Di seberangnya, kami menyaksikan hasil kerja keras para ahli arkeologi Indonesia yang berhasil menampakkan struktur rumah bangsawan dengan lantai terakota bersegi enam. Mungkin inilah bagian keraton Majapahit, entahlah, kami hanya bisa membayangkannya.
BAYANG-BAYANG KAMI nyaris hilang karena teriknya mentari di tepian jalan raya Mojokerto-Jombang. Berjalan menuju ke gapura tinggalan Majapahit, membuat keringat kami bercucuran bagai sekerat sirloin yang terpanggang. Padahal, ketika Kapten Wardenaar mengunjungi tempat ini dua abad silam, gapura itu berdiri di hamparan rerumputan dan alang-alang yang dikepung pepohonan rapat dan rindang.“Sisa-sisa gapura Majapahit yang dijuluki sebagai Gapura Jatipaser,” demikian laporannya kepada Raffles yang menampilkan sketsa gapura yang salah satu sisinya roboh separuh. Lewat namanya, konon, memang pernah ada pasar di sekitar sini.
Boleh jadi, lantaran laporan itulah sampai sekarang orang masih menghubungkan gapura ini sebagai pintu masuk ke Kerajaan Majapahit. Saya juga pernah mendengar dari cerita lisan dari warga setempat bahwa gerbang ini menuju ke kediaman Gajah Mada, Patih Majapahit yang sohor. Namun, sampai sekarang tak satu pun orang yang bisa menjelaskan secara pasti kompleks bangunan yang berada di balik gapura itu.
!break!
“Nah, ini dari petanya NatGeo,” ujar Mang Hasan seraya membuka lipatan poster dua sisi “Kota Agung yang Sirna”—sisipan National Geographic Indonesia edisi September 2012.
Setelah dibentangkan, Mang Hasan menunjuk sebuah kawasan yang dikelilingi oleh jaringan kanal kuno, “Paling tidak pusat kotanya di sini.” Kemudian alat penunjuknya bergeser ke pinggiran, “Dan di sinilah Gapura Wringin Lawang.”
Di dalam lembaran poster, gapura itu terletak agak jauh di pinggiran utara sebuah permukiman padat sekitar abad ke-14 yang luasnya kira-kira 20 kilometer persegi, lengkap dengan sistem jaringan kanal dan waduknya. Inilah keruangan Metropolitan Majapahit di Trowulan. Sisi lainnya menampilkan kluster permukiman, rupa hunian warganya hingga suasana hiruk-pikuk kehidupan di tepian kanal kotanya.
HIRUK PIKUK ITU BERASAL dari anak-anak Pramuka yang berkerumun di tepian kolam kuno, Dusun Dinuk. Mereka menyanyikan “Tepuk Pramuka” yang telah diadaptasi dengan jenaka dan sedikit ngeres sehingga membuat siapa saja yang mengerti bahasa Jawa akan tertawa. Termasuk saya.
Kapten Wardenaar tentu tidak pernah menjumpai kolam kuno ini. Bangunan ini baru ditemukan pada 1914, sekitar seabad setelah Wardenaar berjejak di Trowulan. Awalnya, warga melaporkan kepada Bupati atas temuan miniatur candi di permakaman. Ketika mereka berupaya menggalinya, mereka menjumpai tikus-tikus sawah lari kocar-kacir. Lalu, orang dengan mudahnya menjuluki sebagai “Candi Tikus”.
Sejatinya ini bukan candi, melainkan petirtaan. Kami berdiri di tepian, sembari memandangi sebuah bangunan kolam dari batu bata. Di tengah kolam terdapat pancuran berbentuk kepala makara, satwa air berbelalai mirip gajah dalam mitologi kuno.
“Nah, ruangan itu pemandiannya,” ujar Mang Hasan sembari menunjuk sebuah bilik yang berdinding rendah. “Kalau ada yang mandi di situ bisa kelihatan dong, Pak?” tanya seorang kawan seperjalanan. Mang Hasan menjawab sembari berkelakar jenaka, “Itu seni!”