Mengurai Bahara Citarum

By , Rabu, 23 Maret 2016 | 17:36 WIB

Rumitnya masalah di Daerah Aliran Sungai Citarum menuntut penanganan yang terpadu. Artinya, tak ada institusi tunggal yang bisa menepuk dada mampu membenahi tantangan yang melingkupi aliran Citarum.

Karena itu, pengelolaan sumber daya air terpadu atau Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi tumpuan untuk mengurai benang kusut Citarum. Konsep pengelolaan terpadu itu adalah proses yang mengutamakan koordinasi dan pengelolaan air, tanah, dan sumber daya terkait. Konsep itu diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan menjadi panduan buat membenahi beragamtantangan di daerah aliran sungai Citarum.!break!

Sejak 2006 silam, pemerintah telah mengembangkan Citarum Roadmap:sebuah rancangan strategis berisi program–program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air dan memulihkan kondisidi Sungai Citarum.

Dalam Citarum Roadmap terdapat Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP). Ini sebuah program besar pengelolaan sumber daya air terpadu denganbantuan pinjaman, hibah, dan teknis dari Asian Development Bank.

Pelaksanaan program melalui koordinasi dan konsultasi para pemangku kepentingan, serta mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan, hingga pelaksanaan. Visinya:Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif, serta membawa manfaat berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di Citarum.

Ada enam lembaga yang terlibat dalam tahap pertama program ICWRMIP: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di dalam ICWRMIP tahap pertama terdapat program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation [CWMBC]) dengan dukungan dana hibah Global Environment Facility yang dikelola Asian Development Bank.

Yang mendapatkan mandat pelaksanaan program CWMBC adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. “Jadi program CWMBC merupakan bagian dari ICWRMIP yang lebih besar, yang merupakan lanjutan dari program Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum,” tutur Project Manager CWMBC Cherryta Yunia.

Cherryta memaparkan turut sertanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena kegiatan sebelumnya tidak memasukkan konservasi keanekaragaman hayati. “Untuk itulah, lalu dimasukkan penyelamatan biodiversitas di hulu, terutama kawasan yang dikelola KLHK.”

Program CWMBC punya tujuanuntuk mendukung manfaat lingkungan secara global bagi konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di DAS Citarum. Selain melindungi relik ekosistem hutan hujan pegunungan Pulau Jawa, kawasan konservasi di wilayah hulumenjadi bagian integral dari sistem pengelolaan terpadu DAS Citarum.

 “Kawasan konservasi yang terkoneksi dengan DAS Citarum memang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Taman Nasional Gede Pangrango. Menurut saya logis, karena Gede Pangrango dan kawasan konservasi BBKSDA merupakan daerah tangkapan air Citarum,” imbuh Cherryta.

Dan, semenjak 2013, empat komponen program CWMBC bergerak serentak di tujuh kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat.Komponen 1 menyisir setiap kawasan untuk mengkaji kekayaan hayati, memetakan habitat, dan mengembangkan sistem informasi geografis. Hasil akhirnya: untuk mendukung perencanaan pengelolaan kawasan konservasi.!break!

Kemudian Komponen 2 bergerak untuk mengembangkan pilot program restorasi hutan di kawasan konservasi. Dari program komponen 2 akan diketahui kebutuhan pemulihan ekosistem sesuai tingkat gangguan yang menimpa kawasan konservasi.

Sementara itu, Komponen 3 akan mengkaji berbagai jasa lingkungan yang terpendam di kawasan konservasi: air, udara, wisata, karbon hingga nilai penting dataran tinggi sebagai lokasi sarana komunikasi. Namun, dari seluruh potensi itu, Komponen 2 bakal fokus pada jasa lingkungan air. Komponen ini akan mengembangkan pendanaan berkelanjutan bagi konservasi keanekaragaman hayati melalui imbal jasa lingkungan.

Dan terakhir, Komponen 4 sebagai upaya mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi.Komponen ini mengajak masyarakat dan pemerintah daerah dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati. Di sekitar kawasan, Komponen 4 mengembangkan kelompok-kelompok Model Desa Konservasi sebagai ujung tombak gerakan pelestarian flora-fauna.

Cherryta menegaskan empat komponen itu terintegrasi, saling mendukung. Misalnya saja, Komponen 1 akan mendukung Komponen 2 dalam menentukan spesies tumbuhan asli untuk pemulihan ekosistem. Atau Komponen 4 yang akan menyokong Komponen 2 dalam menautkan kelompok Model Desa Konservasi sebagai penyedia jasa lingkungan dengan lembaga pemanfaatnya.

Kubah arus air bergolak lembut dari dasar mata air Pangsiraman. Air yang sebening kristal dan keteduhan menerbitkan suasana sakral. Sepokok pohon kihujan yang roboh sejak 1974 memisahkan sumber air bening ini menjadi dua bagian, kiri dan kanan. “Yang kanan untuk perempuan, yang kiri untuk laki-laki. Mata air ini juga disebut cikahuripan mastaka Citarum,” papar juru kunci Mang Atep.

Lelaki berpenampilan kalem ini menjelaskan, cikahuripan berarti air kehidupan, dan mastaka berarti hulu. Kurang lebih berarti: air kehidupan dari hulu Citarum.“Tapi kata ‘hulu’ dalam bahasa Sunda agak kasar, yang halus, ya, mastaka,” ungkapnya. Makna mastaka sejajar dengan kata mustaka dalam bahasa Jawa. Mustaka berarti kepala, yang dalam masyarakat Jawa, kata ini berada pada tataran tertinggi berbahasa.

Inilah mata air yang sakral dan menjadi saksi doa-doa pengharapan yang dipanjatkan para peziarahnya. Tak mengejutkan, suasana adikodrati melingkupi Pangsiraman. Sumber air ini hanya salah satu dari tujuh sumber air awal mula Sungai Citarum, yang ditampung di Situ Cisanti. Berada di kaki Gunung Wayang, danau buatan seluas 10 hektare itu menjadi simbol hulu Citarum. Dari sinilah, awal-mula Sungai Citarum mengalir sejauh 297 kilometer, merambati 13 kabupaten, lantas tumpah di Muara Gembong.

Sayangnya, kontras telah membayang di Cisanti: air Pangsiraman yang bening tak lagi berjejak setelah bercampur dengan air keruh Cisanti. Padahal, tutur Mang Atep, “Doa para leluhur saya, sepanjang alirannya, air Citarum bisa diminum langsung seperti di mata air ini.”

Doa leluhur itu bagaikan membaca tengara zaman: seiring waktu Sungai Citarum tak lagi membawa berkah, tak lagi semurni Pangsiraman. Perbawa Citarum runtuh.

Dan di tujuh kawasan konservasi di hulu DAS Citarum, doa itu seakan bersambut upaya. Ada doa, ada upaya:Pengelolaan DAS Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati atau Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC).