Bersimpuh Di Tanah Leluhur Para Raja Jawa

By , Sabtu, 26 Desember 2015 | 10:30 WIB

"Sumpah yang diikrarkan Gajah Mada itu tidak terbukti,” Hasan Djafar berkata. Pernyataannya telah menghentak pemahaman kami malam itu. “Itu baru keinginan Gajah Mada, bukan bukti penaklukan,” ujarnya.Dentangan gong pembuka telah menyirnakan kegaduhan rasa. Gemintang jatuh bertaburan di langit Candi Brahu. Sekelompok lelaki bertelanjang dada, berkain sarung dan berikat kepala serba hitam berbaris rampak. Setiap lelaki itu membawa semacam sesajen. Mereka menapaki satu per satu anak tangga, kemudian berjajar menghadap pintu di tubuh candi.

Setelah menjalani ritual keselamatan, sebagian lelaki itu berpencar dan duduk bersila di sudut-sudut teras candi. Sementara beberapa orang dengan busana senada, mengelilingi candi secara pradaksina. Mangkuk Buddha berdengung, sejenak suasana malam menjadi mistis dan tenang.

Mang Hasan, demikian sapaan akrabnya, merupakan salah satu begawan arkeologi, epigrafi, dan sekaligus sejarah kuno Indonesia. Meskipun usianya kini mendekati 75 tahun, tak tampak keletihannya untuk berbagi. Kami tengah melancongi tapak jejak Ibu Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan dalam sebuah program dari Gelar Nusantara.  

Kami lesehan beralas rerumputan sembari menantikan pementasan Kidung Tari Rajapatni di pelataran Candi Brahu. Kawasan ini diyakini, berdasar temuan arkeologi, menjadi tempat suci pada zaman Mataram Kuno, sejak seribu tahun silam, dan berlanjut hingga akhir zaman Majapahit.

Pentas ini merupakan puncak dari Festival Trowulan Majapahit yang digelar selama November silam. Festival ini ditujukan untuk memperingati berdirinya Kerajaan Majapahit ke-721. Peristiwa bersejarah itu ditandai bertakhtanya Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit pada 10 November 1293.

Saya dan sebagian kawan seperjalanan bertanya-tanya, mengapa perayaan ini bisa bertepatan dengan Hari Pahlawan?

“Sumbernya dari Kidung Harsawijaya, gubahan anonim, pada zaman akhir Majapahit,” ujar Mang Hasan sambil duduk bersila. “Menyebutkan penobatan raja pertama Majapahit pada hari ke-15,  bulan Kartika, tahun 1216. Itu puncak purnama!” Setelah penghitungan dengan metode kalender Masehi, terungkaplah tanggal yang kebetulan bertepatan dengan Hari Pahlawan.

Sembari menanti dimulainya pentas Kidung Tari Rajapatni, saya bertanya tentang siapa sejatinya Gayatri Rajapatni. Mang Hasan menuturkan kepada saya bahwa kejayaan Majapahit tidak bisa dipisahkan dari kehadiran sosok perempuan tersebut. “Gayatri merupakan satu di antara empat istri Raden Wijaya—Raja Majapahit pertama,” ujarnya. “Dia adalah putri Kertanegara asal Singhasari. Dari Gayatri itulah lahir penerus takhta Majapahit yang bernama Tribhuanna Wijayatungga Dewi.”Kelak raja-raja di Majapahit berikutnya menurunkan titisan mereka yang bertakhta di Jawa hingga kini. Mereka adalah untaian raja-raja Kasultanan Mataram dan Kasunanan Surakarta, juga dua kerajaan kecil yang menyertai keduanya.

PENDARAN SULUH TERPANCANG di pelataran Candi Brahu. Sinaran lampu jingga yang temaram telah menampakkan romansa lekuk guratan wajah candi batu bata merah yang cendayam, namun rapuh. Sementara umbra di sisi lainnya seolah sengaja menyembunyikan teka-teki repihan keagungan peradaban masa klasik negeri ini.

Teka-teki repihan Majapahit di Trowulan—tampaknya nama baru dari Trang Wulan—pertama kali diendus oleh insinyur militer Hindia Belanda, Kapten Johannes W.B. Wardenaar pada 1815.

Dia berekspedisi ke desa itu atas perintah Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Misi utamanya, pengamatan reruntuhan kuno dan tinggalan arkeologi di sekitar Mojokerto. Tahun ini tepat kiranya kita memperingati 200 tahun penelitian tentang Majapahit oleh Wardenaar.

Namun, Raffles pun keliru soal Candi Brahu dalam bukunya yang sohor, History of Java yang terbit pertama kali pada 1817. Lelaki Inggris itu jelas-jelas menyebutkan keterangan sebuah sketsa yang mengacu pada bangunan tersebut sebagai “salah satu pintu gerbang Majapahit.”

Wardenaar menyaksikan reruntuhan bangunan di Dusun Kedaton, kemudian membuat petanya yang kini tersimpan di British Museum. Kami meniti jejak Wardenaar di suatu sore, menyaksikan situs yang sama: Sehamparan struktur batu bata yang tumpang tindih dan ruwet. Sulit sekali menerka fungsi bangunan ini pada masanya.