Sierra Leone adalah salah satu tempat terburuk di dunia untuk anak perempuan. Negara di Afrika Barat ini memiliki populasi sekitar enam juta jiwa, pernah diobrak-abrik perang saudara selama lebih dari satu dekade, dan baru-baru ini dilanda wabah Ebola. Terlahir sebagai perempuan di sini, berarti seumur hidup ditekan oleh batasan dan tradisi yang kerap lebih menghargai tubuh perempuan daripada pikirannya.
Sebagian besar perempuan di sini—90 persen, menurut UNICEF—telah menjalani sunat. Hal ini selain menjadi tanda kedewasaan sekaligus mengantarkan mereka ke gerbang pernikahan, juga menjadi cara adat untuk mengekang gairah seksual. Hampir semua perempuan di sini menikah sebelum berusia 18, dan banyak di antaranya hamil di usia lebih muda—sering kali hanya beberapa bulan setelah mendapatkan haid pertama.
Banyak di antara mereka menjadi korban kekerasan seksual; pelaku perkosaan kerap dibiarkan lolos tanpa hukuman. Pada 2013, lebih dari seperempat gadis berusia 15 sampai 19 tahun di Sierra Leone telah hamil atau melahirkan. Salah satu angka kehamilan tertinggi di dunia untuk kelompok usia tersebut. Angka kematian saat persalinan pun tinggi—bahkan tertinggi di dunia menurut perkiraan World Health Organization dan badan-badan internasional lainnya. Sunat perempuan pun dapat meningkatkan risiko komplikasi persalinan.
“Di wilayah pedesaan, Anda akan melihat gadis-gadis berumur 13 tahun, 15 tahun, sudah menikah dan menggendong bayi,” kata Annie Mafinda, bidan di Rainbo Center yang membantu para korban kekerasan seksual di Freetown, ibu kota Sierra Leone. Banyak di antara pasiennya baru berumur 12 hingga 15 tahun.
Ketika saya menjumpai Sarah di Freetown, dia berusia 14 tahun dan tengah hamil enam bulan. Namun, ia terlihat beberapa tahun lebih muda. Kepada saya dia bercerita bahwa dia diperkosa oleh seorang pemuda yang tinggal di dekat rumah keluarganya. Pemuda itu minggat setelah menyerangnya. Ketika ibunya tahu tentang kehamilannya, Sarah diusir dari rumah. Kini Sarah (yang tidak bersedia memberikan nama keluarganya) tinggal bersama ibu pemuda pemerkosanya. Wanita itu adalah satu-satunya orang yang mau menampungnya; perempuan Sierra Leone biasanya tinggal bersama keluarga suami mereka. Sarah mendapatkan tugas memasak, membersihkan rumah, dan mencuci baju. Ibu pemuda itu memukulinya jika dia terlalu lelah untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, kata Sarah.
Dengan begitu banyaknya rintangan di Sierra Leone, bagaimana anak perempuan seperti Sarah bisa hidup—dan bertahan?
Di negara miskin yang dijalankan oleh pemerintah yang tampaknya tidak memiliki niat untuk melindungi anak perempuan, tindakan paling bijaksana adalah berusaha melarikan diri dari tempat kelahiran mereka. Di tengah segala ancaman, sekolah menjadi satu-satunya pelarian mereka. Pendidikan menjadi tantangan, terkait masalah biaya. Namun, sekolah juga merupakan sumber harapan. Ijazah SMA bisa memberikan peluang kemerdekaan ekonomi yang lebih besar dan kesempatan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Barangkali dengan membuka peluang untuk belajar di universitas, atau mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan keahlian lebih banyak.
Namun, menurut perkiraan hanya satu dari tiga anak perempuan yang mendapatkan pendidikan lanjutan pada 2008 hingga 2012, dan kehamilan menjadi kendala paling besar. Kementerian pendidikan Sierra Leone melarang anak perempuan yang hamil untuk bersekolah. Kebijakan itu ditetapkan oleh pemerintah pada 2015 untuk mencegah pengaruh pada teman sebaya dan melindungi mereka dari kecaman.
Pelarangan terhadap siswi hamil untuk menuntut ilmu di Sierra Leone adalah “keputusan yang diambil secara tergesa-gesa berdasarkan moralitas kolot, dan pernyataan yang salah,” kata penulis Aminatta Forna, yang mendirikan sekolah desa kecil-kecilan di Sierra Leone pada 2003. Elizabeth Dainkeh adalah koordinator pusat pendidikan, untuk anak perempuan dan ibu berusia sekolah yang hamil, di Freetown. Lembaga itu mendapatkan dukungan dari UNICEF, kementerian pendidikan Sierra Leone, dan yang lainnya. Dainkeh berdiri di belakang kelas yang pengap, tempat anak-anak perempuan dengan rambut berkepang dan kerudung berwarna cerah. Sebagian di antaranya menggendong bayi, mengipasi diri dengan buku pelajaran sambil mendengarkan penjelasan guru. “Saya mengira mereka akan malu [kembali ke sekolah], namun ternyata mereka senang berada di sini,” ujarnya dengan bangga. Dainkeh sendiri hamil saat berusia 17; ayahnya mengusirnya dari rumah. Anak perempuannya meninggal akibat gizi buruk sebelum berusia satu tahun. Kini, pada usia 35, dia menasihati murid-muridnya untuk tetap gigih: Lupakanlah tahun-tahun yang hilang di luar sekolah dan terus maju.
Mary Kposowa, mantan kepala pusat pendidikan serupa, mengatakan bahwa sebagian lulusannya menemui masalah saat hendak mendaftar ke sekolah umum sesudah mereka melahirkan. Lebih buruk lagi, pada Agustus 2016 pusat-pusat pendidikan untuk anak perempuan hamil ditutup; UNICEF mengungkapkan bahwa mereka berniat menjadi “jembatan” setelah krisis Ebola menutup sekolah di seluruh negeri selama sembilan bulan. Sekitar 14.000 anak perempuan hamil dan ibu baru masih terdaftar sebagai siswi sekolah itu, sehingga Dainkeh khawatir negara ini akan memiliki “sejumlah besar anak perempuan putus sekolah.”
Penduduk Sierra Leone kerap mengatakan bahwa akar trauma negara mereka dimulai oleh perang saudara antara kelompok pemberontak dan pemerintah. Selama lebih dari 10 tahun, sejak 1991, ribuan wanita dan anak perempuan diperkosa. Puluhan ribu orang dibunuh, dan lebih dari dua juta orang dipindahkan. Baru-baru ini Ebola melanda, merenggut sekitar 4.000 nyawa dalam waktu kurang dari dua tahun. Penyakit ini memiliki dampak yang buruk bagi banyak keluarga, menyebabkan banyak anak perempuan kehilangan orang tua, sehingga terpaksa mengasuh saudara-saudara mereka walau belum mengetahui caranya. Walaupun secara perlahan-lahan negara ini beralih menuju demokrasi, penindasan terhadap para wanita dan anak-anak perempuan, tetap ada.
“Negara tidak memedulikan, tubuh, nyawa, jiwa perempuan muda Sierra Leone,” kata Fatou Wurie, aktivis penegakan hak-hak perempuan di Freetown, yang dibesarkan di luar negeri dan kini kembali ke negara asalnya. “Setiap kebijakan yang dibuat oleh negara tidak pernah melibatkan pendapat perempuan muda Sierra Leone.”
Sebagai wanita yang menghabiskan banyak waktu di seputar Afrika Barat, saya bereaksi kuat saat pertama kali mengunjungi Sierra Leone. Namun, saya juga melihat bahwa di negara penuh masalah ini sekalipun, sebagian anak perempuan menemukan cara untuk bangkit.
Regina Mosetay duduk di perpustakaan sekolahnya di Freetown. Regina, yang menjadi ibu pada saat menginjak usia 17, tidak bisa belajar seperti dahulu lagi karena harus merawat putrinya, Aminata. Dia harus menyelipkan waktu membaca di sela-sela kesibukannya menyuapi dan mengganti popok bayinya.