Kelana Membelah Rimba Jawa

By , Rabu, 23 Maret 2016 | 06:00 WIB

Telur menjadi benda yang dilarang untuk dibawa saat ekspedisi IOX. Meskipun tak ada yang bisa menjelaskan alasan secara ilmiah, kejadian mistis yang menimpa beberapa peserta tahun lalu diyakini karena mereka membawa telur terkutuk.

“Tapi, ya sudah karena telanjur dibawa kita habiskan saja disini,” saran Harsoyo. Kami pun melahap habis telur dadar. Semoga tidak apes seperti tahun lalu.

Perjalanan berlanjut melewati padang rumput nan indah. Beberapa kali laju mobil yang saya tumpangi melambat untuk menghindari bongkahan batu besar dan pohon tumbang. Keindahan ini tersembunyi di balik pamor Gunung Merapi yang semakin terkenal dengan wisata jip di Kaliurang.

Kutukan itu mulai bekerja. Berkali-kali mobil yang saya tumpangi tak kuasa menerjang medan. Saya pun tertatih-tatih penuh dahaga tanpa air dalam perjalanan menembus Gunung Popok dengan berjalan kaki. Saya hanya ingin tiba dengan cepat di perkampungan terdekat untuk meminta segelas air putih. Harapan bersinar saat saya menjumpai pondok kayu milik petani yang terletak di ujung jalan setapak.

“Hanya ada kopi hitam, Mas,” ujarnya.

Lantaran saya sudah kepalang haus, dengan cepat saya menenggak kopi hitam. Airnya yang panas membuat lidah saya melepus.

Lagi-lagi Apes!

Saya sudah lelah berjalan kaki. Saya percaya bahwa dalam setiap perjalanan pasti selalu ada orang yang baik. Seorang petani yang mengendarai sepeda motor 1990-an menawarkan tumpangan kepada saya. Oh, Tuhan mendengar pinta saya.

Petani itu bersedia mengantarkan saya menuju Waduk Gajah Mungkur. Dia membelokkan arah, kemudian motor tuanya menderu saat melewati tanjakan. “Kita mampir dulu ke Bukit Gantole ya, Mas,” ujarnya. “Dari atas bukit ini, Mas bisa memandang waduk secara keseluruhan.”

Saya antusias untuk menaiki anak tangga ke atas bangunan yang biasa dijadikan tempat lepas landas paralayang dan gantole. Beberapa muda-mudi sibuk berswafoto. Selain sebagai irigasi, pembangkit tenaga listrik, dan sumber air minum, waduk ini juga menjadi salah satu destinasi primadona di Kabupaten Wonogiri. 

Pantai Karanggongso berombak tenang. Selain nelayan, penduduk di sini juga memiliki keramba lobster dan kerapu. Saya berjumpa dengan Isa Anshari yang memiliki warung di Pantai Karanggongso.

“Saya asli Banjarmasin,” ujar Isa. “Tapi tahun 1993 pindah ke sini setelah bertemu perempuan asal Surabaya yang sekarang menjadi istri saya.” Dia memiliki berapa tambak lobster dan kerapu di Teluk Prigi. Hasilnya, dia dijual ke Surabaya dan Malang. Harganya bervariasi, dari 150 ribu hingga 700 ribu rupiah per kilogram.