Bromo, Sejarah Matahari Merah Darah

By , Rabu, 20 Januari 2016 | 15:00 WIB

Menurut Badan Geologi, sejarah letusan Bromo mulai tercatat pada tahun 1804. Selama kurun waktu 200 tahun, daur erupsi tidak menentu. Ada yang istirahat hanya setahun, ada pula yang sampai 16 tahun. Lamanya erupsi pun tak bisa dipastikan, peningkatan aktvitas vulkanik ada yang berlangsung beberapa hari, tapi ada pula yang sampai berbulan-bulan.

“Kita hanya memantaunya, tidak bisa meramalkan,” tambah Syafei. Dari hasil pemantauan itulah yang akan digunakan untuk memutuskan status gunung dan tindakan untuk masyarakat. Sejauh ini, untuk erupsi yang berlangsung dari bulan Oktober 2011 hingga kini masih di level Siaga. Pada tanggal 11 Januari 2016, amplitudo 3-20mm dengan rata-rata 4mm dan ketinggian asap 800m dari puncak. Arah debu vulkanik ke barat, mengarah ke Malang. Kondisi arah angin macam ini menyebabkan perhatian ekstra dari pihak Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, terhadap keberadaan abu vulkanik walau tetap buka. Setiap pukul 18.00 WIB setiap harinya, bandara akan memberikan kesimpulan tentang kondisi Bromo.

Syafei menambahkan, sejauh ini dampak dari erupsi masih di sekitar Bromo seperti yang sudah-sudah. Abu vulkanik yang menyebabkan lahan sayur rusak dan juga dampak terhadap wisatawan yang hanya boleh mendekati Bromo dalam radius 2,5km. Penutupan bandara sempat dilakukan pada tanggal 11 Desember 2015, lalu dibuka kembali pada tanggal 12 Desember 2015.

!break!

Meskipun abu vulkanik menutupi sebagian besar wilayah yang berada di sekitar Gunung Bromo, aktivitas warga tetap berjalan seperti biasanya, termasuk kunjungan para wisatawan. (Titik Kartitiani)

Khusus untuk erupsi kali ini, ProFauna (Protection of Forest and Fauna) juga melakukan pengamatan tentang aktivitas satwa yang ada di sekitar Bromo sejak Oktober 2015. “Kondisinya masih baik-baik, belum ada masalah maupun pergerakan satwa,” kata Rosek Nursahid, Ketua ProFauna. Pengamatan masih terus dilakukan hingga kini. Pengamatan ProFauna dilakukan bertujuan untuk mengamati perilaku satwa dan juga melakukan evakuasi jika diperlukan. Bila aktivitas gunungapi meningkat, biasanya terjadi pergerakan satwa, eksodus untuk menjauhi puncak gunung. Satwa mempunyai sensor yang sensitif terhadap getaran dalam hal ini gempa tektonik.

Perilaku ini kerap menjadi tanda-tanda alam bagi masyarakat tentang aktivitas gunung. Mereka akan turun gunung, menjauhi sumber gempa. Di kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) terdapat beragam satwa liar seperti lutung jawa, monyet ekor panjang, macan tutul, macan kumbang, rusa, merak, rangkong, dan satwa lain yang memungkin terlihat ke perkampungan penduduk jika aktivitas gunung meningkat. Satwa seperti macan tutul dan macan kumbang berpotensi terjadi konflik dengan masyarakat bila masuk ke perkampungan. Oleh karena itu, ProFauna mengadakan pengamatan sekaligus pencegahan konflik tersebut.

Sejarah Pembentukan Kaldera Tengger

Gunung Bromo merupakan gunungapi dengan tipe cinder cone, gunungapi yang dibentuk oleh litifikasi (proses membatu) abu gunungapi yang ada di sekitar Kaldera Tengger.  Kerucut gunung dibentuk dari timbunan abu yang keluar dari kawah. “Karakteristik letusan Bromo strombolian, juga freatik, ada letusan dan abu halus,” kata Syafei.  Erupsi strombolian bersifat ledakan dengan melontarkan bom gunungapi, lapili, pasir, dan abu yang berdampaik di sekitar puncak saja. Dalam catatan sejarah, Bromo belum pernah mengalirkan lava walau bila malam terpantau ada percikan bunga api di sekitar kawah saat erupsi. Sedangan erupsi tipe freatik ditandai dengan pengeluaran fragmen batuan, tanpa disertai dengan magma. Uap dari dalam bumi maupun magma bersinggungan dengan permukaan air atau permukaan yang dingin sehingga aktvitas erupsi biasanya lemah, sehingga Bromo masih bisa dinikmati dan masyarakat masih bisa beraktivitas ketika terjadi erupsi.

Tetapi bukan berarti Bromo tidak pernah meletus dahsyat. Pada proses pembentukan Komplek Bromo-Tengger, demikian Gunung Bromo dinamai, yang dimulai sejak 1,4 juta tahun silam. Terjadi beberapa kali letusan dahsyar dari pusat erupsi utamanya yang berbentuk busur. Pada masa pertumbuhan kegiatan eksplosif dan efusif membentuk kerucut Nongkojajar (1,4-0,2 juta tahun lalu), kerucut Ngadisari (822-90 ribu tahun yang lalu), kerucut Tengger Tua (265-40 ribu tahun yang lalu), kerucut Keciri (tidak diketahui umurnya), dan Kerucut Cemoro Lawang (144-135 ribu tahun yang lalu).  Ketika terjadi letusan yang sangat besar, maka kerucut tersebut hancur dan berubah menjadi kaldera.

Menurut urutan umurnya, kaldera pertama terbentuk kaldera Nongkojajar, kaldera Ngadisari, kaldera Keciri, dan terakhir kaldera Lautan Pasir. Kini, kerucut gunungapi Bromo merupakan satu-satunya pusat kegiatan post-kaldera dari pemberntukan kerucut yang ada di komplek pegunungan tersebut. Sedangkan di Lautan Pasir, hingga kini masih menunjukkan aktivitas vulkanik. Lautan Pasir atau Segara Wedhi merupakan hamparan pasir seluas 9x10km yang terletak di ujung barat daya kompleks Kaldera Tengger.