Bromo, Sejarah Matahari Merah Darah

By , Rabu, 20 Januari 2016 | 15:00 WIB

Kawah Bromo mengepulkan asap putih, berdampingan dengan Gunung Batok, berlatar Gunung Semeru merupakan pemandangan umum yang diambil dari Gunung Pananjakan. Dari trek ini pula, Martolo (62th), warga Dusun Wonosari, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mencari rumput siang itu. Dari jauhan, tampak kawah Bromo, puncak Gunung Bromo, mengeluarkan asap tebal, berwarna kelabu.

“Bromo “belum sehat”, wisata dialihkan. Tapi kami aman,” kata Martolo. Ia dan masyarakat  yang bermukim di sekitar Bromo sudah terbiasa dengan aktivitas Bromo. Menurut kepercayaan Suku Tengger, ketika Bromo sedang erupsi takkan melukai. Bromo sedang “bekerja”, melakukan sesuatu di bawah sana, sehingga wajar bila mengeluarkan material berupa abu vulkanik yang akan dibagi rata ke segala penjuru mata angin. Siang itu, 11 Januari 2015, ke arah barat. Lain hari akan ke barat daya dan arah lain sebagaimana Bromo yang berbagi “berkat” dengan merata. Abu vulkanik bagi Suku Tengger merupakan berkat (bingkisan) dari Bromo untuk menyuburkan tanah di sekitarnya.

“Saya menanam kentang, ya semuanya rusak. Tapi masih ada bawang daun yang ditanam di sela-sela kentang, masih bisa dipanen,” tambah Martolo. Ada 3 jenis sayuran yang ditanam di masyarakat sekitar Bromo yaitu kentang, kubis, dan bawang daun. Saat abu vulkanik mengguyur tanah pertanian, hanya bawang daun yang masih bisa dipanen, lainnya tertimbun abu dan mati. Bawang daun tidak menampung abu karena bentuk daunnya yang runcing dan licin, sehingga abu turun ke bawah. Begitulah, ada kepercayaan bila Bromo “sedang bekerja”, tidak boleh diganggu. Menurut Martolo, tak perlu mengeluh. Masih ada yang tetap bisa dilakukan seperti biasa.

“Biasanya juga melakukan sesaji, untuk mengirim doa keselamatan pada leluhur,” kata Martolo. Sesaji ini dilakukan bila Bromo erupsi, bertujuan untuk mendoakan para leluhur dan memohon keselamatan bagi penduduk. Sesaji ini dikirim untuk persembahan kepada Bromo agar lebih tenang. Kepercayaan masyarakat Bromo terhadapap  gunungapi sama halnya dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada masa lampau, bahwa gunungapi merupakan kekuatan.

Hubungan religius antara masyarakat, kkhusunya suku Tengger dengan gunung api sudah terjalin sejak zaman kuno. Bahkan menurut Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), pemujaan terhadap gunung api ini jauh sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk ke Jawa. Hubungan itu terus terjalin, hingga kejayaan Kerajaan Majapahit. Legenda masyarakat Tengger yang percaya sebagai leluhur mereka dari Rara Anteng dan Jaka Seger dari Majapahit masih melestarikan ritual tersebut yakni dengan upacara Kasada. Upacara ini menjadi daya tarik para wisatawan untuk datang pada tanggal 14 bulan ke-10 kalender Jawa. Merupakan ritual Hindu Tengger yang berpusat di sekeliling Gunungapi Bromo. Puncak dari acara dengan melempatkan hasil bumi sebagai persembahan ke kawah Gunung Bromo.

Bila terjadi erupsi seperti sekarang, wisatawan pun masih bisa datang untuk menyaksikan erupsi Bromo. Memang tidak boleh mendekati ke lautan pasir, apalagi ke kawah. Jarak aman radius 2,5km dari kawah. Gunung Penanjakan merupakan salah satu alternatif untuk menikmati Bromo, menikmati matahari terbit, dan juga melihat view Bromo. View matahari terbit merupakan daya tarik Bromo sejak masa silam. Sebagaimana dicatat oleh James R. Rush dalam buku Jawa Tempoe Doelo, 650 Tahun Bertemu Dunia Barat (Komunitas Bambu, 2013), John Whitehead, ornitholog yang melakukan pendakian ke Bromo pada tahun 1880-an demi memburu pemandangan matahari terbit “merah darah”.

“Saya tadi pagi ke sana. Sebelum matahari terbit. Menakjubkan,” kata Silvi, salah satu wisawatan dari Italia yang datang ke Bromo akhir Desember 2015. Ia bersama kawannya, Martha datang untuk mengunjungi Bromo, Ijen, dan kemudian ke Pulau Bali. Erupsi tidak terdaftar dalam perjalananan. Tetapi itu menjadi kejutan yang menyenangkan. Dengan mata berbinar penuh ketakjuban ia mengagumi erupsi Bromo, sebuah aktivitas berbahaya yang bisa disaksikan di depan mata. Berlama-lama ia menyaksikan erupsi ini dari depan hotel yang menghadap view Bromo.

!break!

Panorama desa yang tak jauh dari Kaldera Bromo. Tanah-tanah pertanian yang awalnya hijau dengan aneka sayuran sekarang berubah menjadi kelabu karena tertutup abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo. (Titik Kartitiani)

Daya tarik Bromo yang tak ada di tempat lain adalah adanya kawah di tengah kawah. Ketika naik ke puncak dengan ketinggian 2.392 mdpl, maka akan terlihat kawah selebar 100km dengan bagian tengah masih mengepulkan asap sebagai kawah yang aktif. Puncak Bromo ini terdapat di kawasan Kaldera Tengger yang memuat 5 gunung, yaitu Gunung Mungal (2.480mdpl), Gunung Batok (2.440mdpl), Gunung Widodaren (2.614mdpl), Gunung Iderider (2.527 mdpl), dan Gunung Bromo itu sendiri. Masing-masing kisah pembentukannya merupakan kisah geologi yang menarik untuk dicermati. Komplek Kaldera Tengger selebar 16km ini diperkirakan dibentuk secara bertahap, sekitar 2 juta tahun silam, erah zaman Pleistosen akhir dan Holosen awal.

Rekam Jejak Aktivitas Bromo

Menurut pantauan Pos Pengamatan Gunungapi Bromo di Dukuh Cermoro Lawang, Desa Ngadisari, aktvitas Bromo terekam mulai meningkat pada Bulan Oktober 2015. Kemudian ditetapkan Siaga pada tanggal 4 Desember 2015 hingga kini. Menurut M.  Syafei, pengamat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bromo, tidak bisa dipastikan sampai berapa lama aktivitas Bromo berlangsung. Terakhir terpantau erupsi Bromo pada tahun 2010. Erupsi berlangsung selama 7 bulan.

Dalam ingatan Martolo, letusan besar sampai ia mengungsi, terjadi pada tahun 1980-1982, karena terjadi lemparan batu.  Badan Geologi mencatat bahwa letusan-letusan kecil yang menjadi puncak aktivitas Bromo pada 21 Juni  1980 sebanyak 2-3 kali letusan per menit. Letusan besar terjadi 2-3 menit menyemburkan abu, pasir, dan bongkahan lava dengan garis tengah sampai 1-1,7m. Bongkahan ini menyebar di sekitar bibir kawah bagian luar, sedangkan penyebaran abu ke arah barat laut sejauh lebih kurang 5km di daerah Tosari. Lemparan material berdiameter 10-25cm mencapai jarak 1.700m di kaki Gunung Batok. Tercatata juga, pada tanggal 11-14 Juli, terjadi peningkatan lagi berupa semburan asap berwarna hitam dengan ketinggian mencapai 1.500m di atas kawah, menyebabkan hujan abu di Ngadisari yang jaraknya 5km. Peristiwa inilah yang menyebabkan Martolo dan warga desa sempat mengungsi.

Sedangkan erupsi terakhir pada tahun 2010-2011 tidak sampai mengungsi, walau gemuruh terdengar lebih keras dari sekarang. Juga hujan abu vulkanik lebih tebal. Tanggal 23 November 2010 ditetapkan di level III (Siaga). Pada sore harinya, pukul 15.30 WIB dinaikkan menjadi level IV (awas) ketika terjadi letusan lebih besar dengan ketinggan asap 400-800m. Erupsi pada periode ini mencapai 7 bulan, sampai aktvitas Bromo normal kembali. Bila kondisi normal, tinggi asap antara 50-100m dari kawah dan berwarna putih.