Wisata Nuklir

By , Jumat, 15 Mei 2015 | 15:14 WIB

Konon lima sievert radiasi sudah cukup untuk menewaskan manusia; jadi, saya penasaran ingin melihat angka pada dosimeter saya tatkala mobil minibus wisata memasuki kawasan eksklusi—kawasan luas berkarantina yang mengelilingi Chernobyl. Hutan pinus dan pohon birkin tampak rimbun di tepi jalan saat pemandu wisata mengingatkan kami tentang beberapa aturan dasar: Jangan memetik jamur, yang sarat dengan radionuklida, atau mengambil risiko dengan membiarkan zat pencemar memasuki tubuh saat makan atau merokok di alam terbuka. Beberapa menit kemudian, kami melewati desa pertama yang ditinggalkan penduduknya, lalu berhenti dan mengagumi sekawanan kecil kuda liar Przewalski (Equus ferus przewalskii).

Dua puluh delapan tahun setelah ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, kawasan tersebut, yang nyaris tak berpenghuni lagi, diduduki aneka margasatwa. Ada bison, babi hutan, rusa, serigala, berang-berang, burung elang. Di kota hantu Pripyat, tampak burung elang bertengger di puncak blok apartemen era Uni Soviet yang kini senyap. Kawanan kuda—jenis kuda yang terancam punah—dilepaskan di sini satu dekade setelah bencana itu, ketika radiasi dianggap sudah dapat ditoleransi, memberi mereka lahan lebih dari 2.500 kilometer persegi untuk dijelajahi dengan bebas.

Saya melirik dosimeter: 0,19 mikrosievert per jam—sekelumit dari sepersejuta sievert, ukuran paparan radiasi. Masih belum perlu khawatir. Kadar tertinggi yang pernah saya lihat sejauh ini dalam perjalanan ke Ukraina adalah dalam penerbangan transatlantik dari Chicago—sinar kosmik naik tajam hingga 3,5 mikrosievert per jam saat kami terbang di ketinggian 12.000 meter di atas Greenland, menembus pesawat dan penumpang. Para ilmuwan yang mengkaji Chernobyl masih belum sepakat mengenai efek jangka panjang radiasi pada flora dan fauna. Sejauh ini, sungguh mengejutkan bahwa efek tersebut sangat kecil. Yang justru lebih berbahaya bagi kawanan margasatwa itu adalah pemburu bersenjata yang menyelinap ke kawasan itu.

Beberapa menit kemudian, kami mencapai Zalesye, sebuah desa pertanian lama, dan berjalan di antara rumah-rumah kosong. Tampak jendela yang sudah rusak, cat yang terkelupas, plester yang rontok. Di lantai sebuah rumah tampak foto Lenin. Sebuah boneka mainan tampak digantung dengan tali di dinding kamar tidur. Boneka itu tertahan di bagian leher, seolah-olah sedang digantung dengan tali oleh algojo. Di luar, sebuah boneka lagi terdapat di sebelah kereta dorong yang sudah rusak. Semua benda ini adalah sajian pertama yang mengerikan, yang kami lihat selama dua hari berada di kawasan tersebut. Beberapa boneka berpakaian compang-camping tampak di dalam buaian, masker gas bergelantungan dari pepohonan—seakan pertunjukan yang ditata oleh para pengunjung, baik yang berkunjung dengan izin maupun pengunjung gelap, menyiratkan kengerian yang senyap dan yang perlahan lenyap.

Saat semakin jauh menyusuri jalanan, kami dikejutkan oleh seorang warga. Rosalia adalah salah seorang yang oleh para pejabat disebut "orang yang kembali"—orang-orang tua keras kepala, kebanyakan perempuan, yang bersikeras untuk meneruskan kehidupan mereka di tempat yang mereka sebut kampung halaman. Saat diminta oleh pemandu, dia menceritakan kehidupan sulit yang lebih menyengsarakan di masa sebelumnya. Tanah di sekitar Chernobyl (atau disebut Chornobyl di Ukraina) adalah bagian dari Pripyat Marshes di garis depan sebelah timur; di situ pernah berlangsung pertempuran paling berdarah saat Perang Dunia II. Dia masih ingat tentara Jerman dan penderitaan di bawah Stalin.

"Kita tidak dapat melihat radiasi," katanya dalam bahasa Ukraina. Lagi pula, d menambahkan, dia tidak berniat untuk punya anak. Sebelum kami berangkat, dia menunjukkan kebun sayurnya dan berkata bahwa masalah terbesarnya saat ini adalah kutu kentang Colorado.

!break!

ADA SESUATU yang berakar kuat dalam jiwa manusia yang membuat kita tertarik mengunjungi kawasan bencana yang menampilkan kengerian tak terperi. Pompeii, Antietam, Auschwitz, dan Treblinka—semuanya hening sekarang. Namun, pada abad ke-21 kita mengalami ketertarikan luar biasa pada kehancuran pasca-bencana nuklir. Pemecahan atom hampir seratus tahun yang lalu menjanjikan kemajuan teramat penting dalam kehidupan manusia setelah penemuan api. Melepaskan kekuatan yang terikat di dalam inti atom dapat menghasilkan energi hampir tak terbatas bagi dunia. Tak pelak lagi, penggunaan energi nuklir yang pertama adalah dalam peperangan. Namun, setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, upaya besar mulai dilakukan untuk menyediakan listrik yang amat sangat murah sehingga dunia terbebas dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal.

Lebih dari setengah abad kemudian, lambang orbit untuk atom, yang dulu merupakan lambang kemajuan dan kemenangan teknologi, menyiratkan kematian, yang dalam pikiran manusia berkaitan dengan kehancuran dan ketakutan akan Perang Dingin. Pada setiap musim semi, pengunjung menuju Stallion Gate di selatan New Mexico, menghadiri acara open house di Trinity Site, tempat bom atom pertama diledakkan—pratinjau tentang apa yang akan terjadi saat pesawat pengebom mencapai Jepang. Tur bulanan ke Situs Pengujian Nevada di Gurun Mojave, tempat pengujian lebih dari seribu senjata nuklir selama Perang Dingin, sudah habis dipesan untuk sepanjang tahun 2014.

Pada 2011, Chernobyl, situs bencana terburuk di dunia yang menyangkut pembangkit listrik tenaga nuklir, secara resmi dinyatakan sebagai tempat tujuan wisata.

Wisata nuklir. Ketika muncul kira-kira bersamaan dengan terjadinya bencana Fukushima, gagasan tentang wisata nuklir tampaknya sungguh tidak masuk akal. Dan hal itulah yang membuat saya tertarik, di samping rasa penasaran untuk menyaksikan sejumlah kota kecil yang ditinggalkan secara terburu-buru, dan membiarkannya dikuasai alam.

Seratus kilometer dari Chernobyl, di kota Kiev, ibu kota Ukraina, demonstrasi berdarah yang berlangsung selama berminggu-minggu, pada Februari yang lalu akhirnya menyebabkan pengusiran presiden dan dikukuhkannya pemerintahan baru. Sebagai tanggapan atas pergolakan itu, Rusia menduduki Crimea, semenanjung yang menjorok dari Ukraina selatan ke Laut Hitam. Pasukan Rusia berkumpul di perbatasan timur Ukraina. Meskipun mungkin terdengar ganjil, Chernobyl serasa seperti tempat yang paling aman.

Para wisatawan “pemberani” lainnya di van itu berkunjung dengan alasan masing-masing. John, seorang pemuda dari London, memang penggemar "pariwisata ekstrem”.  Gavin dari Australia dan Georg dari Wina sama-sama bekerja untuk menampilkan fenomena karantina.

Di antara semua wisatawan dalam tur itu, yang paling mencolok adalah Anna, wanita muda pendiam dari Moskow. Ini adalah ketiga kalinya dia ke Chernobyl, dan dia baru saja mendaftar untuk tur lima hari yang sama di akhir tahun.