Svanetia

By , Jumat, 15 Mei 2015 | 15:20 WIB

Orang-orang berkumpul saat fajar di dekat menara batu, menggenggam pisau dengan tangan berkapal. Setelah hujan salju semalaman—yang pertama untuk musim ini di Svaneti, wilayah di Pegunungan Kaukasus, Georgia—sinar matahari menembus dinginnya udara. Sekonyong-konyong, di atas Desa Cholashi, melampaui menara-menara setinggi 21 meter yang membentuk pemandangan bernuansa kunonya, tampaklah cincin puncak-puncak gunung setinggi 4.570 meter yang selama berabad-abad telah melindungi salah satu kebudayaan abad pertengahan terakhir dari dunia luar.

Kesunyian melanda ketika Zviad Jachvliani, mantan petinju berbadan tegap dengan janggut bersemburat kelabu, memimpin pria-pria itu—dan seekor banteng bandel—memasuki halaman yang menghadap lembah berselimut salju tipis. Kata-kata tidak diperlukan lagi. Hari ini mereka mengadakan ormotsi, perayaan khas Svan untuk menandai hari ke-40 meninggalnya seseorang yang dicintai, dalam hal ini nenek Jachvliani. Mereka sudah tahu harus melakukan apa, karena tradisi Svan—mengorbankan hewan, ritual memotong janggut, pertarungan berdarah—telah dijalankan lebih dari seribu tahun di sudut liar Georgia ini. “Banyak yang telah berubah di Svaneti,” ujar Jachvliani, 31, ayah tiga orang anak. “Tetapi tradisi kami akan terus dijalankan. Ini sudah terpateri di dalam DNA kami.”

Di halaman itu dia menghadapkan banteng ke timur, tempat matahari merangkak ke atas mahkota bergerigi Gunung Tetnuldi, di dekat perbatasan Rusia. Lama sebelum kehadiran agama Kristen pada milenium pertama, orang-orang Svan menyembah matahari, dan kekuatan spiritual itu—bersama derivatifnya, api—masih diejawantahkan dalam ritual-ritual setempat. Di depan pria-pria berpisau yang berkumpul di hadapannya, Jachvliani menuangkan sesloki minuman keras rumahan ke tanah sebagai persembahan untuk neneknya. Pamannya yang telah uzur merapalkan doa. Kemudian sepupunya, menangkupkan tangan untuk melindungi nyala lilin dari terpaan angin, menyulut bulu di jidat, punggung bawah, dan bahu si banteng. Ini adalah lambang salib yang dibentuk dari api.

Setelah doa diucapkan, mereka melaso salah satu kaki si banteng dan, secara serempak, mendorong hewan yang melenguh-lenguh ribut itu ke dahan pohon apel. Jachvliani menyambar tanduknya, sementara seorang penduduk desa lainnya menghunus belati tajam, berlutut di samping banteng, dan, dengan lembut, meraba arteri di lehernya.

SEPANJANG SEJARAH, sejumlah kekaisaran besar—Arab, Mongolia, Persia, Ottoman—pernah mengirim pasukan untuk mengobrak-abrik Georgia, perbatasan antara Eropa dan Asia. Tetapi kampung halaman orang-orang Svan, secarik lahan yang tersembunyi di antara lembah-lembah Caucasus, tetap tidak tertaklukkan hingga Rusia memegang kendali pada pertengahan abad ke-19. Letak Svaneti yang terisolasilah yang membentuk identitasnya—dan nilai sejarahnya. Saat terancam bahaya, penduduk dataran rendah Georgia mengirim berbagai artefak, perhiasan, dan manuskrip ke sejumlah gereja di gunung untuk diamankan, menjadikan Svaneti gudang penyimpanan kebudayaan awal Georgia. Orang Svan memegang peran mereka sebagai pelindung secara serius; seorang pencuri artefak bisa diusir dari desa atau, yang lebih berat, dikutuk oleh dewa.

Berkat perlindungan gunung mereka, penduduk Svaneti berhasil melestarikan kebudayaan yang bahkan lebih tua: kebudayaan mereka sendiri. Pada abad pertama S.M. orang-orang Svan, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai keturunan budak-budak Sumeria, memiliki reputasi sebagai pejuang gagah berani, sebagaimana yang didokumentasikan dalam tulisan ahli geografi Yunani, Strabo. (Karena orang Svan menggunakan kulit domba untuk mengayak emas di sungai, Strabo juga menelurkan spekulasi bahwa Svaneti adalah sumber bulu domba emas yang diburu oleh Jason dan para Argonaut.) Ketika agama Kristen hadir, sekitar abad keenam, kebudayaan Svan telah mendarah daging—dengan bahasanya sendiri, musik bertekstur rumitnya, dan nilai-nilai kekesatriaan, pembalasan dendam, dan hukum rakyatnya yang kompleks.

Kalaupun peninggalan dari masyarakat kuno ini hanya beberapa ratus menara batu yang menjulang di desa-desa Svan, itu sudah cukup mengesankan. Tetapi benteng-benteng ini, yang sebagian besarnya dibangun pada abad ke-9 hingga ke-13, bukan penanda kebudayaan yang telah hilang melainkan lambang paling nyata sebuah kebudayaan yang, dengan penuh mukjizat, bertahan melawan terpaan zaman. Orang Svan yang masih tinggal di Svaneti Atas—tempat beberapa desa paling tinggi dan terisolasi di Caucasus—terus mempertahankan tradisi nyanyian, perkabungan, dan perayaan mereka, dan dengan teguh membela kehormatan keluarga. “Svaneti adalah museum etnografi hidup,” kata Richard Bærug, akademisi Norwegia dan pemilik penginapan yang turut berjuang membantu menyelamatkan bahasa Svan, bahasa lisan utama yang oleh banyak ahli dipercaya lebih tua daripada bahasa Georgia, bahasa lisan saudaranya yang lebih banyak digunakan saat ini. “Tidak ada tempat lain yang masih menjalankan adat istiadat dan ritual Abad Pertengahan Eropa seperti di sini.”

Tetapi apakah yang terjadi ketika Abad Pertengahan bertemu dengan dunia modern? Sejak tahun-tahun akhir pemerintahan Soviet seperempat abad silam, ribuan orang Svan telah bermigrasi ke dataran rendah Georgia, melarikan diri dari kemiskinan, konflik, bencana alam—dan geng-geng kriminal. Pada 1996, ketika UNESCO menetapkan status Warisan Dunia untuk sekelompok desa Svan berlokasi tertinggi, Ushguli, satu-satunya jalan yang mengular menuju Svaneti diduduki bandit-bandit yang gencar melancarkan teror sehingga hanya ada segelintir orang yang berani berkunjung ke sana. Pihak yang berwenang membasmi geng-geng itu pada 2004. Dan kini pemerintah tengah menyusun rencana untuk mengubah zona gunung abad pertengahan ini menjadi magnet wisatawan.

Svaneti bisa dibilang telah menyaksikan lebih banyak perubahan dalam beberapa tahun daripada seribu tahun silam. Tidak hanya van-van yang dipadati backpacker asing yang menemukan rute-rute penjelajahan perawan di wilayah itu. Pada 2012 pemerintah memasang sambungan listrik hingga desa paling terpencil. Jalan yang menghubungkan sebagian besar desa di Svaneti Atas dan membentang sampai Ushguli akan segera dibeton. Pembangunan besar-besaran telah mengubah daerah Mestia yang sunyi menjadi semacam kota resor Swiss dengan deretan pondok kayu yang berujung pada bangunan-bangunan hipermodern milik pemerintah dan bandara seperti dalam film kartun The Jetsons. Sementara itu di lereng Gunung Tetnuldi, tepat di seberang sungai dari kampung Jachvliani di Chloashi, salah satu resor ski terbesar di Georgia mulai terbentuk.

Mungkin karmalah yang menjadikan pegunungan dan menara-menara batu yang telah berabad-abad menjadi pelindung dari orang luar kini malah menggoda mereka masuk. Tetapi akankah semua perubahan tersebut menyelamatkan wilayah terisolasi ini—atau justru menjerumuskannya?

Bachvi Kaldani, kepala sebuah keluarga tua di Adishi, berbisik parau, namun kata-katanya—yang mengalir dalam irama putus-putus tajam bahasa Svan—penuh ketegasan: “Kalau saya berhenti, saya akan mati.” Bahkan di usianya yang ke-86, dengan tangan keriput dan punggung bungkuk, Kaldani tetap sigap menjalani kerasnya kehidupan perkampungan Svan: memotong bilah-bilah kayu dengan kapak berat, memangkas rumput dengan sabit untuk persediaan makanan musim dingin hewan-hewan ternaknya, dan memperbaiki menara batu keluarganya.

Ketidakpastian kehidupan di gununglah yang pernah menggoda Kaldani sekalipun untuk meninggalkan Svaneti. Dibesarkan di machubi—bangunan berdinding batu yang dihuni seluruh anggota keluarga besar, termasuk hewan ternak—dia masih ingat ketika Adishi ramai oleh 60 keluarga, tujuh gereja, dan puluhan artefak suci. Para pemimpin klan dari seluruh Svaneti rela menunggang kuda selama berhari-hari untuk berdoa di hadapan Injil Adishi bersampul kulit yang telah ada sejak 897. Bagaimanapun bencana selalu mengintai, dan Kaldani membanting tulang guna menimbun cukup persediaan untuk menghadapi musim dingin yang berat, yang hingga kini masih memisahkan Adishi dari daerah Svaneti lainnya. Tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkannya dari bencana longsor maut pada 1987. Dia mengamankan keluarganya di dasar menara batu mereka, tetapi puluhan orang tewas di seluruh Svaneti pada musim dingin itu—dan eksodus pun dimulai.

Seiring dengan kian banyaknya keluarga Svan yang beremigrasi ke dataran rendah Georgia, Adishi menjadi kota hantu. Pada satu titik tinggal empat kelurga yang tersisa—Kaldani dan istrinya, sang pustakawan desa, di antaranya. Anak-anak lelaki Kaldani, yang juga telah pergi dari Adishi, membujuk orangtua mereka untuk ikut ke dataran yang kering pada suatu musim dingin. Mereka hanya sanggup pergi selama empat bulan sebelum bergegas pulang ke Adishi. “Keluarga saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 1.200 tahun,” ujarnya. “Bagaimana mungkin saya membiarkan desa saya punah?”

Bekerja keras dalam balutan topi wol tradisionalnya, Kaldani merupakan cerminan kuatnya kebudayaan Svan—dan bahaya yang dihadapinya. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang masih fasih berbahasa Svan. Dia juga salah satu mediator desa terakhir, yang sudah sejak lama diandalkan untuk menengahi berbagai masalah, dari pencurian kecil-kecilan sampai pertikaian keluarga berdarah yang telah berlangsung lama. Kewajiban untuk membela kehormatan keluarga, walaupun saat ini sudah agak berkurang, dahulu memicu sangat banyak konflik berdarah di masyarakat Svan, sehingga para pakar meyakini bahwa menara batu dibangun untuk melindungi keluarga tidak hanya dari penyusup tetapi juga satu sama lain.

Di tengah kekacauan setelah kejatuhan Uni Soviet, pertikaian berdarah kembali marak. “Saya tak pernah beristirahat,” kata Kaldani. Dalam beberapa kasus, setelah menegosiasikan harga darah (biasanya 20 ekor sapi untuk satu pembunuhan), dia membawa keluarga yang saling bertikai ke gereja, lalu menyuruh mereka bersumpah di hadapan artefak-artefak suci dan saling membaptis. Ritual ini, menurutnya, mewajibkan keluarga-keluarga itu untuk “tidak bertikai hingga 12 generasi.”

Pertikaian berdarah bisa dibilang telah lenyap dari Svaneti selama dekade terakhir, tetapi kode-kode etik keadilan kuno, yang diusung oleh mediator semacam Kaldani, tetap lestari. Tradisi-tradisi desa lainnya pun masih bertahan. Setiap Agustus, salah satu keluarga setempat menyelenggarakan perayaan tahunan Adishi, Lichaanishoba, yang menarik para mantan penduduk desa dari dataran rendah dan pasangan yang berdoa agar mendapatkan putra atau berterima kasih atas kelahiran putra mereka. Setiap pasangan membawa seekor domba untuk persembahan, selain sekendi minuman keras buatan sendiri. Pada musim panas 2013, 500 orang hadir. Di bukit kecil di dekat bangunan mungil Gereja St. George yang didirikan pada abad ke-12, 32 ekor domba didoakan dan dikorbankan.

Dari puncak menara batu setinggi 15 meter milik Kaldani, Adishi tampak cantik dan terbengkalai. Kerai-kerai karatan berayun-ayun tertiup angin. Pohon-pohon pinus menyembul dari menara-menara setengah runtuh. Sungai di bawah membanjiri jalan tanah menuju desa sehingga hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Tetapi Adishi kembali hidup berkat keteguhan hati Kaldani dan lokasinya yang berada tepat di jalur penjelajahan populer. Selama dua tahun terakhir, tujuh keluarga telah pulang untuk membangun kembali rumah mereka dan membuka penginapan-penginapan kecil, mengembalikan jumlah populasi penuh-waktunya hingga nyaris mencapai 30 jiwa. Selagi dua orang tetangga Kaldani mengasah sabit untuk membabat rumput pada hari-hari terakhir menjelang musim dingin, Adishi tidak lagi memancarkan kesan terbengkalai. Kesan yang kini terlihat adalah terlahir kembali.

NYANYIAN CINTA dan dendam dimulai dengan lembut oleh suara tunggal yang mengalun mengikuti melodi kuno. Suara-suara lain di ruangan tanpa pemanas di dekat alun-alun utama Mestia itu segera mengiringi, membangun progresi harmoni yang padat dan melodi yang saling bersahutan, kian lama kian mendesak hingga berujung pada satu nada nyaring.

Ini adalah sebagian musik polifonik tertua di dunia, bentuk kompleks yang menampilkan dua atau lebih alunan melodi simultan. Umurnya berabad-abad lebih tua dari kehadiran agama Kristen di Svaneti. Tetapi tidak seorang pun musisi di ruangan itu berusia lebih dari 25 tahun pada musim gugur ini. Pada akhir sesi, para pemuda dan pemudi itu berbondong-bondong ke alun-alun seraya mengobrol, bersenda gurau, dan saling mencium pipi—dan memainkan ponsel mereka.

“Kami semua punya akun Facebook,” kata Mariam Arghvliani, gadis 14 tahun yang memainkan tiga macam instrumen petik kuno (termasuk harpa kayu berbentuk L khas Svan) untuk kelompok pemuda peminat musik daerahnya, Lagusheda. “Tetapi itu tidak berarti kami melupakan adat istiadat kami.”

Kematian bahasa yang bersamaan dengan kebangkitan kembali musik tradisional menjadi salah satu ironi getir Svaneti. Fenomena ini tidak digalakkan oleh para tetua desa, para penjaga kebudayaan Svan, tetapi oleh para pemuda di Mestia, kota yang aspirasi modernnya tercermin dalam bangunan kantor polisi bergaya futuristik yang berhadapan dengan menara-menara batu di tanjakan di atasnya.

Seperti kebanyakan orang dari generasinya, Arghvliani hanya tahu sedikit bahasa Svan—“sebagian besarnya lirik lagu-lagu kami,” ungkapnya. Tetapi minatnya terhadap musik sudah terbentuk sejak dia masih bayi; pada usia empat tahun, dia telah menyanyi bersama kelompok paduan suara bibinya. Tetap saja, bakatnya dapat memudar sebagaimana tradisi musik Svan seandainya tidak ada program untuk pemuda yang dicanangkan 13 tahun silam oleh pejuang pembela kebudayaan Svaneti yang kharismatik, Bapa Giorgio Chartolani.

Duduk di kuburan gerejanya, Chartolani mengenang huru-hara pasca-Soviet yang mengancam kebudayaan yang telah lemah gara-gara tekanan Komunis selama tujuh dekade. “Kehidupan saat itu brutal,” katanya, mengelus-elus janggut panjangnya. Pendeta itu mengangguk ke arah batu-batu nisan, yang sebagian dipasangi gambar pemuda yang terbunuh dalam pertikaian. “Desa-desa semakin sunyi, kebudayaan kami menghilang,” ujarnya, menceritakan bahwa 80 dari 120 lagu Svan yang ada telah musnah dalam dua generasi terakhir. “Harus ada yang dilakukan.” Programnya, yakni mengajarkan musik dan tarian tradisional kepada ratusan siswa seperti Arghvliani menjadi, ujarnya, “secercah cahaya di tengah kegelapan.”

Kini program itu menyinari sebuah alternatif masa depan. Malam itu para musisi muda kembali ke alun-alun Mestia dengan ornamen festival lengkap: para pemuda mengenakan stoking burgundi, belati perak menggantung dari ikat pinggang mereka; para pemudi mengenakan gaun petani hitam panjang. Penonton mereka terdiri dari 50 turis asing yang mengenakan parka warna-warni, masing-masing membayar enam dolar untuk menonton pertunjukan itu. Kebangkitan musik Svan sudah terjadi sebelum para turis mulai mengunjungi Svaneti, namun baru pada 2012 kelompok musik yang seluruh anggotanya laki-laki, Kyiria, tampil untuk pertama kalinya di hadapan tamu. Ketertarikan dunia luar yang semakin besar terhadap bentuk musik yang rumit itu menghasilkan dampak menguntungkan: Lebih banyak anak Svan mengikuti kelas-kelas Chartolani.

Arghvliani belum tahu apakah dia akan mengejar karier di bidang musik tradisional—dia juga menggemari Beyoncé dan dubstep—atau bahkan apakah dia akan tetap tinggal di Svaneti. Dia melihat kebudayaannya bergerak ke dua arah: “Bahasa Svan akan lenyap bersama generasi saya,” katanya. “Tetapi musik akan tetap hidup.”

DI SVANETI pertikaian lama sekalipun dapat berdampak abadi. Seabad silam di Cholashi, kakek buyut Jachvliani membunuh seorang tetangganya untuk membalas dendam atas pembantaian banteng kebanggaannya. Pertikaian berakhir ketika keluarga Jachvliani membayar ganti rugi kepada si tetangga senilai satu hektare lahan pertanian dan 20 kepala hewan ternak, harga darah yang dampaknya masih bisa dirasakan.

Keluarga Jachvliani kini hanya memiliki seekor banteng. Penggalan kepala banteng lainnya, yang telah dikorbankan untuk menghormati mendiang nenek Jachvliani, diletakkan di meja kayu, matanya masih terbuka, lidah kelabu tebalnya terjulur ke samping. Di bawah tatapan nyalang hewan itu, Jachvliani dan pria-pria Cholashi lainnya menjalankan upacara hidangan pertama ormotsi: setup jantung dan hati pedas. Hari itu juga, sebelum pesta meriah digelar pada malam harinya, Jachvliani dan beberapa pria yang tidak mencukur janggut selama 40 hari sejak kematian sang nenek berkumpul di luar kamar almarhumah. Mereka berdoa dan bersulang. Kemudian sekelumit janggut tipis mereka dipotong dan ditaruh di meja persembahan bersama tongkat kayu sang nenek.

Kematian, seperti sejarah, terasa dekat di Svaneti. Setiap bulan selama setahun keluarga Jachvliani akan mengadakan perayaan kecil-kecilan untuk menghormati sang nenek. Kemudian, 70 hari sebelum Paskah, keluarga itu akan berkumpul untuk menggelar Lamproba, upacara untuk “menyebut arwah” yang menggabungkan unsur-unsur pra-Kristen dan Kristen. Jachvliani dan para kerabat lelakinya akan membawa obor kayu birch melewati hamparan salju dan meletakkannya di dekat kuburan sang nenek. Mereka akan berdoa dan bersulang hingga nyala obor-obor itu padam.

Hingga kapankah arang tradisi tetap membara di Svaneti? Pada pagi setelah ormotsi, Jachvliani dengan janggut terpangkas bersih menyeberangi lembah untuk menjalani pekerjaan barunya—kru konstruksi pembetonan jalan tanah menuju puncak gunung. Jalan itu membentang hingga Ushguli, tetapi pekerjaan di bagian ini memungkinkan perangkat mesin berat merambah resor ski yang tengah berkembang di Gunung Tetnuldi. Di dekat sungai di bawah Cholashi, seutas pagar rantai melingkari bukti apa yang akan datang: berderet-deret kursi gantung dan gondola.

Berbagai perubahan yang terjadi di lembah ini, selain proposal pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik bertenaga air di selatan, meresahkan banyak orang Svan. Apakah yang akan terjadi pada desa mereka, tanah mereka, tradisi mereka? Jachvliani berusaha optimis. Resor ski, katanya, dapat menyuntikkan sumber daya yang sangat diperlukan ke daerah mereka yang terisolasi—dan mengembalikan sekitar 20 keluarga yang telah meninggalkan desa. “Kami membutuhkan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak kesempatan,” katanya.

Duduk bersama ibunya yang telah menjanda di dekat tungku dapur, Jachvliani menatap siluet pegunungan yang berlatar belakang langit. Dia tetap bertahan di Svaneti ketika saudari-saudarinya pindah ke dataran rendah Georgia karena dia adalah satu-satunya anak lelaki, pria terakhir di keluarganya. Kini, di usianya yang ke-31, dia tidak sanggup membayangkan dirinya pergi. “Kembalilah sepuluh tahun lagi,” katanya, tertawa ketika kedua putri kecilnya memanjat punggungnya, “dan lihat apakah desa kami masih ada.” Keyakinannya datang selain dari sejarah panjang keberadaan Svaneti juga dari fakta sederhana bahwa saat ini dia adalah salah seorang penjaga api.