Kami berada tepat di depan sebuah gerbang besar berwarna merah yang menjulang tinggi. Gerbang itu menjadi tengara Kuil Inari, sekaligus penanda jati diri Kyoto. Sebuah lorong panjang yang berbingkai gapura-gapura merah nan mengular, akan mengantar kami hingga ke kuil yang berada di puncak bukit. Kami menaiki ratusan anak tangga yang berkelok-kelok. Namun, pada akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di tengah perjalanan. Kami menyerah, dan lebih memilih untuk mencicipi kudapan yang dijual di tepian jalan sekitar kuil.
Jujur saja, perjalanan ini merupakan kali pertama saya ke Jepang.
Matahari terbit di Teluk Osaka! Kami tiba di sebuah pulau buatan yang menjadi sarang bandara Kansai. Awal perjalanan yang tidak nyaman karena beberapa teman saya harus diperiksa lebih lanjut di imigrasi bandara. Entah karena tampak mencurigakan atau ada alasan lain. Namun, kejadian tadi menjadi salah satu cerita tak berkesudahan selama di Jepang.
Selama perjalanan dengan bis, saya baru merasakan nuansa Jepang yang sebenarnya. Jalanan asri dan bersih, mobil-mobil unik, dan bangunan modern khas Jepang.
Pemandangan tersebut berganti ketika melewati daerah yang bernama Nara. Di sana kami menyaksikan rusa-rusa bermain bebas di sebuah taman. Sesampai di halte pemberhentian, kami turun dan masuk ke dalam stasiun yang berasitektur klasik.
Ada pengalaman menarik ketika saya hendak membeli makanan. Warga setempat kesulitan memahami bahasa Inggris sehingga saya harus menjelaskan pesanan saya dengan bahasa isyarat dan kata-kata yang terpotong-potong. Mujur, pesanan datang sesuai keinginan.
Kami berangkat menggunakan kereta ke sebuah daerah kecil di Kyoto untuk bermalam. Kami menemukan sebuah guest house di daerah itu melalui website pencarian tempat menginap. Cukup sulit mendapatkan tempat tinggal selama lima hari beruntun.
Rumah berpintu kertas itu menjadi tempat bermalam. Pemandangan alam yang luar biasa indahnya dan sebuah rumah tradisi Jepang menjadi tempat bermalam kami. Suasananya mengingatkan saya kepada film kartun yang kerap saya tonton, Samurai X. Kami tidur di atas kasur-kasur di lantai, atau disebut tatami. Beristirahat selama beberapa jam karena lelah dan belum mandi sejak kemarin.
Stasiun Kyoto, sebuah stasiun kereta di pusat kota Kyoto yang menjulang setinggi sebelas lantai. Berdiri sangat megah, tepat di depan sebuah landmark kota, Kyoto Tower. Di dalamnya terdapat pusat perbelanjaan. Saya melihat kesibukan aktivitas orang-orang Kyoto yang berjalan begitu cepat dan sangat rapi.
Di pusat perbelanjaan Yodoyabashi, saya mulai melihat dan membandingkan harga-harga barang elektronik. Ternyata untuk beberapa barang, Jepang jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Saya kaget lantaran awalnya saya menyangka bahwa semua barang di Jepang jauh lebih mahal. Barang elektornik, pakaian, dan mainan hampir semua lebih murah. Namun soal makanan dan transportasi Jepang sungguh mahal.
Suatu sore, kami menuju ke hutan bambu. Lagi-lagi kami harus berpindah lokasi dengan menggunakan kereta. Ketika kami berada dalam gerbong kereta, seorang teman tersadar telah meninggalkan tasnya di kursi stasiun kereta. Ketika kami melapor ke stasiun tujuan, mereka dengan cekatan menelpon stasiun keberangkatan. Sungguh beruntung, tas tersebut telah aman disimpan oleh pihak stasiun. Kejadian itu menunjukkan betapa rapinya pihak keamanan yang begitu sigap terhadap barang yang hilang.
Saya mencoba berbincang dengan seorang penumpang kereta. Bagi saya, sebuah perjalanan ke luar negeri harus dihiasi dengan pengalaman bersama warga setempat. Dengan segala kesulitan kendala bahasa, akhirnya saya mampu bertahan mengobrol kendati dengan bantuan alat penerjemah dari telepon cerdas.
Osaka menjadi tujuan kami berikutnya. Kami berpamitan dengan tuan rumah yang menjamu kami dengan sangat baik. Saya merasakan keramahan mereka telah membuat suasana hati seolah bermalam di rumah kerabat sendiri.
Melancongi Jepang dengan berkereta, kami sangat menikmatinya. Selama mencumbu dua kota di negeri ini, kereta menjadi transportasi andalan. Jenis kereta yang kami gunakan selama di Jepang sejatinya tidak terlalu beda dengan kereta Commuterline di Jabodetabek. Mungkin bedanya, kereta api mereka selalu lebih bersih. Perbedaan yang mencolok, menurut hemat saya, soal kepatuhan. Orang Jepang tidak akan duduk di kursi prioritas untuk orang tua, ibu hamil, dan ibu yang membawa balita. Salut!
Beruntung, saya belum belanja terlalu banyak di Kyoto. Jadi, saya masih membawa satu koper ringan selama perjalanan. Sementara, seorang teman yang telanjur khilaf berbelanja banyak di Kyoto, mulai tampak kerepotan. Di dalam kereta, dia harus menenteng satu buah koper besar, satu tas jinjing, dan sebuah ransel!
Sesampai di Osaka, kami menyaksikan sebuah kota yang lebih besar dan modern dibanding Kyoto. Kendati demikian, Stasiun Osaka ternyata tampak biasa dibandingkan Kyoto. Namun, stasiun ini cukup besar karena merupakan stasiun utama di kota tersebut.
Banyak gedung-gedung tinggi, persis seperti pada film Ultraman. Sebuah hotel modern di sudut Osaka menjadi tempat kami menginap. Nuansanya sungguh berbeda ketimbang penginapan kami sebelumnya yang penuh keramahan nan hangat. Namun demikian, nuansa tradisi Jepang tidak pernah hilang dari setiap sudutnya.
Den Den Town, sebuah kawasan pusat perbelanjaan telah menjadi surga bagi para kolektor mainan dan video games. Dari sekian banyak toko yang terdapat di kawasan ini, Den Den Land merupakan tempat yang paling menarik perhatian. Pasalnya, di sini berdiri sebuah gedung pertokoan besar dengan lima lantai. Setiap lantainya berisi beraneka ragam mainan.
Kawasan Namba, yang kami kunjungi pada malamnya, sohor dengan papan reklame raksasa dari sebuah produsen kudapan ringan, Glico. Daerah ini merupakan pusat perbelanjaan, terdapat banyak sekali toko-toko dari berbagai merek pakaian terkemuka di sepanjang jalan di sana. Surga dunia bagi penggila belanja.
Ketika perjalanan pulang menuju hotel, saya melihat seorang ibu yang kesulitan mengangkat sepedanya yang terjepit sepeda lain. Kendati di sekitar ibu tadi banyak orang berlalu-lalang, tak seorang pun turun memerhatikan. Kemudian saya mendekatinya dan membantunya mengangkat sepeda tersebut. Saya sedikit sungkan, lantaran si ibu mengucapkan terima kasih berkali-kali—tidak henti-hentinya. Berbeda dengan budaya kita di Indonesia, yang konon orang lebih cepat tanggap membantu ketika ada orang lain yang kesulitan. Sebaliknya, orang-orang di Jepang seolah tampak acuh dan tak peduli.
Akhirnya sampai juga di Kastel Osaka. Kami telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki untuk mencapainya. Lelah, namun setibanya kami puas dengan apa yang kami lihat: Sebuah kastel tua yang begitu terawat.
Dalam area kastel terdapat lapangan yang dihinggapi burung-burung yang ingin mencari makan. Bahkan, para pengunjung bisa memberi makan dan berfoto bersama burung-burung. Sayangnya, saya tidak begitu lama menyambanginya. Selesai dari katel tua ini, kami berpisah menjadi beberapa kelompok. Saya dan beberapa teman memutuskan kembali ke Namba. Alasannya, melanjutkan belanja oleh-oleh di sana.
Saya sibuk mencari ATM di Namba. Saya bertanya kepada petugas keamanan, lagi lagi dengan bahasa yang terbatas. Petugas itu sebenarnya menyuruh saya untuk ke sebuah gedung yang telah dia tunjukkan di dalam peta, namun pada akhirnya dia menemani saya hingga tiba di ATM. Mungkin saya tampak memelas, namun saya merasakan bahwa layanan publik di Jepang begitu baik.
Hari ini kami harus kembali ke Jakarta. Kami menuju Stasiun Osaka untuk berkereta. Kemudian berlanjut dengan limo bus menuju bandara Kansai.
Saya masih mencari tambahan oleh-oleh di bandara. Sebuah toko menjual berbagai macam kudapan menggoda, tokyo banana. Kudapan ini melejit beberapa tahun belakangan. Bagi saya, sejatinya tidak ada yang spesial dari rasanya. Namun, kemasan dan bentuknya memang benar-benar unik dan menggoda!
Jelang keberangkatan, seorang teman lagi-lagi kehilangan tas belanjanya. Sebenarnya saya cukup pesimis bisa ditemukan karena berupa tas belanja. Tas semacam itu bisa saja dimiliki semua orang.
Jepang adalah keajaiban. Layanan bandara telah mengamankannya. Tas kembali aman dalam jinjingan, teman pun kembali riang. Negeri ini menorehkan kesan mendalam. Baru kali ini saya merasakan pergi ke suatu tempat, namun ketika pulang ke rumah, esok paginya saya ingin segera kembali lagi ke sana.