Embara di Bara Padang

By , Jumat, 11 Desember 2015 | 15:39 WIB

Hutan mangrove tumbuh menjulang dengan akar-akar yang menjalar ruwet. Di antara vegetasi yang tumbuh di batas perairan ini, jalan kayu mengantarkan saya menjelajahi hutan mangrove. Saat air laut surut, monyet ekor panjang menggerayangi perairan dangkal. Mereka memulung kepiting ataupun kerang.

Dasar perairan Bama dangkal dan landai hingga 300 meter ke arah laut. Perairannya cocok untuk menyapa ikan-ikan yang hidup dalam naungan mangrove dan padang lamun. Selepas dangkalan, dasar laut anjlok membentuk dinding yang miring 70 derajat. Kehidupan terumbu karangnya semarak.

Bama punya kemewahan: kafetaria yang menyajikan aneka menu, dengan satu kegelisahan: monyet ekor panjang yang licik. Primata ini rupanya beranak-pinak tanpa kendali. Akalnya juga cerdik. Kawanan monyet kerap mencuri makanan dan minuman pengunjung yang lengah.

Entah berapa kali saya mengingatkan Yunaidi untuk menjaga baik-baik minumannya. Kewaspadaan kami bobol. Seekor monyet muda menggondol sebotol minuman dingin. Mata monyet-monyet seperti tak lepas mengincar barang bawaan siapa pun, tanpa pandang bulu.

Jerit ketakutan seorang remaja putri malah membuat penasaran para monyet. Tidak menyingkir, si monyet justru menyeringai mendekat. Jeritan makin melengking! Perilaku primata yang satu ini menjadi terlalu manusiawi.

Gelombang Padang

Duri-duri menggores lengan, kaki dan wajah. Luka tipis makin perih saat terkena tetesan keringat. Dari pantai Bama, kami menjelajahi pesisir di timur - utara Baluran.

Pemandangan alam pesisir Baluran bisa juga dipandang dari atas perahu yang berangkat dari pantai Bama. Panorama dari perairan Selat Bali membentangkan hijau mangrove, tebing kapur menjulang, yang berlatar belakang pegunungan Baluran. Bukit-bukit berselimut padang rumput, dengan pepohonan yang tersebar acak.

Kami merancang penjelajahan melalui pinggiran pesisir, mengikuti garis pantai. Burung merak berlarian menyingkir saat kami lewat; kawanan rusa mengawasi kami sembari bersembunyi di hutan akasia duri yang muram.

Vegetasi invasif itu membuka wajah asli daratan Baluran yang gersang dengan bebatuan sehitam arang. Sebelum direnggut akasia duri, rumput lamuran tumbuh rapat menutupi tanah yang berbatu-batu. Puluhan polong biji akasia duri bertebaran di sekitar pohon. Pantas saja tumbuhan asing ini mudah beranak pinak. Sulit diberantas. Warga sekitar biasanya memunguti biji akasia untuk dijadikan kecambah dan campuran kopi. “Harganya sedang murah. Hasilnya tidak sesuai dengan tenaga untuk mencari arabika—sebutan biji akasia,” tutur Siswanto, staf taman nasional.!break!

Dari punggung Kakapa yang setinggi 114 meter (lihat peta), kami menatap perairan Selat Bali yang teduh. Hamparan rumput lamuran tumbuh membercak rapat. Berbeda dengan padang Bekol, padang rumput di sekitar Kakapa menyelimuti punggung-punggung bukit. Sekujur bukit Masigit, yang menjulang di seberang Kakapa, nyaris tertutup rumput lamuran yang bisa tumbuh setinggi setengah meter.

Sejak bukit Kakapa, permukiman kecil bertebaran di tepi pantai: Masigit, Lempuyang, Air Karang, Widuri dan Merak. Padang rumput yang bergelombang merajai alam di latar belakang permukiman. Rumput yang berlimpah di sisi utara taman nasional ini membentuk peternakan kambing dan sapi.