Arti Lelaki Sejati

By , Senin, 16 Januari 2017 | 18:57 WIB

Selama empat hari ke depan dia akan beristirahat menyembuhkan diri. Biasanya, orang yang baru disunat di masyarakat ini diasingkan selama empat bulan bersama pembimbing yang akan mengajarinya cara berburu, membangun pondok, menyamak kulit, dan menjadi prajurit yang tangguh sehingga dapat menghalau serangan maling ternak atau menyerang pihak lain. Meskipun sebagian pemuda Bukusu masih mempelajari keterampilan ini, Shadrack akan kembali bersekolah saat liburan berakhir September nanti. “Anda bisa jadi jagoan di sekolah,” kata Simiyu Wandibba, profesor antropologi Bukusu di Universitas Nairobi. “Anda dapat menyesuaikan nilai-nilai adat agar cocok dengan kehidupan modern.”

Kini Shadrack diperlakukan berbeda; dia memiliki hak patriarkal baru. Dia tidak lagi disuruh mengambil air ke sungai atau mencari kayu bakar atau menyapu rumah keluarganya. Kaum perempuan yang menyiapkan makanannya sekarang harus tahu apa yang disukainya. Dia kini memiliki pondok terpisah di kampungnya, tidak lagi tidur di rumah ibunya. Dan pada Desember silam, menurut adat, ada upacara khukhwalukha ketika periode perubahan tradisional dari omusinde menjadi omusani selesai, dan pemuda 14 tahun ini resmi dianggap lelaki dewasa oleh suku Bukusu.

Saat menyaksikan upacara sunat Bukusu, kita pasti merasa kagum bercampur cemas. Cemas karena anak-anak tersebut… masih anak-anak. Saya menghadiri lima khitanan dalam seminggu, dan beberapa omusinde itu bahkan lebih muda dan tampak kurang siap dibanding Shadrack. Apakah anak berusia 10 tahun, yang tergiur oleh hak baru dan dituntut mengikuti adat, benar-benar bebas memutuskan untuk menjalani operasi yang menyakitkan dan berisiko ini? Hal yang terjadi pada Shadrack dan anak-anak lainnya belum terhitung ekstrem jika dibandingkan dengan ritual akil balig di budaya lain. Anak suku aborigin Mardudjara di Australia harus menelan kulupnya setelah dipotong. Anak lelaki Satere Mawe di Amazon Brasilia memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan penuh dengan semut peluru (Paraponera clavata) yang sengat neurotoksiknya salah satu yang paling menyakitkan di alam.

Mengapa? Jawabannya, tentu saja, adalah bersiap menghadapi perang. Seperti ditulis oleh antropolog David Gilmore, saat sumber daya langka dan kemakmuran terancam, “ideologi gender mencerminkan kondisi material kehidupan.” Anak lelaki “digembleng” dan “ditempa” agar bisa memenuhi tugas klasik menghasilkan keturunan, mencari nafkah, dan memberi perlindungan yang telah dilakukan selama ribuan tahun. Baik untuk menangkal serangan lelaki lain atau untuk mengeksploitasi kelemahan, kekerasan merupakan motif utama kejantanan dalam banyak sekali budaya. Jika dinilai dari permainan video, film laga, perkelahian hoki, kekerasan tetap digandrungi kaum lelaki sekalipun kondisi material kehidupannya tak terancam.

Apa yang bisa menghentikan siklus yang menyamakan kejantanan dengan ketangguhan dan ketegaran? Apa yang dapat diubah pada orang yang memupuk kekerasan karena takut—atau karena menyukainya?

Terlepas dari rasa cemas, sulit untuk tidak mengagumi budaya yang menyediakan cara pasti, bagi anak lelaki untuk memasuki jenjang kedewasaan. Tahapannya sangat jelas. Sunatan membuat proses memasuki kedewasaan ini sangat terasa. “Darah menghubungkan kami dengan nenek moyang,” tutur salah satu paman Shadrack. Hak Shadrack sebagai lelaki memang membuatnya dapat memilih makanan. Tetapi, dia juga memikul kewajiban dan tanggung jawab, dan menurut sebagian orang pelecehan dalam ritual itu benar-benar dapat membantu mengajari anak-anak untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. “Jika pernah dilempari tahi sapi, kita akan mampu menghadapi tantangan apa pun yang terjadi dalam hidup ini,” kata Daniel Wesangula, seorang jurnalis Bukusu.

Selain itu, mereka mendapat dukungan bakoki, persaudaraan anak lelaki sebaya yang disunat pada waktu bersamaan. “Bakoki bersahabat seumur hidup,” kata Wesangula. “Mereka akan memikul keranda dan menguburkanmu. Jika kita salah jalan, orang tua akan meminta bakoki untuk menyadarkan.”

Mungkin karena tidak ada ritual akil balig, sekolah Oliver baru-baru ini mengundang kelompok teater remaja untuk mementaskan drama yang berjudul Now That We’re Men. Di dalam brosur acara tertulis: “Siapa yang dirugikan ketika [kata kotor] diucapkan terus-menerus di lorong SMP dan SMA? Apa rasanya hidup dalam budaya yang permainan video terpopulernya adalah yang memberi poin apabila pemain (kebanyakan lelaki muda) memerkosa dan membunuh perempuan?”

Saya kira sebagian adalah kesalahan saya, karena mewariskan tradisi pencarian diri yang tak terstruktur yang saya dapatkan dari ayah saya, yang tidak memaksa saya mendengarkan pendidikan seksual, atau melakukan upacara akil balig. Saya tak tahu apa yang bisa dianggap sebagai ritual akil balig yang mengubah saya menjadi seperti sekarang, dengan kemampuan tanggung dan seabrek ketidakmampuan.

Pada beberapa bulan terakhir hidupnya pada musim semi lalu, saya bertanya kepada ayah saya, apakah dia berusaha mempersiapkan saya memasuki jenjang kedewasaan, dan ketika dia bingung, saya bertanya kepadanya apakah menurutnya kakek melakukan sesuatu untuk mempersiapkannya. Tambah bingung. Saya kira kedewasaannya dibentuk oleh Angkatan Laut AS. Menjelang akhir usianya, pada tengah hari dia sudah lupa prosedur medis yang dilakukan padanya lima belas menit sebelumnya, tetapi dia bisa mengingat semua rekan sekapal yang berdinas bersamanya pada Perang Dunia II. Dia berusia 19 saat menyeberangi Samudra Pasifik dengan kapal tunda. Dia bernavigasi dengan sekstan, bertinju dengan pelaut lain, dan di lepas pantai Okinawa menembak pesawat kamikaze dengan pistolnya. Dia berlayar ke Teluk Hiroshima dua bulan setelah bom atom dijatuhkan dan melihat konsekuensi kejam perang. Pengalaman ini mengilhaminya menulis puisi yang dimuat New York Herald Tribune pada Oktober 1945. Dia dibayar 12 dolar, upah pertama dalam karier panjangnya sebagai penulis. Melindungi. Mencari nafkah.

Tanpa ritual, saya kira kedewasaan di keluarga kami mungkin berupa tata nilai, yang diwariskan terutama dengan teladan. Ayah saya pernah menjelaskan kepada teman sekamar saya saat kuliah, alasan dia tidak memerlukan pistol untuk melindungi keluarganya. Ucapannya, yang kini terasa bukan hanya sebagai pernyataan muluk idealisme liberal tetapi juga mencerminkan inti konsep kejantanannya, adalah “Pada hari saya mengandalkan pistol alih-alih pengacara, saat itu tidak ada lagi yang perlu dipertahankan.” Pandangan itu terasa ketinggalan zaman pada era saat pemuda di University of Texas membawa pistol. Dan saya ragu adakah ritual akil balig yang cukup rancak untuk mewariskan nilai yang ditemukan ayah saya pada dua seniman yang dikaguminya—humoris Robert Benchley dan peniup terompet Louis Armstrong—keduanya diidolakannya karena “humoris, santun, dan hidup penuh semangat.”

Saya tak yakin Oliver terbantu dengan mengetahui bahwa ada sejuta makna menjadi lelaki, atau bahwa dia bebas memilih sendiri, mencari tahu sendiri syarat untuk menjadi lelaki dewasa. Saya berharap dia menerima tanggung jawab lelaki dewasa, menolak ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin, dan memahami mana bagian yang bersifat biologis dan mana yang budaya. Mana yang patut dihargai dan layak dilestarikan dan mana yang perlu diubah. Saya berharap dia menjadi lelaki sejati dan dia tidak menuntut diistimewakan dalam mewujudkan visinya tersebut. Dia juga memiliki nenek moyang, yang kini telah berkalang tanah. Tidak ada salahnya berkiblat pada humor, kesantunan, dan hidup penuh semangat.