Keindahan Pulau yang Terbuang

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Lapas Permisan merupakan lapas tertua dan masih berfungsi hingga kini. Kami hanya boleh melewati lapas tersebut. Selanjutnya, kami bisa berhenti di Pantai Permisan, pantai pasir putih—sekitar 300 meter dari gerbang lapas. Pantai ini menawarkan keindahan yang senyap. Beberapa ratus meter dari pantai ini, puluhan narapidana pernah menanti eksekusi mati.

Pantai Permisan merupakan tempat yang cocok bagi pelancong yang menyukai kesenyapan. Nusa Kambangan terbuka untuk umum, sepanjang pelancong bersedia mengikuti prosedur perizinannya.

Di bagian timur pantai, tampak pohon beringin pipih yang terbuat dari semen di ujung batu karang yang merupakan lambang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Agak ke tengah laut, tampak karang dengan patung berbentuk pisau komando yang menancap setinggi pohon kelapa. Lantaran salah satu pulau terdepan, kawasan ini difungsikan sebagai pusat pelatihan Komando Pasukan Khusus (Koppasus) dan  pertahanan TNI untuk menangkal serangan dari luar.

Saya mengenang Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar Indonesia, yang pernah mendekam di sini sebagai tahanan politik Orde Baru pada 1969.  Awalnya, Pram ditahan di Salemba, kemudian di Tangerang, lalu dikembalikan ke Salemba lagi sebelum mendekam di penjara Karangtengah-Nusa Kambangan. Setelah dari Nusa Kambangan, barulah Pram dipindahkan ke Pulau Buru.

Pulau ini juga digunakan sebagai tempat mendekam para koruptor pascalengsernya Orde Baru. bandit kelas kakap, pengedar barang haram, hingga teroris pun mengakhiri kisahnya di pulau ini. 

Kisah Nusa Kambangan tak berhenti soal orang-orang buangan. Kawasan ini dimanfaatkan juga sebagai cagar alam yang menyimpan kisah puspa nan unik. Setiap musim kemarau, dari kejauhan tampak pepohonan rimbun dengan tajuk berwarna merah di antara tebing kapur. Ibarat musim semi di negeri empat musim.

Warna merah pulau itu disepuh oleh bunga plahlar. Kayu plahlar (Dipterocarpus litoralis) merupakan kayu keras yang kerap menjadi bahan kapal. Inilah kayu endemik yang hanya tumbuh di pulau ini. Kelangkaan kayu ini telah membuatnya masuk dalam senarai merah IUCN (International Union for Conservation of Nature). Pada musim kemarau, plahlar menggugurkan semua daunnya untuk menghemat air sehingga hanya menyisakan bunganya. Bentuknya unik, seperti bersayap. Apabila kering, bijinya mudah diterbangkan angin.

Pulau ini juga menjadi habitat Rafflesia padma, bunga parasit termasuk jajaran bunga raksasa yang dikagumi dunia. Hingga kini, masih kerap ditemukan mekar di beberapa titik.

Bunga lain yang menjadi bagian kisah mistis pulau ini adalah wijayakusuma. Ketika menyebut bunga ini, terbayang semacam tanaman kaktus yang berbunga pada tengah malam. Bunga wijayakusuma merujuk pada spesies Epiphyllum oxypetalum. Bunga ini pun dianggap sebagai bunga keramat.

Saya mengenang Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar Indonesia, yang pernah mendekam di sini sebagai tahanan politik Orde Baru pada 1969. Awalnya, Pram ditahan di Salemba, kemudian di Tangerang, lalu dikembalikan ke Salemba lagi sebelum mendekam di penjara Karangtengah-Nusa Kambangan.

Saat kita membicarakan bunga wijayakusuma di Nusa Kambangan, kita akan merunut kembali sejarah Mataram. Dalam Babad Tanah Jawa, dikisahkan ketika Amangkurat I berada di Tegal, Trunojoyo menduduki Mataram pada tahun 1676. Amangkurat I berkeyakinan, apabila dia berhasil memperoleh bunga wijayakusuma dari Nusa Kambangan, dia akan kembali menduduki Mataram. Kepercayaan itulah yang menjadikan wijayakusuma menjadi syarat untuk jumenengan atau pengangkatan raja di Mataram. Konon, hanya Kasunanan Surakarta yang masih melestarikan penggunaan wijayakusuma hingga kini. Setiap kali ada jumenengan, ada utusan yang akan datang ke pulau wingit itu untuk memetik wijayakusuma yang tumbuh di Karangbadung, bagian ujung timur pulau itu.

Wijayakusuma kerap dipercaya memberi keberuntungan. Bunga itu bersinergi dengan keberadaan gua-gua yang ada di Nusa Kambangan. Beberapa gua diyakini oleh tetua setempat merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan hidup. Salah satunya ketika saya diajak mengunjungi Gua Lawa. Aroma dupa memenuhi ruangan gua. Stalagtit dan stalagmit masih tumbuh dengan meneteskan air, menumbuhkan bunyi gema di setiap lorong gua.

Juru kunci meminta saya untuk memeluk pilar tadi. Konon, apabila pelukan kita sampai, apa yang kita cita-citakan dalam hidup bisa terpenuhi. Kita boleh percaya, tidak pun boleh. Namun, kepercayaan itu masih tumbuh mengakar di warga sekitar gua. Hal yang pasti, gua dan karst yang terdapat di Nusa Kambangan berperan besar dalam daur hidrologi. Ketika karst rusak, ketersediaan air akan terganggu. Gua-gua memiliki ekosistem yang spesifik, dengan cara apapun warga bertekad menjaganya—termasuk dengan mengeramatkan tempat itu.

 ------------------------------------------------------------------------------

TITIK KARTITIANI gemar melancong, memotret, dan menulis bertema lingkungan, budaya, hingga busana. Dia juga merupakan seorang pendiri www.theactualstyle.com dan www.foksijatim.com. Ini adalah karya feature pertamanya di majalah National Geographic Traveler.