Perdamaian nan Rapuh

By , Jumat, 18 November 2016 | 15:00 WIB

Namun, militer—yang sampai pemiliu 2015 dipimpin oleh Gotabaya, adik Rajapaksa—lamban menanggapi pemerintahan baru dan terus menduduki beberapa lahan dari sekitar 5.000 hektare yang mereka sita selama perang.

“Kami tidak yakin bisa mendapatkan kembali tanah kami,” kata seorang wanita Tamil usia 46 tahun yang telah tinggal di kamp kumuh sejak militer merebut tanahnya pada 1990. “Mereka membangun hotel di tanah saya. Mereka meraup penghasilan di sana. Mana mungkin mereka mau mengembalikannya kepada kami.”

Wanita itu bercerita bahwa putranya yang sekarang berusia 20 tahun lahir di kamp. Gubuk reyot yang atapnya bocor dan lantainya kotor adalah satu-satunya rumah yang pernah dipunyainya. “Seperti yang Anda lihat, gubuk ini bukan tempat yang baik untuk membesarkan anak,” katanya.

Ketika saya menanyakan suaminya, dia berhenti sejenak sebelum menjawab, dengan suara lirih, “Saya kehilangan suami delapan tahun yang lalu. Dia diculik dan diangkut dengan sebuah mobil van putih.”

Ketika nelayan itu tidak kunjung pulang, pikiran pertama istrinya adalah pasti suaminya terus melaut—meskipun terasa aneh karena dia tidak menjawab panggilan teleponnya. Beberapa hari kemudian, dia menemukan sepeda motor suaminya, dan dia melaporkan penemuan itu ke polisi. “Jika sudah ada kabar,” kata mereka, “kami pasti mengabari Anda.”

Istri nelayan itu mendengar semakin banyak orang Tamil diculik dari jalanan Mannar. Ada yang diculik di depan umum dan dimasukkan ke dalam mobil van putih tanpa identitas. Pada September 2008, sepupunya diculik di bawah todongan senjata ketika sedang mengendarai sepeda motornya. Ibunya mengatakan ada perwira angkatan laut yang mengaku bahwa angkatan lautlah dalang penculikan itu.

Istri nelayan itu, beberapa wanita lain di Mannar, dan para wanita di seluruh Northern yang suaminya hilang memutuskan untuk angkat bicara. Mereka merecoki polisi. Mereka mendatangi setiap penjara yang dapat mereka temukan. Mereka pergi ke Kolombo dan menuntut untuk bisa bertemu dengan pejabat pemerintah. Mereka tidak berhasil menemukan apa pun. Tidak ada jasad, baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Dan tanpa pengakuan resmi bahwa orang-orang yang hilang itu sudah tewas, para wanita itu tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan ataupun uang duka.

Ketika perang sudah usai, para wanita itu mulai berharap mendapat jawaban. Namun, tak seorang pun dari korban penculikan itu dibebaskan. Sebaliknya, penculikan terus terjadi.

Banyak laporan tentang ditemukannya kuburan massal, kamp militer rahasia. Pada 2015, PBB memperkirakan orang Tamil yang hilang jumlahnya lebih dari 15.000. Pihak lain di Srilangka memperkirakan jumlah itu terlalu kecil. Pemerintah Rajapaksa, menyatakan bahwa semua orang hilang itu hanya melarikan diri ke luar negeri—dalih tanpa bukti apa pun.

Pada September 2015, PBB menerbitkan penilaian menyeluruh yang memberatkan tentang kejahatan perang di Srilangka, menyatakan rezim Rajapaksa “selama bertahun-tahun menyangkal dan menutup-nutupinya.” Dengan tidak memprotes temuan itu, pemerintah baru secara tersirat mengisyaratkan siap menghadapi kebenaran.

“Kami akan mendapatkan kesempatan kedua—kami sudah mulai mengupayakannya,” kata Wickremesinghe, perdana menteri. Hal yang penting, katanya mengakui, adalah upaya sungguh-sungguh untuk membuat orang Tamil merasa seperti bagian dari Srilangka baru. “Mereka hanya ingin menjalani kehidupan normal seperti orang lain,” katanya.

Saya bertanya dalam hati bagaimana mungkin ada kehidupan normal untuk sepuluh wanita Tamil yang saya temui, yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Mereka takut berbicara secara terbuka, meskipun sudah ada pemerintahan baru. Ada juga yang diancam akan ditangkap karena melancarkan protes. Sementara itu, puluhan orang Tamil di utara pada musim semi yang lalu dipenjara tanpa tuduhan resmi. Pengintaian atas Tamil Hindu yang terus dilakukan pemerintah, bertepatan dengan munculnya kembali kelompok ekstremis Buddha yang diduga terkait Pemerintah Rajapaksa.

Beberapa hari sebelum bertemu dengan perdana menteri, saya sudah bertemu dengan sang istri nelayan. Sekarang ada foto baru suaminya yang hilang yang didapatkannya dari berita koran. Foto itu menampilkan 168 orang pria, difoto di sebuah penjara dekat Kolombo.

Mata para pria itu ditutup dengan tinta hitam, dan para tahanan Tamil tersebut tampak mustahil dapat dikenali. Namun, bagi mata wanita yang dilanda rindu, tidak mustahil mengenali suaminya. “Suami saya ada di foto itu,” katanya. “Saya pasti bisa mengenalinya. Tiga wanita tetangga saya juga dapat mengenali beberapa orang pria di foto itu.

Namun, penjaranya berhasil ditemukan. Suaminya tidak ada di situ. Begitu pula para pria yang hilang dari Mannar. Maka, saya pun menanyakan ke perdana menteri, apakah sebagaimana kabar burung yang beredar, para pria itu disembunyikan di suatu tempat yang dijaga oleh militer.

“Tidak ada tempat seperti itu,” katanya. “Kami sudah berbicara dengan militer. Dan begitulah kata mereka.”

“Artinya …”

“Mereka semua sudah tewas,” katanya.

Pada bulan Juni, pemerintah Srilangka mengakui bahwa lebih dari 65.000 orang dilaporkan hilang sejak 1994. Pemerintah juga berencana menyelidiki orang hilang dan mengeluarkan “surat tanda tidak ada” untuk keluarga yang anggota keluarganya hilang, sehingga mereka bisa mendapatkan tunjangan dan, mudah-mudahan, melanjutkan kehidupan mereka. Dengan anggapan bahwa rencana itu benar-benar dilaksanakan, mudah-mudahan Srilangka juga bisa bergerak maju—tidak lagi dihantui perang yang sudah usai.