Arti Lelaki Sejati

By , Senin, 16 Januari 2017 | 18:57 WIB

Pertemuan Shadrack Nyongesa dengan pisau sunat dijadwalkan tidak lama setelah fajar.

Sejak kemarin pagi, anak berusia 14 tahun dari suku Bukusu di Kenya bagian barat yang belum disunat itu sibuk memukulkan lonceng sapi berhias bulu ke gelang logam di pergelangan tangannya. Sementara dia mengguncang lengan dan menari di bawah pohon mangga di depan rumah ayahnya, kerabat dan teman yang lebih tua mengelilinginya sambil mengacungkan tongkat, sembari menyanyikan lagu tentang keberanian, perempuan, dan minuman.

Sore harinya, Shadrack beserta rombongannya melakukan kunjungan ritual ke rumah saudara laki-laki ibunya, yang memberinya seekor sapi. Tetapi, sang paman menamparnya dan mengejek bahwa dia mirip banci, belum siap menjadi lelaki sejati. Sang buyung, yang ingin melakukan sikhebo, upacara khitanan Bukusu, tidak bisa membendung air mata.

Namun, wajahnya lebih terlihat marah ketimbang takut, dan ketika dia kembali ke rumah ayahnya, dia mendentangkan lonceng chinyimba dengan gairah baru dan menari dengan penuh semangat.

Saat malam, tamu yang datang sudah lebih dari 50 orang. Kaum lelaki mencelupkan sedotan panjang ke kendi busaa, tuak jagung khusus untuk acara ini. Pada setengah sepuluh malam, hadirin berkumpul di sekeliling perut sapi berwarna putih kebiruan yang baru disembelih. Salah satu paman Shadrack dari pihak ayahnya membelek kantong perut itu dengan pisau. Dia menyayat dua kerat jaringan, lalu meraup segenggam makanan setengah dicerna berwarna kehijauan. Dia mendekati keponakannya.

“Keluarga kita tidak mengenal takut!” teriaknya. “Sikap sempurna!” Lampu senter menyorot wajah Shadrack yang menatap ke depan dengan tegar. Lalu sang paman melemparkan tahi muda itu ke dada keponakannya dan dengan bersemangat melumurkannya ke muka dan kepala anak itu. Dia mengalungkan sayatan perut sapi ke leher Shadrack dan menempeleng kedua pipinya dengan keras.

“Kalau kamu mengkeret atau menjerit, enyah dari sini,” kata pamannya. “Seberangi sungai, dan pergi jauh-jauh. Kamu kini prajurit. Biarpun ada yang mencolok matamu, jangan berkedip!”

Sekarang sang omusinde—anak yang belum disunat—tidak bisa mengundurkan diri dari upacara ini.

Selama berjam-jam malam itu, Shadrack menari di tengah khuminya, pesta khitanan yang menyajikan tuak busaa berlimpah. Sesepuh memberi wejangan tentang makna menjadi lelaki, mengajarkan tuntunan moral, menjelaskan pentingnya menghormati orang tua dan perempuan, dan memberi saran praktis termasuk menjauhi perempuan yang telah bersuami. Dia diberi tepung, ayam, dan sedikit uang. Kejantanannya ditantang, tekadnya dipertanyakan. Pada tengah malam, akhirnya dia diperbolehkan beristirahat. Dia bangun pukul dua dini hari. Satu jam kemudian dia kembali mendentangkan lonceng chinyimba dan menari. Teman dan kerabat—sebagian jelas masih mabuk akibat bir buatan sendiri—menyanyi lantang, “Matahari hampir terbit! Bau pisaunya sudah tercium! Fajar hampir menyingsing!”

Saat berdiri menunggu matahari terbit di Great Rift Valley dan puncak upacara akil balig Shadrack—peristiwa penting bagi William, ayahnya, yang reputasinya dipertaruhkan—saya jadi teringat ayah saya, yang wafat pada Juni lalu di usia 91. Saya juga teringat anak saya, 17 tahun, Oliver, yang saat itu sedang tidur di New York City. Atau barangkali dia belum tidur. Mungkin dia berbaring di kasur dengan laptop, menonton film dokumenter olahraga atau film Hollywood.

Alangkah berbedanya kedua jalan yang ditempuh oleh sepasang anak lelaki ini. Padahal tujuannya sama. Baik Shadrack maupun Oliver berkembang menjadi lelaki dalam kandungan karena bermandikan testosteron sebelum lahir. Keduanya sedang mengalami transisi penting, berubah akibat pengaruh hormon menjadi pria dewasa secara fisik: bulu badan, otot membesar, bahu melebar, seksualitas berkembang, menyukai risiko, serta lebih agresif. Keduanya mulai menunjukkan kecenderungan dan pola perilaku yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi.

Akan tetapi, Shadrack menginjak kedewasaan dalam budaya yang sangat membedakan peran lelaki dan perempuan, dan anak lelaki mengikuti adat yang setidaknya berjalan selama 200 tahun. Di sisi lain, Oliver menginjak dewasa dalam budaya Amerika yang semakin tak membedakan jenis kelamin. Amerika sudah meninggalkan definisi lelaki dan perempuan berdasarkan anatomi. Bahkan, pada 2016, Departemen Kehakiman, Pendidikan, dan Pertahanan AS menegaskan kebijakan antidiskriminasi yang mengakui identitas gender pilihan pribadi.

Tidak seperti Shadrack, Oliver tidak bisa mengandalkan peran tradisional lelaki dan perempuan untuk mengetahui makna menjadi lelaki. Demi kesetaraan, stereotip gender dijungkirbalikkan atau ditinggalkan. Dia sudah terbiasa melihat polisi wanita atau perawat lelaki.

Di lingkungan kami, juga tidak ada ritual atau upacara inisiasi yang jelas menandai perubahan Oliver dari anak-anak menjadi dewasa. Dengan kata lain, kedewasaan adalah sesuatu yang harus dipahaminya sendiri. Terkadang dia juga mencari-cari makna lelaki—dia sangsi dengan sosok lelaki yang saya contohkan karena, seperti katanya, “Papa menumpangkan kaki seperti anak perempuan.” Dan terkadang ketika dia merasa dituntut untuk berprestasi—ujian, makalah, nilai, pertandingan basket—saya juga melihat dia berusaha tegar, tidak jauh berbeda dengan ketegaran Shadrack saat menghadapi tantangan beratnya. Oliver pemalu, dia menyembunyikan perasaannya agar tidak dianggap kurang jantan. Dia berhenti bermain flute karena dialah satu-satunya anak lelaki di bagian itu. Dia duduk dengan menumpangkan pergelangan kaki di atas lulut. Simbol kejantanannya adalah Michael Jordan dan George Clooney. Pada ulang tahun ke-15, dia meminta jas.

Para ilmuwan dan cendekiawan tidak dapat memberikan penjelasan gamblang. Pertanyaan seputar kejantanan dan maskulinitas telah berabad-abad menjadi bahan perdebatan terkait kebudayaan dan biologi, secara politis—ada yang berpendapat itu budaya, ada yang berpendapat itu biologis. Ahli antropologi dan sosiologi umumnya mendukung argumentasi budaya, berpendapat bahwa kejantanan adalah buatan masyarakat. “Lelaki” itu dibuat, tidak dilahirkan, bantah Michael Kimmel, professor sosiologi: “Kejantanan bukanlah perwujudan kodrat manusia… bukan kesadaran yang muncul dari unsur biologis; melainkan dibuat dalam budaya. Bahkan pencarian definisi abadi kejantanan itu sendiri merupakan fenomena sosiologis—kita cenderung mencari yang abadi dan eksternal...ketika definisi lama tidak lagi berlaku dan yang baru belum mantap.”

Beberapa sarjana dan ilmuwan feminis berpendapat bahwa perbedaan gender merupakan buatan manusia, dan yang dianggap sifat lelaki sama tidak hakikinya dengan perbedaan warna pakaian bayi yang disediakan rumah sakit. Tidak diragukan lagi bahwa memang banyak stereotip gender mengenai perbedaan kecerdasan, naluri menyayangi, rasionalitas, serta emosi lelaki dan perempuan yang dibentuk oleh budaya. Namun, seperti kebanyakan orang tua yang membesarkan anak lelaki dan perempuan, saya bertanya-tanya adakah hal lain di luar sosialisasi budaya di balik perilaku, yang tampaknya muncul tanpa arahan ayah bundanya. Oliver sejak kecil gemar melempar-lempar bola. Dengan alasan yang sama, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam daripada sosialisasi budaya, di balik kesenangan adiknya, India, bermain boneka? Jauh sebelum dia masuk PAUD, dia biasa memegang boneka di kedua tangan dan menghabiskan waktu berjam-jam membisikkan dialog boneka.

“Perempuan dan lelaki tidak memiliki pikiran yang sama,” tulis profesor psikologi Steven Pinker, dalam bukunya The Blank Slate. Sejalan dengan seleksi alam yang mengharuskannya bersaing memperebutkan sumber daya dan pasangan, penelitian selama puluhan tahun menunjukkan bahwa lelaki lebih mampu menangani tugas mental yang menyangkut memutar objek. (Anak perempuan lebih unggul dalam kemampuan memecahkan-masalah lainnya.) Anak lelaki cenderung lebih agresif secara fisik. Seperti yang ditulis Joe Herbert, profesor emeritus ilmu saraf, anak lelaki juga biasa memainkan boneka, tetapi kemungkinan bonekanya akan ditarungkan.

Sebagian perilaku agresif dapat dikaitkan dengan kadar testosteron, yang, mulai sekitar usia 10 dan memuncak di akhir belasan. Kadar ini biasanya lebih dari 10 kali lebih tinggi pada anak lelaki, dibandingkan anak perempuan. Penelitian yang terbit pada 2013 dalam Journal of Cognitive Neuroscience mengungkap hubungan  antara perilaku mengambil risiko dengan tingkat testosteron, pada remaja lelaki dan perempuan.

Dalam penelitian, peserta bisa mendapatkan uang dengan menekan pompa yang mengisi balon. Namun, jika balon meledak, pemain akan kehilangan uang hadiahnya. Peneliti menemukan, peningkatan kadar testosteron terkait dengan pengambilan risiko pada anak lelaki maupun perempuan. Bedanya, anak lelaki lebih menyukai sensasi ledakan balon kendati harus kehilangan hadiah, sementara anak perempuan dengan kadar testosteron yang relatif tinggi, lebih ingin mempertahankan hadiahnya.

Mungkin salah satu contoh terjelas pengaruh biologi terhadap banyak unsur maskulinitas, adalah kondisi genetik langka yang disebut sindrom insensitivitas androgen. Bayi lahir dengan kromosom Y dan karena itu secara biologis lelaki, tetapi tubuhnya tidak dapat memproses testosteron dan otomatis fenotipe yang terbentuk adalah perempuan. Mereka memiliki bentuk tubuh dan sifat perempuan. Mereka merasa diri mereka perempuan. Namun, karena mereka memiliki testis alih-alih ovarium dan rahim, mereka tidak bisa melahirkan. Sindrom ini, tulis Herbert dalam bukunya Testosterone, “menunjukkan dengan sangat jelas bahwa testosteron merupakan akar hal yang kita sebut sebagai maskulinitas.”

Maka, begitu fajar menyingsing—didorong tuntutan budaya Bukusu dan testosteron yang menurut ilmuwan kadarnya lebih dari 1.200 nanogram per desiliter dalam aliran darah remaja putra—Shadrack berjalan ke utara menuju Sungai Chwele tak jauh dari situ. Dia dikelilingi lebih dari 30 lelaki dewasa dan anak-anak.

Mereka terus bernyanyi sambil berlari menyusuri jalan tanah merah, melintasi ladang jagung dan tebu. Pada pukul tujuh kurang seperempat, lonceng dan gelang logam Shadrack dilepaskan. Anak itu melepaskan celana pendek cokelatnya. Dia berjalan telanjang menuruni tebing berumput ke sungai. Pamannya mengiringi. Di balik gelagah, Shadrack membasuh kotoran sapi dari tubuhnya. Saat dia kembali, badannya berlumur lumpur kelabu tua. Setangkai rumput menancap di rambutnya seperti jambul burung northern lapwing.

Kini, arak-arakan itu kembali menuju selatan ke rumah ayah Shadrack, berlari melintasi rute lain untuk menghindari tenung jahat. Mereka menyanyikan lagu suku Bukusu, lagu sunatan sioyayo yang terkenal, mengejek suku Luo—suku Kenya— yang menjadi musuhnya. Di suku Luo, upacara menginjak akil balig adalah dengan mencabut gigi bukan bersunat. “Orang yang takut disunat pergi ke Luo saja.”

Banyak orang—lelaki, perempuan, besar, kecil—menunggu di kampungnya. Shadrack berjalan ke halaman. Dia menghadap ke barat, secara simbolis menyaksikan akhir masa kanak-kanaknya. Tidak pernah mati gaya, Shadrack meletakkan tangan kiri di pinggang dan mengacungkan tangan kanan ke atas kepala. Tukang sunat berjongkok di depannya. Operasi itu selesai dalam hitungan detik. Shadrack tak berkedip atau menunjukkan bahwa ia merasa sakit. Bahkan, saat tukang sunat meniup peluit menandakan operasi selesai, dan bibi serta ibu Shadrack serta wanita lainnya melolong riang, Shadrack mulai berjingkrak-jingkrak.

Ayah dan paman Shadrack serta lelaki lainnya bergegas memeriksa hasil sunatan. Shadrack menggigil, mungkin karena kaget, lalu duduk saat kaum perempuan membalut tubuhnya dengan kain warna-warni.

Selama empat hari ke depan dia akan beristirahat menyembuhkan diri. Biasanya, orang yang baru disunat di masyarakat ini diasingkan selama empat bulan bersama pembimbing yang akan mengajarinya cara berburu, membangun pondok, menyamak kulit, dan menjadi prajurit yang tangguh sehingga dapat menghalau serangan maling ternak atau menyerang pihak lain. Meskipun sebagian pemuda Bukusu masih mempelajari keterampilan ini, Shadrack akan kembali bersekolah saat liburan berakhir September nanti. “Anda bisa jadi jagoan di sekolah,” kata Simiyu Wandibba, profesor antropologi Bukusu di Universitas Nairobi. “Anda dapat menyesuaikan nilai-nilai adat agar cocok dengan kehidupan modern.”

Kini Shadrack diperlakukan berbeda; dia memiliki hak patriarkal baru. Dia tidak lagi disuruh mengambil air ke sungai atau mencari kayu bakar atau menyapu rumah keluarganya. Kaum perempuan yang menyiapkan makanannya sekarang harus tahu apa yang disukainya. Dia kini memiliki pondok terpisah di kampungnya, tidak lagi tidur di rumah ibunya. Dan pada Desember silam, menurut adat, ada upacara khukhwalukha ketika periode perubahan tradisional dari omusinde menjadi omusani selesai, dan pemuda 14 tahun ini resmi dianggap lelaki dewasa oleh suku Bukusu.

Saat menyaksikan upacara sunat Bukusu, kita pasti merasa kagum bercampur cemas. Cemas karena anak-anak tersebut… masih anak-anak. Saya menghadiri lima khitanan dalam seminggu, dan beberapa omusinde itu bahkan lebih muda dan tampak kurang siap dibanding Shadrack. Apakah anak berusia 10 tahun, yang tergiur oleh hak baru dan dituntut mengikuti adat, benar-benar bebas memutuskan untuk menjalani operasi yang menyakitkan dan berisiko ini? Hal yang terjadi pada Shadrack dan anak-anak lainnya belum terhitung ekstrem jika dibandingkan dengan ritual akil balig di budaya lain. Anak suku aborigin Mardudjara di Australia harus menelan kulupnya setelah dipotong. Anak lelaki Satere Mawe di Amazon Brasilia memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan penuh dengan semut peluru (Paraponera clavata) yang sengat neurotoksiknya salah satu yang paling menyakitkan di alam.

Mengapa? Jawabannya, tentu saja, adalah bersiap menghadapi perang. Seperti ditulis oleh antropolog David Gilmore, saat sumber daya langka dan kemakmuran terancam, “ideologi gender mencerminkan kondisi material kehidupan.” Anak lelaki “digembleng” dan “ditempa” agar bisa memenuhi tugas klasik menghasilkan keturunan, mencari nafkah, dan memberi perlindungan yang telah dilakukan selama ribuan tahun. Baik untuk menangkal serangan lelaki lain atau untuk mengeksploitasi kelemahan, kekerasan merupakan motif utama kejantanan dalam banyak sekali budaya. Jika dinilai dari permainan video, film laga, perkelahian hoki, kekerasan tetap digandrungi kaum lelaki sekalipun kondisi material kehidupannya tak terancam.

Apa yang bisa menghentikan siklus yang menyamakan kejantanan dengan ketangguhan dan ketegaran? Apa yang dapat diubah pada orang yang memupuk kekerasan karena takut—atau karena menyukainya?

Terlepas dari rasa cemas, sulit untuk tidak mengagumi budaya yang menyediakan cara pasti, bagi anak lelaki untuk memasuki jenjang kedewasaan. Tahapannya sangat jelas. Sunatan membuat proses memasuki kedewasaan ini sangat terasa. “Darah menghubungkan kami dengan nenek moyang,” tutur salah satu paman Shadrack. Hak Shadrack sebagai lelaki memang membuatnya dapat memilih makanan. Tetapi, dia juga memikul kewajiban dan tanggung jawab, dan menurut sebagian orang pelecehan dalam ritual itu benar-benar dapat membantu mengajari anak-anak untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. “Jika pernah dilempari tahi sapi, kita akan mampu menghadapi tantangan apa pun yang terjadi dalam hidup ini,” kata Daniel Wesangula, seorang jurnalis Bukusu.

Selain itu, mereka mendapat dukungan bakoki, persaudaraan anak lelaki sebaya yang disunat pada waktu bersamaan. “Bakoki bersahabat seumur hidup,” kata Wesangula. “Mereka akan memikul keranda dan menguburkanmu. Jika kita salah jalan, orang tua akan meminta bakoki untuk menyadarkan.”

Mungkin karena tidak ada ritual akil balig, sekolah Oliver baru-baru ini mengundang kelompok teater remaja untuk mementaskan drama yang berjudul Now That We’re Men. Di dalam brosur acara tertulis: “Siapa yang dirugikan ketika [kata kotor] diucapkan terus-menerus di lorong SMP dan SMA? Apa rasanya hidup dalam budaya yang permainan video terpopulernya adalah yang memberi poin apabila pemain (kebanyakan lelaki muda) memerkosa dan membunuh perempuan?”

Saya kira sebagian adalah kesalahan saya, karena mewariskan tradisi pencarian diri yang tak terstruktur yang saya dapatkan dari ayah saya, yang tidak memaksa saya mendengarkan pendidikan seksual, atau melakukan upacara akil balig. Saya tak tahu apa yang bisa dianggap sebagai ritual akil balig yang mengubah saya menjadi seperti sekarang, dengan kemampuan tanggung dan seabrek ketidakmampuan.

Pada beberapa bulan terakhir hidupnya pada musim semi lalu, saya bertanya kepada ayah saya, apakah dia berusaha mempersiapkan saya memasuki jenjang kedewasaan, dan ketika dia bingung, saya bertanya kepadanya apakah menurutnya kakek melakukan sesuatu untuk mempersiapkannya. Tambah bingung. Saya kira kedewasaannya dibentuk oleh Angkatan Laut AS. Menjelang akhir usianya, pada tengah hari dia sudah lupa prosedur medis yang dilakukan padanya lima belas menit sebelumnya, tetapi dia bisa mengingat semua rekan sekapal yang berdinas bersamanya pada Perang Dunia II. Dia berusia 19 saat menyeberangi Samudra Pasifik dengan kapal tunda. Dia bernavigasi dengan sekstan, bertinju dengan pelaut lain, dan di lepas pantai Okinawa menembak pesawat kamikaze dengan pistolnya. Dia berlayar ke Teluk Hiroshima dua bulan setelah bom atom dijatuhkan dan melihat konsekuensi kejam perang. Pengalaman ini mengilhaminya menulis puisi yang dimuat New York Herald Tribune pada Oktober 1945. Dia dibayar 12 dolar, upah pertama dalam karier panjangnya sebagai penulis. Melindungi. Mencari nafkah.

Tanpa ritual, saya kira kedewasaan di keluarga kami mungkin berupa tata nilai, yang diwariskan terutama dengan teladan. Ayah saya pernah menjelaskan kepada teman sekamar saya saat kuliah, alasan dia tidak memerlukan pistol untuk melindungi keluarganya. Ucapannya, yang kini terasa bukan hanya sebagai pernyataan muluk idealisme liberal tetapi juga mencerminkan inti konsep kejantanannya, adalah “Pada hari saya mengandalkan pistol alih-alih pengacara, saat itu tidak ada lagi yang perlu dipertahankan.” Pandangan itu terasa ketinggalan zaman pada era saat pemuda di University of Texas membawa pistol. Dan saya ragu adakah ritual akil balig yang cukup rancak untuk mewariskan nilai yang ditemukan ayah saya pada dua seniman yang dikaguminya—humoris Robert Benchley dan peniup terompet Louis Armstrong—keduanya diidolakannya karena “humoris, santun, dan hidup penuh semangat.”

Saya tak yakin Oliver terbantu dengan mengetahui bahwa ada sejuta makna menjadi lelaki, atau bahwa dia bebas memilih sendiri, mencari tahu sendiri syarat untuk menjadi lelaki dewasa. Saya berharap dia menerima tanggung jawab lelaki dewasa, menolak ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin, dan memahami mana bagian yang bersifat biologis dan mana yang budaya. Mana yang patut dihargai dan layak dilestarikan dan mana yang perlu diubah. Saya berharap dia menjadi lelaki sejati dan dia tidak menuntut diistimewakan dalam mewujudkan visinya tersebut. Dia juga memiliki nenek moyang, yang kini telah berkalang tanah. Tidak ada salahnya berkiblat pada humor, kesantunan, dan hidup penuh semangat.