Ia yang Terlupakan

By , Kamis, 31 Maret 2016 | 12:00 WIB

Pada suatu hari, setelah memasang umpan pancing di sebuah pulau besar yang dikuasai oleh Ambu Nggo’be, ketiganya bersampan kembali dari Pulau Ende untuk melihat hasilnya. Mereka berhasil mendapatkan ikan cukup banyak, sehingga setengahnya disantap bersama Ambu Nggo’be, sang penguasa pulau. Perjumpaan dan acara santap bersama ini melahirkan sebuah persahabatan di antara mereka. 

Ambu Nggo’be membalas kebaikan keluarga Ambo Mo'do dan Ambu Roru ini dengan undangan untuk bermukim di pulau besar serta meninggalkan Pulau Ende. Sebagai penguasa lahan, ia memberikan sepetak tanah dengan mahar berupa seutas rantai emas serta satu gading—kini, tanda jadi ini menjadi harta warisan yang disimpan oleh Kai Kembe, salah satu keturunan langsung Ambu Nggo’be. Seluruh persyaratan itu diluluskan seluruhnya oleh keluarga Ambu Roru dan Ambu Mo'do. Di tempat  baru, keluarga ini membuka hutan dan membangun  perkampungan bernama Nua Roja, dan selanjutnya dikenal sebagai Nua Ende.

Selaras kehidupan bertetangga, warga pendatang dari Ende menikah dengan penduduk setempat. Begitu pula salah satu anak keluarga Ambu Roru kawin dengan buah hati Ambu Nggo’be. Kekerabatan antarkerajaan pun tercipta, saat seorang lelaki dari Majapahit datang menunggang paus (ngambu dalam bahasa setempat). Ia menikah dengan cucu perempuan Ambu Nggo'be dan Ambu Roru serta bermukim di Nua Ende. Kisah lain, seorang Cina bernama Maga Rinu menikahi seorang perempuan dari keturunan keluarga besar Ambu Nggo’be.

Kisah rakyat ini secara tidak langsung memberikan pandangan bahwa Nua Ende dibangun oleh Ambu Nggo’be sebagai seorang tuan tanah, yang tidak lepas dari bantuan Ambu Roru asal Pulau Ende, juga orang-orang dari luar nusa ini, seperti asal Majapahit dan Cina. Selain kisah rakyat ini, ada beberapa lagi cerita seperti Dori Woi, Kuraro sampai Jari Jawa yang mengisahkan Ambu Nggo’be selaku pendahulu atas berdirinya Tana Ende.

Ende menyimpan banyak hal menarik untuk diulik, salah satunya sebutan kota sejarah. Selain itu sebutan Kota Pancasila, Kota Pelajar dan Bumi Danau Tiga Warna sudah dikenal lama. Selain itu juga ada gedung Imakulata, Gereja Katedral, Masjid Arabita (masjid tertua di Ende), makam Ibu Amsi (Ibunda Inggit Ganarsih), pelabuhan, eks toko De Leew (sekarang toko Sekawan Baru), Percetakan Arnoldus, kali Wolowona dan Kali Nangaba. Di tempat-tempat tersebut, Bung Karno bertemu dan berinteraksi dengan warga Ende, para ulama, para pastor, maupun tokoh masyarakat.

Warga Kota Ende yang pluralis juga heterogen latar belakangnya, tetapi yang sebenarnya ada tiga suku yang dominan: Suku Ende, Suku Lio, dan Suku Nga’o. Ketiganya memiliki bahasa yang mirip, namun tidak sama. Warga Ende sangat ramah, apalagi dengan pendatang karena hal tersebut menjadi ciri khas orang timur yang terbuka, apa adanya.

Kota Ende yang berada di pesisir selatan Pulau Flores dan menghadap Teluk Sawu ini memiliki topografi khas daerah selatan, yaitu berbukit-bukit. Kontur tanah yang tidak rata tersebut justru menambah nilai keindahan karena ada bangunan yang dibuat diatas bukit atau tempat lebih tinggi hingga mempunyai panorama cantik ke arah pantai dan Laut Sawu. Beberapa tempat itu, seperti kantin Universitas Flores di kampus empat, tikungan Woloweku, Tikungan Salib ke arah Ndetundora, kuburan Potunggo, dan beberapa tempat lainnya.

Kota kecil ini juga masih menjaga dan merawat tradisi serta budaya yang dimilikinya. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan warganya yang masih memegang teguh tradisi, seperti menenun dan mengenakan sarung hasil tenun ikat sebagai busana sehari-hari maupun dalam acara hajatan atau kenduri. Biasanya juga dikenakan dengan baju yang dikenal sebagai baju ende. Semangat gotong royong antarsesama keluarga dan warga kampung juga masih sangat kental. Terlebih dalam proses mempersiapkan hajatan atau kenduri untuk pernikahan, kelahiran maupun syukuran. Begitupun saat ada kematian (penguburan) atau pembuatan rumah.

Tidak jauh dari Kota Ende ke arah timur ada desa yang masih menjaga simbol-simbol tradisinya, berupa rumah adat, kubur batu, maupun kebiasaan menenun di kolong rumah. Di desa bernama Wolotopo di tepi pantai tersebut berjarak kurang lebih 10 kilometer dan menjadi salah satu destinasi wisata kategori kampung adat yang juga sering dikunjungi oleh para wisatawan. Jika kita bertandang ke sana akan disambut ramah oleh warga setempat.

Dalam Sail Komodo yang digelar tahun ini, Ende menjadi salah satu destinasi yang disinggahi oleh peserta lomba layar. Jalan-jalan dalam kota mulai dikerjakan dan diperbaharui lagi. Begitu juga pantai-pantainya, karena Pantai Ria menyuguhkan sebuah pemandangan senja yang menakjubkan. Untuk menikmati sunset, selain di Pantai Ria, juga bisa dinikmati di Pantai Bita, Pantai Mbu, maupun Pantai Penggajawa. Di wilayah Pantai Penggajawa cukup menarik karena di sepanjang pesisir bertebaran batu-batu bulat berwarna hijau yang dikenal dengan nama batu penggajawa dan bernilai ekonomis. Batu-batu ini bahkan sudah ada yang sampai ke negeri Jepang.

Tentulah, tidak afdol kalau tidak menjelajahi sudut-sudut kota Ende. Karena selain kampung adat, pantai, situs sejarah, juga ada air terjun yang berjarak kurang lebih 12 kilometer dari kota, yaitu Air Terjun Ae Poru di Desa Kadebodu.

Kota Ende (mungkin) sempat terlupakan, namun ia menyimpan begitu banyak detinasi menarik. Kini, saatnya bagi Anda untuk mendatangi dan menyelami lebih jauh kehidupan, sejarah dan budayanya—tentu sembari menikmati keindahan alamnya.