Svanetia

By , Jumat, 15 Mei 2015 | 15:20 WIB

DI SVANETI pertikaian lama sekalipun dapat berdampak abadi. Seabad silam di Cholashi, kakek buyut Jachvliani membunuh seorang tetangganya untuk membalas dendam atas pembantaian banteng kebanggaannya. Pertikaian berakhir ketika keluarga Jachvliani membayar ganti rugi kepada si tetangga senilai satu hektare lahan pertanian dan 20 kepala hewan ternak, harga darah yang dampaknya masih bisa dirasakan.

Keluarga Jachvliani kini hanya memiliki seekor banteng. Penggalan kepala banteng lainnya, yang telah dikorbankan untuk menghormati mendiang nenek Jachvliani, diletakkan di meja kayu, matanya masih terbuka, lidah kelabu tebalnya terjulur ke samping. Di bawah tatapan nyalang hewan itu, Jachvliani dan pria-pria Cholashi lainnya menjalankan upacara hidangan pertama ormotsi: setup jantung dan hati pedas. Hari itu juga, sebelum pesta meriah digelar pada malam harinya, Jachvliani dan beberapa pria yang tidak mencukur janggut selama 40 hari sejak kematian sang nenek berkumpul di luar kamar almarhumah. Mereka berdoa dan bersulang. Kemudian sekelumit janggut tipis mereka dipotong dan ditaruh di meja persembahan bersama tongkat kayu sang nenek.

Kematian, seperti sejarah, terasa dekat di Svaneti. Setiap bulan selama setahun keluarga Jachvliani akan mengadakan perayaan kecil-kecilan untuk menghormati sang nenek. Kemudian, 70 hari sebelum Paskah, keluarga itu akan berkumpul untuk menggelar Lamproba, upacara untuk “menyebut arwah” yang menggabungkan unsur-unsur pra-Kristen dan Kristen. Jachvliani dan para kerabat lelakinya akan membawa obor kayu birch melewati hamparan salju dan meletakkannya di dekat kuburan sang nenek. Mereka akan berdoa dan bersulang hingga nyala obor-obor itu padam.

Hingga kapankah arang tradisi tetap membara di Svaneti? Pada pagi setelah ormotsi, Jachvliani dengan janggut terpangkas bersih menyeberangi lembah untuk menjalani pekerjaan barunya—kru konstruksi pembetonan jalan tanah menuju puncak gunung. Jalan itu membentang hingga Ushguli, tetapi pekerjaan di bagian ini memungkinkan perangkat mesin berat merambah resor ski yang tengah berkembang di Gunung Tetnuldi. Di dekat sungai di bawah Cholashi, seutas pagar rantai melingkari bukti apa yang akan datang: berderet-deret kursi gantung dan gondola.

Berbagai perubahan yang terjadi di lembah ini, selain proposal pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik bertenaga air di selatan, meresahkan banyak orang Svan. Apakah yang akan terjadi pada desa mereka, tanah mereka, tradisi mereka? Jachvliani berusaha optimis. Resor ski, katanya, dapat menyuntikkan sumber daya yang sangat diperlukan ke daerah mereka yang terisolasi—dan mengembalikan sekitar 20 keluarga yang telah meninggalkan desa. “Kami membutuhkan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak kesempatan,” katanya.

Duduk bersama ibunya yang telah menjanda di dekat tungku dapur, Jachvliani menatap siluet pegunungan yang berlatar belakang langit. Dia tetap bertahan di Svaneti ketika saudari-saudarinya pindah ke dataran rendah Georgia karena dia adalah satu-satunya anak lelaki, pria terakhir di keluarganya. Kini, di usianya yang ke-31, dia tidak sanggup membayangkan dirinya pergi. “Kembalilah sepuluh tahun lagi,” katanya, tertawa ketika kedua putri kecilnya memanjat punggungnya, “dan lihat apakah desa kami masih ada.” Keyakinannya datang selain dari sejarah panjang keberadaan Svaneti juga dari fakta sederhana bahwa saat ini dia adalah salah seorang penjaga api.