Dua Kota Bertaut Rel Kereta

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 12:00 WIB

Melancongi Jepang  dengan berkereta, kami sangat menikmatinya. Selama mencumbu dua kota di negeri ini, kereta menjadi transportasi andalan. Jenis kereta yang kami gunakan selama di Jepang sejatinya tidak terlalu beda dengan kereta Commuterline di Jabodetabek. Mungkin bedanya, kereta api mereka selalu lebih bersih. Perbedaan yang mencolok, menurut hemat saya, soal kepatuhan. Orang Jepang tidak akan duduk di kursi prioritas untuk orang tua, ibu hamil, dan ibu yang membawa balita. Salut!

Beruntung, saya belum belanja terlalu banyak di Kyoto. Jadi, saya masih membawa satu koper ringan selama perjalanan. Sementara, seorang teman yang telanjur khilaf berbelanja banyak di Kyoto, mulai tampak kerepotan. Di dalam kereta, dia harus menenteng satu buah koper besar, satu tas jinjing, dan sebuah ransel!

Sesampai di Osaka, kami menyaksikan sebuah kota yang lebih besar dan modern dibanding Kyoto. Kendati demikian, Stasiun Osaka ternyata tampak biasa dibandingkan Kyoto. Namun, stasiun ini cukup besar karena merupakan stasiun utama di kota tersebut.

Banyak gedung-gedung tinggi, persis seperti pada film Ultraman. Sebuah hotel modern di sudut Osaka menjadi tempat kami menginap. Nuansanya sungguh berbeda ketimbang penginapan kami sebelumnya yang penuh keramahan nan hangat.  Namun demikian, nuansa tradisi Jepang tidak pernah hilang dari setiap sudutnya.

Den Den Town, sebuah kawasan pusat perbelanjaan telah menjadi surga bagi para kolektor mainan dan video games. Dari sekian banyak toko yang terdapat di kawasan ini, Den Den Land merupakan tempat yang paling menarik perhatian. Pasalnya, di sini berdiri sebuah gedung pertokoan besar dengan lima lantai. Setiap lantainya berisi beraneka ragam mainan.

Kawasan Namba, yang kami kunjungi pada malamnya, sohor dengan papan reklame raksasa dari sebuah produsen kudapan ringan, Glico. Daerah ini merupakan pusat perbelanjaan, terdapat banyak sekali toko-toko dari berbagai merek pakaian terkemuka di sepanjang jalan di sana. Surga dunia bagi penggila belanja.

Ketika perjalanan pulang menuju hotel, saya melihat seorang ibu yang kesulitan mengangkat sepedanya yang terjepit sepeda lain. Kendati di sekitar ibu tadi banyak orang berlalu-lalang, tak seorang pun turun memerhatikan. Kemudian saya mendekatinya dan membantunya mengangkat sepeda tersebut. Saya sedikit sungkan, lantaran si ibu mengucapkan terima kasih berkali-kali—tidak henti-hentinya. Berbeda dengan budaya kita di Indonesia, yang konon orang lebih cepat tanggap membantu ketika ada orang lain yang kesulitan. Sebaliknya, orang-orang di Jepang seolah tampak acuh dan tak peduli.

Akhirnya sampai juga di Kastel Osaka. Kami telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki untuk mencapainya. Lelah, namun setibanya kami puas dengan apa yang kami lihat: Sebuah kastel tua yang begitu terawat.

Dalam area kastel terdapat lapangan yang dihinggapi burung-burung yang ingin mencari makan. Bahkan, para pengunjung bisa memberi makan dan berfoto bersama burung-burung. Sayangnya, saya tidak begitu lama menyambanginya. Selesai dari katel tua ini, kami berpisah menjadi beberapa kelompok. Saya dan beberapa teman memutuskan kembali ke Namba. Alasannya, melanjutkan belanja oleh-oleh di sana.

Saya sibuk mencari ATM di Namba. Saya bertanya kepada petugas keamanan, lagi lagi dengan bahasa yang terbatas. Petugas itu sebenarnya menyuruh saya untuk ke sebuah gedung yang telah dia tunjukkan di dalam peta, namun pada akhirnya dia menemani saya hingga tiba di ATM. Mungkin saya tampak memelas, namun saya merasakan bahwa layanan publik di Jepang begitu baik.

Hari ini kami harus kembali ke Jakarta. Kami menuju Stasiun Osaka untuk berkereta. Kemudian berlanjut dengan limo bus menuju bandara Kansai.

Saya masih mencari tambahan oleh-oleh di bandara. Sebuah toko menjual berbagai macam kudapan menggoda, tokyo banana. Kudapan ini melejit beberapa tahun belakangan. Bagi saya, sejatinya tidak ada yang spesial dari rasanya. Namun, kemasan dan bentuknya memang benar-benar unik dan menggoda!

Jelang keberangkatan, seorang teman lagi-lagi kehilangan tas belanjanya. Sebenarnya saya cukup pesimis bisa ditemukan karena berupa tas belanja. Tas semacam itu bisa saja dimiliki semua orang.

Jepang adalah keajaiban. Layanan bandara telah mengamankannya. Tas kembali aman dalam jinjingan, teman pun kembali riang. Negeri ini menorehkan kesan mendalam. Baru kali ini saya merasakan pergi ke suatu tempat, namun ketika pulang ke rumah, esok paginya saya ingin segera kembali lagi ke sana.