Embara di Bara Padang

By , Jumat, 11 Desember 2015 | 15:39 WIB

Deretan tengkorak kerbau liar, rusa dan banteng yang dipajang di tepi sabana menjadi tempat favorit muda-mudi itu. Etalase ini agaknya ingin meneguhkan kejayaan Baluran sebagai padang liar ujung timur Jawa. Namun di sisi lain juga membersitkan kabar lain: Bekol telah banyak kehilangan.

Akasia duri (Acacia nilotica) telah merombak hamparan rumput di padang seluas 300 hektare ini. Kini rumput rayapan, kapasan dan otok-otok merajalela. Tumbuhan ini menyingkirkan rumput lamuran yang disukai banteng jawa (Bos javanicus). Pada petak yang berpagar, Balai Taman Nasional berusaha menumbuhkan kembali rumput lamuran.

Sabana dan banteng adalah ikon yang mengibarkan Taman Nasional Baluran. Dan kini, butuh keberuntungan untuk menemui sang banteng. “Sembilan puluh sembilan persen mimpi buruk,” kata Swiss saat tahu kami ingin mengamati banteng jawa. Mau tak mau, kami memupus keinginan berjumpa dengan mamalia besar itu.

Kendati begitu, Bekol tetap menjadi jendela untuk mengintip alam dan satwa liar Baluran. Layar kehidupan tetap berkembang di padang rumput yang datar dan lapang ini. Dalam tatapan para rusa, saya berteduh di bawah pohon pilang (Acacia leucophloea) mengamati kawanan lutung. Semakin saya mendekat, lutung-lutung berlarian ke atas pohon. Jeritannya memecah sabana yang sunyi. Kawanan rusa berlindung dengan menyusup ke dalam tegakan akasia duri.!break!

Dua minibus merambat pelan di jalan berbatu antara Bekol dengan pantai Bama (lihat peta). Kaca mobil yang gelap menyembunyikan para penumpangnya. Mesin yang mendengus lirih mengisyaratkan pendingin udara memompa kesejukan di dalam minibus.

Pelancong domestik lebih suka menjelajahi Bekol dalam mobil yang dingin. Tiada keintiman dengan alam kerontang dan satwa liar yang hidup prihatin. Padahal, tak jauh dari jalan, beberapa lutung turun ke tanah, berdampingan dengan kawanan rusa.

Yunaidi bersama Arief Budiman sempat berjumpa gerombolan ajag (Cuon alpinus) berburu rusa dekat kawasan ini. Arief adalah salah satu pengamat lapangan untuk studi ajag yang dilakukan Sandy Nurvianto dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dia telah menyisir sudut-sudut Baluran mengikuti gerak jelajah ajag. Satwa pemangsa ini bersarang di ceruk-ceruk tebing kapur. “Sebaiknya pagi atau sore hari untuk bisa mengamati ajag,” kisah Arif, “kalau siang terlalu panas, ajag dan semua satwa tidak aktif. Ngeyup, berlindung.” Tapi, imbuh Arief, perjumpaan dengan anjing hutan itu tanpa jaminan. “Tetap tidak bisa dijadwal,” kelakarnya.

Ajag biasa berburu bersama-sama, mengepung dan melumpuhkan mangsanya. Arif mengisahkan rusa-rusa kerap berlarian menyingkir saat sekelompok ajag berburu. Untuk mencari aman, tak jarang rusa-rusa mendekati manusia. “Kadang rusa mengungsi dekat barak polisi hutan di Bekol. Rusa tahu manusia bisa memberi rasa aman.”

Monyet yang Manusiawi

Kawasan pantai di timur padang Bekol adalah harapan bagi satwa liar untuk sintas selama kemarau yang keras. Selama musim hujan yang pendek, air menyusup sampai lapisan yang keras di bawah tanah. Lalu, air muncul sebagai mata air di dekat pantai. Salah satunya ada di sekitar pantai Bama (lihat peta).

Selarik hutan pantai memisahkan Bama dari terjangan panas padang Bekol. Setelah terpanggang hawa bersuhu 38 derajat celsius, saya mendinginkan tubuh di keteduhan pohon di Bama. Angin yang berhembus dari Selat Bali mendatangkan rasa kantuk.