Salju dan musim dingin, hal mustahil yang saya rasakan di untaian kepulauan negeri khatulistiwa. Itulah yang ingin saya rasakan setiap kali berkelana menghabiskan sisa liburan.
Bukan rasa dingin yang ingin dicari. Tujuan utamanya adalah ingin merasakan berada di rumah tradisional yang diselimuti salju putih sambil menikmati secangkir teh hangat. Suasana dan rasalah yang menjadi dorongan utama saya untuk mencicipi semua pengalaman ini. Bagi sebagian orang, mungkin hal biasa. Namun, bagi saya itu adalah pengalaman dengan sejuta sensasi.
Shirakawa adalah sebuah desa pegunungan yang terletak di puncak tertinggi Gunung Haku yang merupakan bagian dari gugusan pegunungan Ryohaku. Desa ini berbatasan dengan prefektur Ishikawa dan Gokayama yang berada di prefektur Toyama.
Kedua desa ini menarik untuk dikunjungi di segala musim. Setiap musim memiliki keeksotisan sendiri-sendiri. Menurut Yukata, salah satu warga Shirakawa, saat musim panas, hamparan padi yang berwarna hijau akan mendominasi pemandangan di desa ini. Namun, saat musim dingin, hijaunya ladang pun berganti putih.
Di saat musin semi maupun gugur, warna-warni bunga dan daun mendominasi panorama desa yang lokasinya diapit oleh beberapa gunung seperti Gunung Gozen, gunung Sanpou-Kuzure, gunung Mitsugatsuji, dan gunung Ningyo.
Pun keeksotisan desa ini di musim dingin. Dengan suhu 0 sampai 4° Celcius, salju akan turun dan menimbuni atap di setiap rumah. Pemandangannya yang eksotis tidak ada yang menandinginya. Inilah suasana yang sejatinya ingin saya rasakan.
Shirakawa dan Gokayama bukanlah sebuah desa yang umum terdapat di Jepang. Di sana terdapat rumah tradisional khas Jepang yang dibangun kira-kira pada 1875-an. Rumah tradisional itu hingga kini masih berdiri dan selalu dirawat sehingga membuat kedua desa ini dinobatkan sebagai situs warisan dunia.
Rumah tradisional yang berada di Shirakawa maupun Gokayama dinamai dengan nama rumah gassho. Atapnya berbentuk segitiga, mirip dengan tangan dilipat dalam doa. Satu bangunan rumah gassho terdiri dari empat lantai. Di musim panas, ungkapYukata, sebagian ruang dipakai untuk pengembangbiakkan ulat sutra. Sedangkan lantai di bawahnya dipakai untuk aktivitas pemilik rumah.
Hal yang menarik, atap rumah gassho di desa Shirakawa memiliki sudut kemiringan hingga 60° yang mampu menahan beban salju yang mengendap di atap. Kemiringan ini membuat salju meluncur turun lebih mudah.
Ketika musim dingin, Shirakawa terkenal dengan hujan saljunya yang lebat. Menurut data otorisasi iklim setempat, rata-rata intensitas jumlah hujan salju tahunan lebih dari 10 meter. Jika curah hujan salju yang tinggi telah meninggalkan endapan salju tebal di atap, penduduk biasanya membersihkan salju dengan sekop.
Arsitektur rumah gassho merupakan cerminan adapatasi masyarakatnya terhadap kondisi alam maupun kondisi ekonomi di desa ini. Dengan dasar inilah UNESCO memasukkan kawasan Shirakawa dalam daftar situs warisan budaya pada 1995.
Selepas sarapan setangkup roti panggang dan secangkir kopi, saya melangkahkan kakinya ke terminal bus kotaTakayama. Saya sengaja menginap di kota Takayama, kota terdekat dari desa Shirakawa.
Selain dekat dengan desa Shirakawa, Takayama dipilih karena di sana banyak tempat yang menarik untuk dinikmati. Selain Takayama, desa Shirakawa bisa dicapai dari kota Kanazawa maupun Takaoka. Dari kota-kota besar seperti Tokyo dan Nagoya bisa dijangkau dengan bis. Tak ada jalur kereta menuju desa ini.
Petunjuk suhu di gawai menunjukkan minus 2°C ketika saya menjejakkan kaki di pelataran pemberhentian bis Shirakawa. Terminal ini merupaan terminal luar kota baik bis dari Takayama maupun Kanazawa. Keinginan terbesar saya adalah ingin tubuh ini segera mendapat kehangatan ketika berada di dalam rumah gassho.
Setidaknya ada sekitar 114 rumah gassho di desa ini. Dari Sebagian ada yang masih dihuni oleh penduduk asli, ada yang difungsikan sebagai museum, ada yang difungsikan sebagai penginapan, dan ada pula yang difungsikan sebagai tempat makan atau kafe.
Setelah kaki melangkah dari jembatan di atas sungai Shokawa, saya memutuskan untuk menuju Ogimachi Jyoshi atau tempat untuk melihat keseluruhan desa Shirakawa. Tempat ini berada di bukit di atas desa yang bisa ditempuh beberapa menit dengan bis. Jika memiliki waktu lebih, rasanya berjalan kaki, pasti lebih menyenangkan.
Meski dingin, tidak berarti sirna dahaga. Kaki melangkah ke salah satu rumah gassho yang digunakan sebagai museum. Di sana saya ingin merasakan teh khas jepang yang disediakan pengelola. Rumah yang kami tuju bernama rumah Kanda—nama pemilik rumah yang membangunnya. Dahulu, rumah ini digunakan sebagai pembuatan sake.
Setelah membayar 300 yen, saya memasuki rumah dengan melepas alas kaki terlebih dahulu. Bau menyengat dari asap pembakaran kayu tercium ketika pintu geser dibuka. Kayu kering dibakar di tengah ruangan untuk memasak air yang akan digunakan untuk minum, sekaligus sebagai api unggun yang meredam dingin.
Tak sabar rasanya saya untuk segera duduk di atas tatami di ruang depan. Saya menyeruput semangkuk kecil teh panas.
Rasa dingin berubah menjadi hangat begitu satu tegukan air teh masuk ke dalam kerongkongan. Sambil menghabiskan sisa teh di mangkuk, saya duduk berselonjor di atas tatami dan memandangi ke arah luar jendela. Di luar sana, gerimis hujan turun dari langit.
Setelah tubuh menghangat, saya terdorong untuk menggerakkan kaki untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di lantai atas rumah gassho. Saya penasaran dengan arsitektur rumah ini, sehingga saya memberanikan diri menaiki tangga sampai lantai keempat.
Dalam literatur, karakteristik rumah gassho menyebutkan kegunaan setiap lantai. Lantai bawah loteng disebut “ama” dan lantai atas loteng disebut “sora-ama”. Disebut loteng karena ruang loteng ini memiliki plafon miring. Ruang loteng ini persis di bawah kemiringan atap.
Ketika sampai di puncak loteng atau berada di lantai empat, terdapat lorong panjang yang di masing-masing ujung lorong terdapat jendela kecil yang bisa dibuka ke arah luar. Dari jendela itu bisa melihat sebagian Desa Shirakawa. Dari lantai empat ini, saya bisa melihat struktur utama, khususnya struktur atapnya. Simpul ikatan jerami yang menguatkan antara sambungan kayu memperlihatkan bahwa atap ini dirancang kuat menahan beban gempa maupun angin kencang.
Menarik. Cerita bagaimana rumah-rumah gassho seperti rumah Kanda ini dibuat, termasuk cerita bagaimana membuat penutup atap. Jerami, bahan penutup atap, diambil dari tanaman yang diperoleh ketika musim gugur. Atap-atap jerami ini suatu saat bisa diganti dengan yang baru. Pesannya, rumah ini mudah terbakar. Jangan sekali-kali merokok di sekitar rumah gassho!
Gerimis air hujan sudah reda. Saya pun kemudian turun lalu melanjutkan perjalanan mengelilingi desa ini. Sebuah kedai kecil yang menjual makanan khas Jepang menjadi tempat singgah saya untuk mengisi perut yang sedang kosong. Mengejar waktu keberangkatan bis terkahir menuju Takayama, saya bergegas menuntaskan sepiring mi.
Salju memberikan nuansa alam nan memikat. Perjalanan musim dingin ini mengingatkan saya tentang kutipan dari Okakura Kakuzo (1863-1913), seorang yang berkontribusi pada perkembangan seni di Jepang.
“Teh ...,” demikian ungkap Okakura, “merupakan agama dari seni kehidupan.”