Lekat dengan Era Prasejarah di Bumi Sangiran

By , Senin, 1 Februari 2016 | 17:00 WIB

"Liburan dua minggu kemana ya?" ujar Linkya datar, namun bernada merajuk. Saya yang duduk disampingnya sedikit termangu, mencoba mencari ide. Terlambat merencanakan liburan akhir tahun, karena saya baru menyadari kalau masih ada sisa cuti di akhir tahun 2015. Pertanyaan Linkya baru saya jawab setelah pengajuan cuti saya mendapat persetujuan dari atasan. "Okey, Link..kita liburan ke museum yah,".

Jadilah saya merancang liburan ke kota Solo, kota terdekat dengan museum yang ingin saya kunjungi. Museum Manusia Purba yang lebih dikenal dengan Museum Sangiran. Mengingat akhir tahun dan libur panjang, saya segera memesan hotel untuk bermalam di Solo.

"Link..ke Solo mau naik mobil sendiri atau naik kereta?" tanya saya. "Naik kereta aja Ma, kalau naik mobil sendiri kan biasa," sahutnya. "Yes!" seru saya dalam hati, karena jawaban Linkya sesuai harapan saya. Hotel telah dipesan via online, tiket kereta sudah saya dapat, sewa mobil selama di Solo juga sudah saya kontak.

Beberapa kawan sempat geli juga mendengar rencana liburan akhir tahun saya kali ini. Namun seorang teman kantor ternyata tertarik untuk bergabung berlibur ke museum. Liburan dengan berkelompok berarti bisa lebih murah karena biaya sewa mobil bisa ditanggung bersama.

Naik kereta api dari Semarang ke Solo merupakan pengalaman pertama buat kami bertiga. Kenzee yang masih berumur tiga tahun nampak bersemangat. Tak hentinya bertanya tentang kereta api. Perjalanan kereta api melalui Semarang - Solo melewati stasiun Tawang, Kedung Jati, Gundhi, Balapan Solo dan berakhir di Stasiun Purwosari Solo. "Ma, kayak di teletubies!" seru Kenzee saat kami melintas di area pedesaan sekitar Gundhi.!break!

Harga tiket kereta api semarang - solo Rp 10.000,00, kelas ekonomi ber AC. Naik kereta api sudah direkomendasikan teman kantor yang sering bolak-balik naik kereta. "Naik kereta api aja, nyaman kok ber AC, tempat duduknya sudah gak berebut kayak dulu," ujarnya meyakinkan saya. Bepergian dengan fasilitas umum, apalagi membawa anak balita membuat saya harus benar-benar memperhitungkan kenyamanan dan tentu saja keamanan.

Mengunjungi museum merupakan misi pribadi saya untuk menjawab rasa penasaran. Ketika SD sering muncul nama Sangiran di pelajaran IPS dan sejarah, namun sampai saya bekerja, belum juga sempat mengunjungi Museum yang diklaim sebagai museum antropologi terlengkap se-Asia Tenggara.

Memasuki pelataran parkir museum yang luas, kami sudah disambut dengan replika patung manusia purba. Saya antusias mendekati patung itu untuk mengabadikan. Bangunan utama museum mengikuti kontur tanah yang berbukit. Kami harus menaiki tangga landai yang memutar.

Seorang penjaga menyapa kami ramah sambil mempersilahkan kami mengisi buku tamu. Kami melalui selasar panjang berliku, memasuki ruang pamer pertama dengan tema kekayaan sangiran.

Saya tertarik pada sudut sebelah kiri pintu masuk yang memajang temuan- temuan terbaru sepanjang tahun 2015 yang terdiri dari gading gajah, tulang belakang gajah dan rahang bawah buaya. Sesuai dengan temanya, ruangan ini memanjakan pengunjung dengan temuan spektakuler ahli arkeolog G. H. Ralph von Koenigswald, Eugene Dubois, Prof. Dr. R.P. Sujono, Prof.Dr.S.Sartono, Prof.D.R. Teuku Jacob.

 Hal menarik dari Museum Sangiran adalah cara memamerkan benda-benda koleksinya. Pengelola museum sangat cermat mempertimbangkan benda koleksi yang harus disimpan dengan kaca pembatas atau tidak. Hal ini membuat pengunjung merasa lekat dengan menjadi bagian jaman prasejarah.!break!

Ruang pamer memungkinkan anak saya yang masih balita untuk bergerak bebas namun aman. Sebuah alat peraga terbuat dari 4 lapis kaca yang bisa digeser. Tiap lapis kaca merupakan gambaran bumi pada usia yang berbeda. Peraga ini membantu pengunjung memahami perubahan yang terjadi pada lapisan bumi selama jutaan tahun hingga kondisi saat ini.

Tak jauh dari situ terdapat kotak besar berpasir berisi sepasang gading gajah purba berukuran sekitar 2 meter, tulang paha dan bagian rahang belakang gajah purba. Pengunjung diijinkan untuk menyentuh fosil gajah yang berumur jutaan tahun itu, rasanya kami sedang berada di jaman purba.

Ruang pamer berikutnya bertemakan rekam jejak silsilah umat manusia. Pada satu sudut  disediakan tayangan audio visual proses terjadinya jagad raya dengan teori big bang. Tata suara dan pencahayaan membantu kami  meresapi suasana alam semesta. Rute para peneliti seperti Alfred R. Wallace dan  Charles R. Darwin untuk mengungkap asal mula kehidupan menjadi salah satu tema sentral. Proses penggalian ternyata membutuhkan kecermatan, hal ini bertujuan untuk menjaga fosil agar tidak rusak dan tetap pada posisi.

Tata ruang museum yang melingkar sangat mendukung dengan tema yang diusung di tiap ruang pamer. Kami selalu merasa mendapat kejutan baru ketika berpindah ruangan.

Sebuah panggung kecil setinggi 50 cm nampak rata, namun ketika didekati disitu merupakan tempat bersemayam manusia purba. Terbujur pada posisi yang berbeda empat fosil Manusia Song Keplek, Manusia Song Braholo, Manusia Gua Tengkorak dan Manusia Song Terus merupakan  fosil manusia yang ditemukan di Pacitan, Yogyakarta, dan Kalimantan Selatan.!break!

Tak jauh dari situ, sebuah diorama mempertunjukkan dua orang arkeolog sedang melakukan penggalian, lengkap dengan peralatan berupa kuas, buku catatan , lampu senter dan alat penggali.

Masa keemasan Homo Erectus pada 500.000 tahun yang lalu menjadi tema di ruang pamer ketiga. Ruangan ini menggambarkan replika kehidupan manusia purba yaitu cara berburu, membuat api, dan peralatan sederhana yang digunakan manusia purba.

Tak hanya itu saja, pengunjung juga diajak untuk merasakan suasana masa lalu dengan lingkungan sekitar. Interaksi manusia dengan makhluk hidup sekitar berupa fosil binatang seperti gajah purba, rusa purba, banteng purba, buaya purba, kepiting, hiu purba dan lain-lain.

Tak hanya melulu benda koleksi purbakala, di beberapa titik terdapat satwa seperti burung merak, monyet dan ayam bekisar. Hal ini menambah ketertarikan kami untuk dapat bereksplorasi dengan leluasa.

Museum Sangiran beroperasi untuk pengunjung pada hari minggu dan hari libur nasional. Hanya pada hari Senin saja museum ini tutup. Petugas yang kami temui mengatakan bahwa hari senin digunakan bagi pengelola untuk melakukan pemeliharaan terhadap benda-benda koleksi.

Mereka melakukan pembersihan, penataan koleksi, pengecekan terhadap fasilitas. Pembersihan dilakukan oleh petugas terhadap fosil, kaca, karpet, dan diorama manusia purba. Perawatan yang baik bagi museum yang menjadi  Situs Warisan Dunia, No. C 593 yang diakui oleh UNESCO pada tanggal 5 Desember 1996 ini menjadi kunci utama agar museum tetap dapat dinikmati pengunjung dalam jangka waktu yang panjang.

Kunjungan kami ke museum yang mengemban visi sebagai pusat kajian manusia purba yang terkemuka di dunia ini kami akhiri dengan melihat pemutaran film bertema kehidupan manusia prasejarah dan posisi Sangiran sebagai situs yang kaya akan fosil manusia purba.  

Keluar dari ruang pemutaran film, saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang teman yang berkata, "Jika ingin melihat kebesaran suatu negara kunjungilah museumnya". Jadi sekarang tak perlu ragu merencanakan liburan ke museum untuk membuktikan kebesaran Indonesia.