakukan itu, dia memerlukan dukungan teknis NASA, khususnya antena radio raksasanya, yang memungkinkan pesawat antariksa berkomunikasi dengan Bumi.

Untuk mengirim orang ke Mars, SpaceX perlu bantuan jauh lebih banyak—tiket 6,5 miliar rupiah tidak banyak membantu menutup biayanya, dan pengetahuan teknis NASA diperlukan untuk mempertahankan nyawa para pelancong itu. Di sisi lain, NASA dapat memanfaatkan roket, kapsul, dan antusiasme SpaceX. Kemungkinan besar mereka akan ke Mars bersama-sama, jika memang jadi ke sana. (Musk sendiri pernah menyiratkan demikian.) Kapan mereka ke sana? Kalau ini kemitraan, lebih mungkin mereka mengikuti jadwal NASA yang lebih hati-hati. Apa yang akan mereka lakukan setelah sampai di sana? Jauh lebih mudah membayangkan beberapa ilmuwan melewatkan satu-dua tahun di stasiun riset kecil di Mars, seperti yang ada di Antartika, daripada membayangkan ribuan orang beremigrasi secara permanen ke metropolis Mars.

“Orang yang mengira ingin tinggal di Mars—saya anjurkan mereka tinggal di stasiun di Kutub Selatan selama musim panas, atau lebih bagus lagi, selama setahun,” kata Chris McKay, ilmuwan NASA dan pakar Mars yang pernah bekerja di Antartika. Menyiratkan bahwa manusia dapat berlindung di Mars setelah merusak Bumi adalah hal yang “absurd secara etika dan teknis,” kata McKay. “Saya rasa kita harus menganut anggapan bahwa kegagalan di Bumi itu bukan pilihan. Pemikiran bahwa Mars adalah sekoci penyelamat kita itu jauh lebih tragis daripada tragedi Titanic.”

Mikhail Kornienko menyarankan ujian tinggal lama di stasiun antariksa untuk menyaring para peminat yang mengira mereka ingin menetap di Mars. Tak lama setelah dia pulang dari luar angkasa tahun ini, dia mengenang momen saat kru darat membuka tingkap kapsul Soyuz. “Udara stepa masuk ke kabin, dan saya pun memahami bahwa segalanya telah berakhir,” katanya. “Tidak puas-puasnya saya menghirup udara ini. Ingin saya mengirisnya dengan pisau dan mengoleskannya pada roti.”