Petunjuk suhu di gawai menunjukkan minus 2°C ketika saya menjejakkan kaki di pelataran pemberhentian bis Shirakawa. Terminal ini merupaan terminal luar kota baik bis dari Takayama maupun Kanazawa. Keinginan terbesar saya adalah ingin tubuh ini segera mendapat kehangatan ketika berada di dalam rumah gassho.
Setidaknya ada sekitar 114 rumah gassho di desa ini. Dari Sebagian ada yang masih dihuni oleh penduduk asli, ada yang difungsikan sebagai museum, ada yang difungsikan sebagai penginapan, dan ada pula yang difungsikan sebagai tempat makan atau kafe.
Setelah kaki melangkah dari jembatan di atas sungai Shokawa, saya memutuskan untuk menuju Ogimachi Jyoshi atau tempat untuk melihat keseluruhan desa Shirakawa. Tempat ini berada di bukit di atas desa yang bisa ditempuh beberapa menit dengan bis. Jika memiliki waktu lebih, rasanya berjalan kaki, pasti lebih menyenangkan.
Meski dingin, tidak berarti sirna dahaga. Kaki melangkah ke salah satu rumah gassho yang digunakan sebagai museum. Di sana saya ingin merasakan teh khas jepang yang disediakan pengelola. Rumah yang kami tuju bernama rumah Kanda—nama pemilik rumah yang membangunnya. Dahulu, rumah ini digunakan sebagai pembuatan sake.
Setelah membayar 300 yen, saya memasuki rumah dengan melepas alas kaki terlebih dahulu. Bau menyengat dari asap pembakaran kayu tercium ketika pintu geser dibuka. Kayu kering dibakar di tengah ruangan untuk memasak air yang akan digunakan untuk minum, sekaligus sebagai api unggun yang meredam dingin.
Tak sabar rasanya saya untuk segera duduk di atas tatami di ruang depan. Saya menyeruput semangkuk kecil teh panas.
Rasa dingin berubah menjadi hangat begitu satu tegukan air teh masuk ke dalam kerongkongan. Sambil menghabiskan sisa teh di mangkuk, saya duduk berselonjor di atas tatami dan memandangi ke arah luar jendela. Di luar sana, gerimis hujan turun dari langit.
Setelah tubuh menghangat, saya terdorong untuk menggerakkan kaki untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di lantai atas rumah gassho. Saya penasaran dengan arsitektur rumah ini, sehingga saya memberanikan diri menaiki tangga sampai lantai keempat.
Dalam literatur, karakteristik rumah gassho menyebutkan kegunaan setiap lantai. Lantai bawah loteng disebut “ama” dan lantai atas loteng disebut “sora-ama”. Disebut loteng karena ruang loteng ini memiliki plafon miring. Ruang loteng ini persis di bawah kemiringan atap.
Ketika sampai di puncak loteng atau berada di lantai empat, terdapat lorong panjang yang di masing-masing ujung lorong terdapat jendela kecil yang bisa dibuka ke arah luar. Dari jendela itu bisa melihat sebagian Desa Shirakawa. Dari lantai empat ini, saya bisa melihat struktur utama, khususnya struktur atapnya. Simpul ikatan jerami yang menguatkan antara sambungan kayu memperlihatkan bahwa atap ini dirancang kuat menahan beban gempa maupun angin kencang.
Menarik. Cerita bagaimana rumah-rumah gassho seperti rumah Kanda ini dibuat, termasuk cerita bagaimana membuat penutup atap. Jerami, bahan penutup atap, diambil dari tanaman yang diperoleh ketika musim gugur. Atap-atap jerami ini suatu saat bisa diganti dengan yang baru. Pesannya, rumah ini mudah terbakar. Jangan sekali-kali merokok di sekitar rumah gassho!
Gerimis air hujan sudah reda. Saya pun kemudian turun lalu melanjutkan perjalanan mengelilingi desa ini. Sebuah kedai kecil yang menjual makanan khas Jepang menjadi tempat singgah saya untuk mengisi perut yang sedang kosong. Mengejar waktu keberangkatan bis terkahir menuju Takayama, saya bergegas menuntaskan sepiring mi.
Salju memberikan nuansa alam nan memikat. Perjalanan musim dingin ini mengingatkan saya tentang kutipan dari Okakura Kakuzo (1863-1913), seorang yang berkontribusi pada perkembangan seni di Jepang.
“Teh ...,” demikian ungkap Okakura, “merupakan agama dari seni kehidupan.”