Ia yang Terlupakan

By , Kamis, 31 Maret 2016 | 12:00 WIB

Seno Gumira Ajidarma pernah mengunjungi rumah itu. Penulis yang telah menghasilkan begitu banyak karya mengagumkan ini tiba pada suatu pagi dengan menaiki ojek. Ia tidak bisa langsung masuk ke dalam rumah. Sebab pintu masih tertutup. Bagi Seno, rumah yang belum bisa dimasuki tampaknya justru jadi berkah. Ia bisa membayangkan bagaimana Soekarno terus-menerus diikuti oleh orang, yang berupaya memata-matainya.

Seperti dikisahkan Seno dalam national geographic traveler Juli 2010, Soekarno menceritakan kejadian pembuntutannya itu dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams. Ketika itu, Ende yang masih sunyi terdapat delapan polisi yang bertugas mengamati gerak-gerik Bung Karno. Terang saja, Bung Karno mudah mengenali keberadaan mereka di sekitar rumah itu. Selain mereka adalah orang Belanda, “mata-mata” itu bersepeda hitam merk Hima (tak ada orang yang menggunakan sepeda itu selain polisi tersebut).

Sebetulnya, polisi mendapat instruksi mengawasi dari jarak 60 meter. Namun pada suatu sore, Soekarno mengisahkan, tampak seseorang “...membuntutiku di jalan raya yang juga dijalani angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah panggung menuju ke sungai. Jalan menuju ke situ sempit, jadi dia mendayung mengembus-embus hampir bahu-membahu denganku. Waktu dia berhenti di sana untuk menjalankan mata-mata, dua anjing melompat kepadanya sambil menyalak menggeram-geram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini, karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya, dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua tangannya berpegang erat ke pohon.”

Soekarno mengaku, itulah salah satu hiburan segar di antara hari-hari berat yang ia jalani selama 1934-1938. Diasingkan ke tempat tak seorang pun mengenalnya, sungguh mematikan jiwa aktivis populis seperti Soekarno.

Seno juga memberikan penilaian terhadap apa yang dilihatnya pada kunjungannya. Ia melihat naskah-naskah sandiwara yang ditulis oleh Soekarno, tersimpan tak terawat di balik kaca lemari. “Naskah-naskah yang ia gunakan untuk menularkan gagasan merdeka dari penjajahan di sekitar Ende, apakah tak takut akan rusak atau dicuri?” tulis Seno. Tentu lebih baik dibukukan, dan aslinya disimpan di tempat lebih aman, serta suhunya sesuai bagi dokumen tua. “Lukisan, tempat tidur dan perabotan, yang semuanya autentik, saya kira membutuhkan lebih dari sekadar bulu ayam untuk memeliharanya,” demikian Seno menuliskan pengalaman kunjungan ke rumah itu.

Di Kota Ende, Soekarno juga bergaul dengan penduduk setempat. Cendekiawan dengan sapaan akrab Bung Karno yang diasingkan oleh pemerintah Belanda karena perjuangannya ini menganggap Ende sebagai miniatur Indonesia. Karena heterogen warga dan latar belakangnya, tetapi dapat hidup damai, minim gesekan dan konflik. Toleransi dan saling hormat-menghormati, hargai menghargai menjadi napas kota ini.

Selama di Ende, Soekarno bukanlah tokoh elite yang tinggal di menara gading. Ia tinggal dan mengontrak rumah penduduk, serta  sering bepergian keliling Ende dan berkenalan dengan siapa saja. Tempat-tempat dan jejak-jejak yang sering didatangi dan menjadi favorit sang insinyur dapat ditemui sampai saat ini. Beberapa bahkan merupakan situs sejarah yang masih terawat baik dan sering dikunjungi oleh wisatawan. Di antaranya, rumah tinggal Bung Karno di Jalan Perwira, kampung Ambugaga dan pohon sukun sebagai tempat perenungan Pancasila.

Di Kota Ende, butir-butir Pancasila dikandung dalam perenungan—kontemplasi—Soekarno. Di Ende, Bung Karno memperoleh kesempatan untuk mematangkan gagasan tentang dasar perjuangannya memerdekaan Indonesia. Menjadi kebanggaan juga bahwa pemerintah menetapkan perayaan peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni, secara nasional di kota ini. Tempat Bung Karno sering duduk untuk merenung saat ini dijadikan taman dan ditahtakan patung Soekarno muda sedang  duduk memandangi laut. Membayangkan saat itu masih banyak pepohonan sukun, mahoni, dan asam jawa yang membuat udara sejuk dan hening dengan suara ombak pantai sebagai musik alam yang syahdu. Sedangkan, Monumen Pancasila sendiri dapat ditemui di Simpang Lima, yang berada tidak jauh dari Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman.

Selain sebagai kota sejarah lahirnya ilham kelima sila dari  Pancasila, Kota Ende dikenal juga sebagai kota pendidikan di Pulau Flores. Karena di kota ini banyak sekolah bermutu, juga perguruan tinggi. Salah satunya adalah Universitas Flores. Banyak orang muda dari kota-kota di Flores, Timor, Sumba hingga Alor dan Lembata yang datang menimba ilmu. Kehadiran mereka berkontribusi dalam menggeliatnya perekonomian, juga menambah kaya budaya warga kota dengan budaya-budaya yang berbeda.

Menurut legenda, Pulau Ende merupakan parang—golok—dari Gunung Wongge yang dibuang ke laut setelah menebas leher dari Gunung Meja. Legenda cinta segitiga Gunung Iya, Gunung Meja dan Gunung Wongge hidup dan diceritakan turun-temurun. Ikon-ikon kota Ende seperti Gunung Meja, Gunung Iya, dan Pulau Koa adalah bagian dari legenda tersebut.

Kota Ende adalah kota pelabuhan dan menghadap ke Pulau Ende. Sebagai ibu kota Kabupaten Ende, pusat peradaban ini terletak tepat di tengah-tengah Pulau Flores. Bahkan titik tengah Pulau Flores hanya berjarak kurang lebih 17 kilometer dari pusat kota, berupa batu setinggi tiga meter yang disebut watu gamba. Uniknya di “monumen” batu tersebut ada tanda tangan Presiden Soeharto (saat itu).

Kabupaten Ende memiliki potensi pariwisata yang kaya. Entah itu budaya, sejarah, alam, pantai, maupun tradisi. Semua itu menawarkan petualangan dan cerita tersendiri bagi siapa saja yang ingin mengeksplor lebih jauh tentang bumi tiga warna ini. Kota Ende sebagai ibu kota Kabupaten Ende merupakan pintu gerbang untuk mengenal semua kekayaan tersebut.

Sejarah Kota Ende bermula dari Nua Ende yang merupakan hikayat atau dongeng hasil telusuran dari karangan S. Roos yang berjudul Iets Over Ende dan juga karangan Van Suchtelen tentang Onderafdeling Ende. Hikayat masyarakat Ende menyatakan kisah, sepasang generasi awal mereka; Ambu Mo'do (perempuan) dan Ambu Roru (lelaki) datang dari langit ke pulau kecil bernama  Ende. Keduanya membentuk keluarga serta dikaruniai dua anak lelaki serta dua anak perempuan. Suatu ketika, seorang anak perempuan mereka menghilang. Tersisa tiga; Keto Kuwa, Borokanda dan Rako Madange—mereka inilah penerus keturunan keluarga Ambu Roru dan Ambu Mo' do.

Pada suatu hari, setelah memasang umpan pancing di sebuah pulau besar yang dikuasai oleh Ambu Nggo’be, ketiganya bersampan kembali dari Pulau Ende untuk melihat hasilnya. Mereka berhasil mendapatkan ikan cukup banyak, sehingga setengahnya disantap bersama Ambu Nggo’be, sang penguasa pulau. Perjumpaan dan acara santap bersama ini melahirkan sebuah persahabatan di antara mereka. 

Ambu Nggo’be membalas kebaikan keluarga Ambo Mo'do dan Ambu Roru ini dengan undangan untuk bermukim di pulau besar serta meninggalkan Pulau Ende. Sebagai penguasa lahan, ia memberikan sepetak tanah dengan mahar berupa seutas rantai emas serta satu gading—kini, tanda jadi ini menjadi harta warisan yang disimpan oleh Kai Kembe, salah satu keturunan langsung Ambu Nggo’be. Seluruh persyaratan itu diluluskan seluruhnya oleh keluarga Ambu Roru dan Ambu Mo'do. Di tempat  baru, keluarga ini membuka hutan dan membangun  perkampungan bernama Nua Roja, dan selanjutnya dikenal sebagai Nua Ende.

Selaras kehidupan bertetangga, warga pendatang dari Ende menikah dengan penduduk setempat. Begitu pula salah satu anak keluarga Ambu Roru kawin dengan buah hati Ambu Nggo’be. Kekerabatan antarkerajaan pun tercipta, saat seorang lelaki dari Majapahit datang menunggang paus (ngambu dalam bahasa setempat). Ia menikah dengan cucu perempuan Ambu Nggo'be dan Ambu Roru serta bermukim di Nua Ende. Kisah lain, seorang Cina bernama Maga Rinu menikahi seorang perempuan dari keturunan keluarga besar Ambu Nggo’be.

Kisah rakyat ini secara tidak langsung memberikan pandangan bahwa Nua Ende dibangun oleh Ambu Nggo’be sebagai seorang tuan tanah, yang tidak lepas dari bantuan Ambu Roru asal Pulau Ende, juga orang-orang dari luar nusa ini, seperti asal Majapahit dan Cina. Selain kisah rakyat ini, ada beberapa lagi cerita seperti Dori Woi, Kuraro sampai Jari Jawa yang mengisahkan Ambu Nggo’be selaku pendahulu atas berdirinya Tana Ende.

Ende menyimpan banyak hal menarik untuk diulik, salah satunya sebutan kota sejarah. Selain itu sebutan Kota Pancasila, Kota Pelajar dan Bumi Danau Tiga Warna sudah dikenal lama. Selain itu juga ada gedung Imakulata, Gereja Katedral, Masjid Arabita (masjid tertua di Ende), makam Ibu Amsi (Ibunda Inggit Ganarsih), pelabuhan, eks toko De Leew (sekarang toko Sekawan Baru), Percetakan Arnoldus, kali Wolowona dan Kali Nangaba. Di tempat-tempat tersebut, Bung Karno bertemu dan berinteraksi dengan warga Ende, para ulama, para pastor, maupun tokoh masyarakat.

Warga Kota Ende yang pluralis juga heterogen latar belakangnya, tetapi yang sebenarnya ada tiga suku yang dominan: Suku Ende, Suku Lio, dan Suku Nga’o. Ketiganya memiliki bahasa yang mirip, namun tidak sama. Warga Ende sangat ramah, apalagi dengan pendatang karena hal tersebut menjadi ciri khas orang timur yang terbuka, apa adanya.

Kota Ende yang berada di pesisir selatan Pulau Flores dan menghadap Teluk Sawu ini memiliki topografi khas daerah selatan, yaitu berbukit-bukit. Kontur tanah yang tidak rata tersebut justru menambah nilai keindahan karena ada bangunan yang dibuat diatas bukit atau tempat lebih tinggi hingga mempunyai panorama cantik ke arah pantai dan Laut Sawu. Beberapa tempat itu, seperti kantin Universitas Flores di kampus empat, tikungan Woloweku, Tikungan Salib ke arah Ndetundora, kuburan Potunggo, dan beberapa tempat lainnya.

Kota kecil ini juga masih menjaga dan merawat tradisi serta budaya yang dimilikinya. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan warganya yang masih memegang teguh tradisi, seperti menenun dan mengenakan sarung hasil tenun ikat sebagai busana sehari-hari maupun dalam acara hajatan atau kenduri. Biasanya juga dikenakan dengan baju yang dikenal sebagai baju ende. Semangat gotong royong antarsesama keluarga dan warga kampung juga masih sangat kental. Terlebih dalam proses mempersiapkan hajatan atau kenduri untuk pernikahan, kelahiran maupun syukuran. Begitupun saat ada kematian (penguburan) atau pembuatan rumah.

Tidak jauh dari Kota Ende ke arah timur ada desa yang masih menjaga simbol-simbol tradisinya, berupa rumah adat, kubur batu, maupun kebiasaan menenun di kolong rumah. Di desa bernama Wolotopo di tepi pantai tersebut berjarak kurang lebih 10 kilometer dan menjadi salah satu destinasi wisata kategori kampung adat yang juga sering dikunjungi oleh para wisatawan. Jika kita bertandang ke sana akan disambut ramah oleh warga setempat.

Dalam Sail Komodo yang digelar tahun ini, Ende menjadi salah satu destinasi yang disinggahi oleh peserta lomba layar. Jalan-jalan dalam kota mulai dikerjakan dan diperbaharui lagi. Begitu juga pantai-pantainya, karena Pantai Ria menyuguhkan sebuah pemandangan senja yang menakjubkan. Untuk menikmati sunset, selain di Pantai Ria, juga bisa dinikmati di Pantai Bita, Pantai Mbu, maupun Pantai Penggajawa. Di wilayah Pantai Penggajawa cukup menarik karena di sepanjang pesisir bertebaran batu-batu bulat berwarna hijau yang dikenal dengan nama batu penggajawa dan bernilai ekonomis. Batu-batu ini bahkan sudah ada yang sampai ke negeri Jepang.

Tentulah, tidak afdol kalau tidak menjelajahi sudut-sudut kota Ende. Karena selain kampung adat, pantai, situs sejarah, juga ada air terjun yang berjarak kurang lebih 12 kilometer dari kota, yaitu Air Terjun Ae Poru di Desa Kadebodu.

Kota Ende (mungkin) sempat terlupakan, namun ia menyimpan begitu banyak detinasi menarik. Kini, saatnya bagi Anda untuk mendatangi dan menyelami lebih jauh kehidupan, sejarah dan budayanya—tentu sembari menikmati keindahan alamnya.