"Kalau terbang ke Jayapura, dari jendela pesawat itu gunung-gunung rasanya dekat sekali dengan kaki. Lalu begitu mendarat, gunung langsung menjulang di depan mata!!” ujar adik saya berapi-api.
Saya mengangguk acuh tak acuh saat ia menceritakan pengalaman perjalanannya tahun lalu itu ke Jayapura. Ia tahu, pegunungan dan alam bebas adalah hal yang bisa membuat saya jatuh hati. Gambaran pun muncul di benak: Ah, mungkin hanya seperti di bandara Sultan Hassanuddin, Makassar. Rangkaian pegunungan yang tampaknya dekat itu menjulang nun jauh di sana. Saya tak percaya perkataannya....
Seperti biasa, saat melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang baru pertama kali didatangi, mata tak bisa terpejam. Saya selalu penasaran dengan bentang alam di bawah sana. Mereka-reka di mana pesawat sedang melintas, memperhatian garis-garis pantai yang terlihat di sela-sela saput awan. Itukah kepala burung papua? Itukah Samudra Pasifik?
Tujuh jam berlalu tanpa terasa. Pesawat akhirnya berputar di atas sebuah danau yang memanjang. Danau Sentani. Dari jendela saya sudah terpana, tak percaya dengan apa yang saya lihat. Saat melangkah memanggul ransel menuruni tangga, saya baru sadar hal yang pernah adik saya katakan. Salah satu sisi Pegunungan Cyclops mengadang dengan angkuhnya di depan mata, memamerkan pesonanya: tebing hijau menjulang amat tinggi, seperti dapat diraih dengan tangan.
“Tugu Mac Arthur itu jauh tidak ya, Pak?” tanya saya penasaran kepada pengemudi saat berkeliling Sentani. Setengah jam kemudian, mobil melaju dengan gerakan berliku-liku menaiki punggungan dan sampai di puncak bukit. Napas saya tertahan. Di depan mata, lanskap Papua terhampar menakjubkan. Pegunungan Jayawijaya berbaris nun jauh di arah selatan. Sementara Pengunungan Cyclops menjulang di arah sebaliknya. Tepat di bawah bukit yang saya jejaki ini, Danau Sentani memamerkan kemolekannya. Pulau-pulau kecil yang bertebaran membuat perairan ini seperti laut. Di daratan yang datar, landas pacu Bandara Sentani lurus membentang berujung danau. Berkali-kali pesawat kecil maupun besar menampakkan dirinya dari jauh, kemudian perlahan mencium landasan.
Fera Oey seorang mantan mahasiswi Universitas Cenderawasih, sedang bercengkerama dengan ayah ibunya, adiknya Fina Elyshe, juga kedua anaknya, Tika dan Tasya. Tasya adalah anak terkecilnya yang berusia delapan bulan. Mereka tinggal di Sorong, dan sedang berlibur merayakan wisuda Fera. Saya terkesima melihat Tasya, di antara kulit wajahnya yang kelam, berbinar sepasang mata yang jernih, mengerjap-kerjap dengan bulu mata lentik. Ia tertawa-tawa saat digoda. “Penduduk sering sekali ke mari, terutama akhir minggu,” ungkap Fera sambil memamerkan giginya yang putih.
Kecantikan bentang alam yang begitu elok malah membuat lupa sesaat, akan tujuan awal saya ke sini: Menyambangi tugu Mac Arthur yang tersohor dengan karyanya Doa Sang Ayah, yang saya kenal sejak kecil. Douglas Mac Arthur turut menorehkan catatan sejarah di Papua, saat ia melaksanakan aksi militernya. Semua dokumen terkait hal ini ada di sebuah rumah kecil yang letaknya tak jauh dari tugu, dalam sebuah ruangan yang suram.
Di sinilah saya, Bandara Dominique Eduard Osok, menunggu cuaca buruk pergi dari atas Sentani. Di tangan saya ada sebuah boarding pass, dengan informasi yang tergores dengan tinta di atas selembar karton manila berwarna kuning. Belakangan saya baru tahu bahwa penerbangan diurutkan berdasarkan warna boarding pass. Lembaran biru akan berangkat lebih dahulu.
Jantung saya sempat berdebar membayangkan perjalanan yang akan ditempuh. Beberapa rekan sempat berkata sebelum pergi: “Lembah Baliem adalah salah satu lembah paling mematikan di dunia.” Tak berapa lama, terdengar suara mendayu-dayu dari pengeras suara. Salah satu pesawat komersil kembali ke Biak karena cuaca buruk menghalanginya mendarat di Sentani. Saya pun terpaku di depan kaca bandara yang menghadap ke landasan pacu. Air hujan tampak berlarian, miring tertiup angin kencang.
Kekhawatiran pun lenyap saat pesawat akhirnya melayang melintasi pegunungan. Saya ingat betul deskripsi seorang teman sealmamater dalam bukunya yang melukiskan Pegunungan Sudirman di utara Pulau Papua: deretan pegunungan seolah berkejaran satu sama lain. Di bawah saya, dalam warna samar kebiruan bagaikan laut, gelombang rentetan panjang pegunungan seakan tiada habisnya. Saat penumpang lain terlelap dalam perjalanan, saya tak bisa melepaskan pandangan yang ada di balik kaca pesawat. Kadang ada sungai tipis dengan lembah yang curam. Sesekali sungai besar muncul dengan lembah lebar kecokelatan. Terdapat bercak-bercak putih tanda terbentuknya riak. Sungai dan jeram yang mengancam para penggemar olahraga arung jeram adalah hal yang saya ketahui saat pertama kali saat mendengar kata Lembah Baliem, belasan tahun yang lalu.
Lamunan saya terhenti saat pilot mengumumkan bahwa ketinggian jelajah saat itu mencapai 14 ribu kaki. Sekitar satu jam kemudian, pesawat menyentuh Bumi. Rasanya seperti mendarat di aspal yang penuh polisi tidur sebelum berhenti di ujung landasan yang bagaikan tiada habisnya.
Saya menjerit di dalam hati saat menuruni tangga. Para penumpang berkerumun di bawah buntut pesawat untuk mengambil bagasi mereka (semuanya digeletakkan begitu saja di dasar apron, tempat parkir pesawat). Forklift pun lalu lalang mengangkut kargo dari pesawat lainnya, tak jauh dari situ. Puncak-puncak pegunungan yang kadang disaput awan seolah mengepung saya. Sangat dekat seakan hanya butuh waktu berkendara yang amat singkat untuk sampai di sana. Angan-angan pun segera muncul di benak saya. Seperti apa rasanya melakukan hiking di kaki Pegunungan Jayawijaya? Pasti seru naik ke sana melewati pedesaan lalu memandang lembah dari ketinggian. Sama seperti kisah trekking di ujung-ujung Pegunungan Himalaya yang masuk ke wilayah India.
Walaupun sinar Matahari menyengat, udara dingin berembus menyegarkan tubuh. Dan siang itu perut saya pun dimanjakan oleh udang selingkuh, makanan khas Wamena. Udang yang kabarnya endemik Lembah Baliem ini berukuran cukup besar, hampir sebesar lobster, dengan rasa amat gurih.