Hal yang terjadi justru sebaliknya. Negara yang dikenal sebagai Ceylon sampai 1972 ini terus mengabaikan peluangnya di bawah beberapa pemerintahan, termasuk kronisme Rajapaksa. Model berbasis pertanian yang diluncurkannya diakui “menjadi sangat populis,” kata Wickremesinghe, “tetapi tidak benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan hanya dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan keluarga.”
Perpecahan etnis menghambat kemajuan negara. Selama 133 tahun, penjajah Inggris cenderung menyerahkan pekerjaan berpenghasilan tinggi kepada etnik Tamil, sementara etnik Sinhala hanya mendapatkan pekerjaan rendahan. Pada 1948, ketika Srilangka meraih kemerdekaan, para pemimpin baru tidak berusaha menyatukan negara. Para politisi Sinhala memupuk kebanggaan nasionalis sebagai mayoritas, yang tiba di pulau itu sekitar 500 S.M. dan membentuk bangsa yang sekarang dikenal sebagai bangsa tertua di dunia yang menganut agama Buddha.
Secara sistematis, pemerintah Srilangka mulai meminggirkan Tamil: melucuti hak pilih bagi orang Tamil yang nenek moyangnya datang dari India untuk bekerja di perkebunan teh, mengalihkan pekerjaan di universitas kepada para akademisi Sinhala, dan menggerus mayoritas Tamil di Provinsi Eastern dengan menawarkan hibah tanah kepada Sinhala. Meskipun izin ekspor-impor cenderung diberikan kepada pengusaha Sinhala di selatan, pemerintah tak terlalu peduli pada pengembangan Northern.
Pada 1970-an, pemikiran untuk memisahkan diri mulai muncul di kawasan utara, dan lahirlah gerakan Macan Tamil. Pada 1983, Macan Tamil menyergap dan menewaskan 13 orang tentara, memicu reaksi berupa kerusuhan etnis yang menewaskan ribuan orang Tamil. Macan Tamil membalas dengan bom bunuh diri dan pembantaian warga sipil. Srilangka pun dilanda perang saudara. Para investor asing meninggalkan negara itu, seperti yang dilakukan sekitar tiga perempat juta warga Srilangka yang terampil dan semiterampil.
Rajapaksa, yang menjadi presiden pada 2005, meningkatkan perang melawan Macan Tamil. Pada pertengahan Mei 2009, pemerintah berhasil membantai sisa-sisa terakhir pasukan Macan Tamil, bersama ribuan warga sipil yang terperangkap. Perang pun usai. Pada akhirnya sebanyak 100.000 orang mungkin tewas.
“Memang sekarang ada sedikit kebebasan,” kata seorang pemimpin masyarakat Jaffna, “namun, sayangnya bukan perubahan drastis.”
Kekejaman itu tidak hanya dilakukan oleh satu pihak. Macan Tamil mengusir lebih dari 70.000 warga Muslim dari Northern pada 1990. Mereka memaksa ribuan pemuda Tamil menjadi tentara. Tindakan mereka mengebom kuil, kereta api, bus, dan pesawat terbang, jelas merupakan tindakan terorisme. Setelah Tamil dikalahkan, rezim Rajapaksa sang pemenang terus merendahkan mereka. Pemerintah menahan para aktivis politik Tamil tanpa batas waktu, tanpa tuduhan resmi. Pemerintah “menggunakan tentara untuk menjajah seluruh wilayah Tamil dan memberikannya kepada Sinhala,” menurut D.M. Swaminathan, seorang Tamil yang juga menteri pemerintah baru, yang bertanggung jawab atas penempatan orang Tamil yang dulu diusir paksa ke sejumlah kamp pengungsi. Dan pemerintah menolak untuk bertanggung jawab atas penculikan orang Tamil yang masih terus berlangsung setelah perang usai.
Kebijakan Rajapaksa yang menerapkan tirani mayoritas di Srilangka tidak diterima masyarakat internasional. Pada 2010, Uni Eropa menghentikan bantuan ke negara itu sehingga tidak ada lagi pembangunan berkelanjutan dan bantuan pembentukan pemerintahan yang baik, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia. Karena tidak puas dengan penyelidikan kejahatan perang yang dilakukan dengan setengah hati oleh Pemerintahan Rajapaksa, Dewan HAM PBB melakukan penyelidikan sendiri pada 2014.
Pertama kali saya mengunjungi Northern adalah pada akhir 2014, hanya tiga minggu sebelum Rajapaksa tersingkir. Pemerintahan menyatakan wilayah itu tertutup. Untuk mendapatkan izin berkunjung ke sana, selama berbulan-bulan saya harus tawar-menawar dengan kementerian pertahanan. Akhirnya, setelah mendapat izin, saya, seorang pemandu, dan seorang juru bahasa mengemudikan kendaraan meninggalkan Kolombo pada suatu pagi dan, enam setengah jam kemudian, mencapai pos pemeriksaan pertama, di desa Omantai yang berdebu. Dahulu, ini merupakan wilayah kekuasaan para pemberontak. Beberapa perwira tentara memeriksa surat-surat kami, menelepon, mengajukan pertanyaan, memeriksa mobil van kami, bergumam di antara mereka, dan akhirnya dengan enggan memberi isyarat kepada kami untuk meneruskan perjalanan.
Selama 10 hari berada di wilayah itu, kami berurusan dengan pos pemeriksaan hampir setiap jam. Tentara meminta alamat rumah pemandu saya dan nomor ponsel juru bahasa saya, seorang wanita. Orang-orang yang berbicara dengan kami kemungkinan akan diintimidasi oleh militer, kami mengadakan wawancara secara sembunyi-sembunyi, di gereja, di kamar hotel, dan di dalam van di tepi jalan yang sepi. Wilayah hunian orang Tamil masih tetap merupakan wilayah yang seluruhnya diawasi militer.
Hampir setahun kemudian, 10 bulan setelah Sirisena menjadi presiden, saya kembali. Kali ini tidak ada surat-surat dan tidak ada lagi pos pemeriksaan. Mobil tentara melaju melewati kami tanpa minat. Mereka tidak lagi menatap orang Tamil yang lewat. Di Jaffna tidak ada laporan tentang koran yang diancam atau demonstrasi politik yang dibubarkan. Wilayah yang dikuasai pemerintah Srilangka terasa lebih seperti masyarakat bebas.
Orang Tamil yang saya ajak bicara segera memadamkan rasa optimisme saya. “Memang sekarang ada sedikit kebebasan,” kata seorang pemimpin masyarakat Jaffna, “namun, sayangnya bukan perubahan drastis.” Anggota Departemen Penyelidikan Kriminal, atau CID, masih sering memotret peserta rapat umum, katanya. Demikian pula, Vallipuram Kaanamylnathan, editor koran Tamil terkemuka, Uthayan, berkata, “Pers di utara tidak yakin bahwa mereka dapat melaksanakan tugas mereka seperti media di selatan. Militer masih terus mengintai kegiatan kantor kami.”
Sekarang, tiga perempat dari 200.000 tentara di negara itu tetap ditempatkan di Northern. “Jumlah itu tidak akan berkurang dalam jangka lama karena ancaman belum 100 persen hilang,” kata Jenderal Daya Ratnayake, mantan komandan Angkatan Bersenjata Srilangka. Sekarang banyak tentara, membersihkan ranjau dari pedesaan, membangun kuil dan sekolah, serta menanam pohon. Namun, mereka juga mengoperasikan sejumlah hotel besar di wilayah Jaffna. Mereka mengelola lapangan golf dan pabrik yogurt. Mereka beternak sapi perah dan menjual buah dan sayuran segar di pasar. “Mereka mendapatkan lahan gratis dan pupuk sehingga dapat menjual hasil pertanian seharga hanya tiga rupee dibandingkan dengan harga jual petani Jaffna sebesar 20 rupee,” kata Swaminathan, menteri pemerintah. “Jadi, kami sudah mengatakan kepada militer dengan jelas sekali, bahwa mereka harus mengembalikan lahan tersebut ke masyarakat.”