“Mi, itu si ijo, si ijo Miii...” pekik Debby Loppies Pedersen. Ketika itu kami tengah berkendara dalam mobil yang melintasi kelamnya malam di Harstad, Norwegia bagian utara. Saya bingung, apanya yang hijau? Sekali lagi Debby berteriak, “Lihat ke langit, Mi... that’s her... sang diva!” Sekali lagi, saya kembali melihat ke angkasa. Namun, lagi-lagi saya tidak menjumpai apa pun.
Siapa dan di manakah dia gerangan?
Sudah begitu lama saya bermimpi untuk menyaksikan Aurora Borealis di bumi utara. Saya kerap membaca beritanya atau sekadar memirsa lewat foto-foto yang berseliweran di internet. Sampai pada akhirnya, beberapa teman yang tinggal di Harstad, merayu saya untuk menyaksikan tarian aurora di bumi utara. Saya pun tidak bisa menolak mereka.
Teman-teman saya yang menemani perburuan malam di Harstad: Debby Loppies Pedersen, Patty Thorbergsen, dan Winna Torvik. Kendati mereka adalah warga Harstad dan nama mereka beraksen Norwegia, sejatinya mereka adalah perempuan asal Indonesia yang menikahi pria Norwegia.
Selera melihat bumi utara Norwegia semakin menggelora setelah teman saya, Patty, yang juga fotografer, mengirimkan foto-foto tentang alam di sana. Bentangan geografi menampilkan untaian pulau, gunung yang tertutup salju, laut, serta danau yang membeku. Hampir semuanya terlihat putih. Foto itu juga menggambarkan desa nelayan dengan rumah-rumah kayu berwarna merah, serta kemunculan Aurora Borealis yang membuat setiap mata yang menyaksikannya akan jatuh cinta. Itulah yang saya rasakan ketika mengunjungi negeri seribu fyord ini pada akhir Januari.
Norwegia, negara termakmur keempat di dunia ini mempunyai kota-kota modern di utara yang asyik untuk di jelajahi. Salah satunya adalah Kota Harstad di kawasan Troms. Kota ini juga merupakan pusat administrasi kotamadya yang terletak di bagian timur laut pulau terbesar di Norwegia, yang bernama Hinnøya. Pulau tadi termasuk dalam lingkar Artika dan berada di tengah-tengah Northern Lights Zone. Selama dua bulan, 21 Mei hingga 21 Juli, matahari tidak pernah tenggelam di bawah cakrawala. Bahkan, kita dapat menyaksikan matahari hingga tengah malam, yang dikenal dengan nama Midnight Sun. Sebaliknya, ketika Polar Nights pada 21 November hingga 21 Januari, matahari tidak pernah muncul dari tepi cakrawala!
Saya menggunakan pesawat dari Gardermoen Airport di Oslo menuju ke Harstad/Narvik Airport dengan waktu tempuh 90 menit. Kemudian, berlanjut dengan bus sekitar 40 menit. Dalam perjalanan dari bandara ke Harstad, saya dimanja oleh pemandangan hutan pinus yang tertutup salju dan beberapa rumah mungil tradisional berwarna merah. Semuanya tersaji dengan indah. Ketika saya melewati jembatan penghubung antarpulau, pemandangan fyord berkelindan dengan putihnya salju. Itu bagaikan sebuah lukisan yang memikat hati. Pemandangan sepanjang jalan menuju ke Harstad pun menyuguhkan lanskap pegunungan dengan tebing-tebing curam yang bertabur salju, danau yang membeku. Bahkan, beberapa titik mata air yang membeku tampak bagaikan mutiara yang menempel di tebing batu yang kokoh.
Musim dingin di Kota Harstad sungguh menusuk tulang. Suhu pada siang hari mencapai minus tujuh derajat Celcius. Awan kelabu setia bergelayut dan hampir seluruh kota tertutup salju. Saat berjalan di Sentrum, pusat kota yang terletak di tepi laut Vågsfyorden, warna putih salju menutupi permukaan tanah. Kemudian menjumpai Trondenes Historical Center. Di sini saya menyaksikan bekas kamp tawanan Rusia yang didirikan oleh Nazi-Jerman, juga meriam Adolf Gun.
Di kawasan itu saya masih menjumpai sebuah gereja dari abad pertengahan, Gereja Trondenes. Inilah gereja batu tertua di bumi utara dan terletak dalam panorama nan memukau: pesisir dengan pemandangan berlatar Kota Harstad. Interior gereja menampilkan arsitektur yang unik. Bahkan, di beberapa bagian dinding gereja, saya masih menjumpai untaian aksara tinggalan kebudayan Viking!
Selama dua hari berturut-turut kami bernaung dalam awan kelabu dan salju nan hebat di Harstad. Namun, tiba-tiba langit kelabu yang bergelantung di langit terbelah oleh sinar matahari di cakrawala. Konon, bila langit cerah, si selendang hijau akan muncul pada malamnya. Kami memercayai petunjuk alam tadi. Saya dan teman-teman yang tinggal di Harstad mulai mempersiapkan peralatan fotografi, baju hangat, dan kudapan.
Celakanya, sore datang bersama awan gelap yang mulai menggelar tabir di langit. Ketika kami gelisah, rinai hujan pun jatuh dan meruntuhkan hati kami. Puing-puing harapan kami menjadi remah-remah ketika derai hujan berganti dengan butiran salju. Hilanglah sudah impian berdansa dengan aurora di bumi utara. Saya mulai menghibur diri, “Masih ada esok hari, siapa tahu sang penari hijau akan muncul.”
Namun, Patty mengatakan beberapa minggu lalu sebuah rombongan ‘Hunting Aurora’ yang diadakan paket tur fotografi setempat, harus rela menunggu selama seminggu untuk bisa mendapatkannya—dan kadang itu pun belum pasti. Ajib..! Dalam seminggu pun mereka belum tentu menjumpainya. Apalagi saya yang hanya berkunjung beberapa hari!
Sesak rasanya dada ini. Untuk menghibur hidup yang kurang beruntung, kami berkeliling ke danau beku di sebuah taman hutan yang cukup luas. Ketika hari mulai menjelang malam, langit tampaknya kembali ceria. Salju perlahan reda, dan kami kembali ke rumah untuk mempersiapkan peralatan fotografi, baju hangat, dan kudapan lagi.