Keindahan suatu tempat terlihat dari kemuramannya, demikian tulis Orhan Pamuk ketika bercerita tentang Istanbul. Nusa kambangan barangkali lebih MURAM dibanding Istanbul. Namun sebuah kemuraman yang memikat.
Saya berdiri di Pelabuhan Wijapura, pesisir Cilacap. Dermaga ini hanya berani berbisik menyambut kapal pengangkut. Petugas bersiap siaga menyambut pengunjung dengan sangat hati-hati dan teliti. Suasananya sedikit tegang dan muram.
Pulau ini seperti sebuah kata dengan seribu makna. Ada yang menjulukinya Pulau Bui, atau Pulau yang memberi napas terakhir—bagi para terpidana mati yang dieksekusi di sini. Bahkan, ada yang menyebut “Alcatraz-nya Indonesia”. Meski sebutan terakhir itu mungkin terlalu berlebihan.
Setelah menyeberang sekitar seperempat jam dari Pelabuhan Wijapura, saya menapaki bibir Pelabuhan Sondong. Inilah pintu masuk Nusa Kambangan. Ketika awak kapal melempar tali ke daratan, terlihat tugu hijau bertulis nama pulau itu sebagai tengara. Penumpang berhamburan menjejaki bibir dermaga, termasuk kendaraan bermotor yang ikut naik ke kapal untuk menyeberang. Berbagai kendaraan itu digunakan sebagai kendaraan operasional di dalam pulau. Umumnya, para pemiliknya adalah pegawai atau keluarga pegawai lembaga pemasyarakatan (lapas) yang menghuni pulau ini. Sementara, pengunjung hanya diizinkan berkeliling menggunakan bus warna hijau milik lapas.
Ada yang menjulukinya Pulau Bui, atau Pulau yang memberi napas terakhir—bagi para terpidana mati yang dieksekusi di sini. Bahkan, ada yang menyebut “Alcatraz-nya Indonesia”. Meski sebutan terakhir itu mungkin terlalu berlebihan.
Bagi pelancong, Nusa Kambangan merupakan tempat tetirah dengan enam pantai pasir putih yang menawan yaitu Pantai Permisan, Muara Empat, Pasir Putih, Indraloka, Pantai Karangbandung, dan Pantai Cimiring. Bagi para penelusur gua, pulau ini mempunyai 25 gua alam yang menanti jejak para petualang alam. Celakanya, kekayaan karst ini telah mengundang pabrik semen untuk menambang di pulau ini.
Kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam. Rimbun hutan menjadi habitat satwa liar seperti macan kumbang, elang jawa, lutung, trenggiling, dan beberapa jenis burung yang tidak lagi dijumpai di daratan Kota Cilacap dan sekitarnya. Segelintir tanaman langka pun hanya tumbuh di pulau nan seram ini.
Siang itu, nusa kambangan sedang berbenah. Sejumlah pembangunan sedang dilakukan di pelabuhan. Seperti halnya berbagai pelabuhan di Cilacap lainnya, Pelabuhan Sondong terhitung sangat sepi. Padahal, pelabuhan di kota ini pernah berjaya pada masa pendudukan Belanda.
Selepas 1830, pesisir itu menghadiahkan keriuhan seperti sebuah pesta yang tak pernah berakhir. Ketika awal penjajahan memeras habis-habisan tanah ini, kapal-kapal kargo mengantre di Pelabuhan Cilacap untuk memuat kayu manis, kopi kualitas terbaik, indigo, dan ribuan ton gula. Hasil dari memeras keringat kuli-kuli perkebunan pemerintah.
Dagangan itulah yang menaikkan pamor Pelabuhan Cilacap—bukan sekadar tempat barter dagangan kelas bawah semacam ikan asin, garam, dan terasi. Komoditas perkebunan itu telah mengubah citra Cilacap, yang sebelumnya sebagai pulau buangan, menjadi pulau yang dikelilingi kesibukan pelabuhan.
Namun akhirnya, pada masa sekarang pelabuhan itu kembali bersetubuh dengan kemuramannya sebagai bagian dari pulau bui bagi para terpidana mati. Barangkali sebuah pulau tercipta memang akan berakhir seperti pada awal saat dia ditakdirkan.
Pada 1922, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan bahwa Nusa kambangan merupakan pulau penjara. Pulau kecil di selatan Jawa Tengah itu ditetapkan sebagai tempat untuk menghukum dan mengasingkan para pemberontak dan pembangkang politik. Setidaknya terdapat sembilan penjara yang dibangun di penjuru pulau ini.
Delapan dari sembilan penjara itu dibangun pada era kolonial, yakni Penjara Karang Tengah (1928), Penjara Gliger (1928), Penjara Limus Buntu (1935), Penjara Nirbaya (1912), Penjara Batu (1925), Penjara Besi (1929), Penjara Kembang Kuning (1950), Penjara Karanganyar (1912), dan Penjara Permisan (1908). Sejak 1985, lima di antaranya tidak difungsikan lagi dan sebagian besar sudah dibongkar.
Dari kaca jendela bus, kita bisa melihat bangunan penjara dan reruntuhannya. Bangunan tinggi yang dilingkupi dengan kawat berduri itu terletak berjauhan. Tak semua bangunan itu bisa kita lihat dari dekat. Beberapa hanya boleh dilewati saja, tidak boleh berhenti. Kini, Nusa Kambangan memiliki sembilan lapas yang masih berfungsi.