Kelana Membelah Rimba Jawa

By , Rabu, 23 Maret 2016 | 06:00 WIB

Mobil yang saya tumpangi kondisinya tak kunjung membaik, saya bersedih karena tidak bisa memasuki trek yang menantang. Namun disisi lain saya bersyukur, karena kerusakan ini membuat kami boleh untuk “melambung”, istilah yang digunakan para off-roader untuk memilih jalan mulus menuju titik perhentian berikutnya. Kami berencana untuk pergi ke Kedung Tumpang. 

Pantai Kedung Tumpang adalah kolam yang tercipta karena proses alami. Beberapa cerukan di batu karang terisi air saat laut pasang. Terdapat beberapa kolam alami yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.

Kedung Tumpang hanyalah satu dari sekian potensi wisata pantai yang ada di selatan Pulau Jawa. Tempat saya bermalam hari itu, Pantai Sine yang damai juga menjelma menjadi tempat terindah untuk menyaksikan matahari terbit dan tenggelam. Sayangnya, banyak pantai di Tulungagung ini jarang dijamah wisatawan. Saya bertanya-tanya, mengapa?

“Salah satu hal yang membuat kami kesulitan untuk mengembangkan pantai sebagai destinasi pariwisata adalah akses jalannya yang dimiliki oleh Perhutani. Perlu ada kerjasama antara pemerintah dengan pihak Perhutani,” ujar Syahri Mulyo, Bupati Tulungagung. Saya menghabiskan sore bersamanya sembari menikmati semilir angin di Pantai Sine.

Mencintai Indonesia pada dasarnya tidak sekedar hapal Pancasila dan Indonesia Raya. Banyak hal yang bisa saya dapat dari perjalanan ini, pun demikian dengan ratusan peserta lainnya. Setiap anggota tim tampak aktif mengabarkan kepada lingkungan terdekatnya tentang hal yang berkesan saat perjalanan. Setiap saat, ratusan foto di unggah dan disebarkan.

Kegiatan ini mendapat sambuatan positif dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Sejalan dengan misi IOX, Kementerian Pariwisata bergandengan tangan untuk mengenalkan lebih dekat keindahan alam, budaya, makanan, hingga hal menarik dari tempat yang dilalui. Bukan hanya Yogyakarta dan Bali yang akan diperkenalkan, tetapi juga kota-kota yang disinggahi pun mendapatkan kesempatan untuk diwartakan ke ranah internasional.

Bentuk dukungan itu semakin nyata ketika Noviendi Makalam menyambut rombongankami saat singgah di Banyuwangi, Jawa Timur. Noviendi merupakan Asisten Deputi Pengembangan Komunikasi Pemasaran Pariwisata Mancanegara, Kementerian Pariwisata.

“Selama ini off road mendapat cap sebagai kegiatan yang merusak alam,” ujar Dandosi. “Kami jauh dari cap tersebut. Jauh sebelum kegiatan ini dilaksanakan, kami sudah mewanti-wanti kepada seluruh peserta: Membuang sampah dan menebang pohon adalah haram hukumnya.”

Setiap mobil peserta wajib berkantong sampah, tidak boleh membakar api unggun saat malam, tidak boleh menginjak tanah di luar jalur yang ditentukan.

Hari ke tujuh, saya berpindah tumpangan. Frans berbaik hati mempersilakan saya untuk menumpang di mobilnya dari Pantai Sine menuju Malang. Perjalanan hari ini tak terlalu berat, hanya melewati jalan yang biasa digunakan oleh penduduk untuk membawa panen jagung mereka.

Saya melepas sepatu yang sudah penuh lumpur. Hari itu matahari bersemangat membakar kulit. Air sungai terasa hangat saat saya menyeberanginya. Pada hari ketujuh, kami seperti ikan asin, kelam dan lusuh.

Kabar dari sesama peserta, jalur Malang menuju Banyuwangi akan menguras banyak tenaga. Akan banyak jalur berlumpur sepanjang perjalanan. Akan banyak peluh dan keringat juga air mata yang menetes di jalur yang akan datang.

Sebuah pesan singkat masuk. “Mobil yang kami tumpangi terbakar di jalur menuju Bromo,” tulis Faisal Anwari Lubis, sahabat perjalanan. “Saya hampir terjebak di dalam mobil.”

Saya mengusap dada. Mobil yang saya tumpangi mengalami penderitaan yang tak berkesudahan. “Mungkin karena telur,” gurau kami. Perjalanan telah usai, namun kami seolah baru terlahir kembali menjadi saudara.

--------

YUNAIDI staf fotografer majalah ini. Menulis Embara di Tanah Tapal Kuda untuk edisi Januari 2016, dan mengabadikan Nusa Kambangan pada Maret 2016.