Saat rombongan kami yang berjumlah lima mobil mendekat, seorang rekan dari Sorong mengingatkan: “Jangan buka jendela dulu. Biarkan teman saya bernegosiasi dengan pihak mereka,” ujarnya. Saya paham. Dari blog-blog yang saya baca, beberapa pejalan mengusulkan hal yang sama. Dari jauh saya memperhatikan, penduduk setempat berbicara panjang lebar dengan mimik muka serius serta tangan melambai-lambai. Sementara penegosiasi menepuki pundaknya. Di belakang saya, anak muda dan anak kecil berdatangan setengah berlari dari arah jalan, sambil membuka bajunya.
Setelah beberapa saat, kami diperbolehkan masuk ke desa. Keriuhan pun segera terjadi. Para ibu mengambil hasil kerajinan mereka seperi kalung bertaring babi, noken, koteka, labu, dan berbagai kerajinan lainnya. Mereka menggelar semua kerajinan tersebut di atas tanah. Sementara itu, para pria menggotong mumi dari sebuah honai. Saat mencari tahu sebelum berangkat, mumi yang dinamakan Wimontok Mabel ini berusia sekitar 230 tahun. Saat bertanya dengan rekan yang ke tempat ini seminggu sebelum saya datang, ia mendapat info bahwa umurnya sekitar 270 tahun. Saat saya bertanya sendiri , salah seorang penduduk berkata bahwa usianya 293 tahun.
Mumi berwarna hitam itu berjongkok sambil bertekuk lutut. Kepalanya sedikit menengadah dan mulutnya terbuka. Menurut penduduk, mumi ini diawetkan dengan diasapi dan diberi minyak babi. Saat mendekati mumi itu, hati saya sedikit teriris. Pada bagian samping tulang kering, mumi itu terkelupas di sana sini. Saat hujan gerimis pun turun, butuh beberapa waktu hingga akhirnya salah satu penduduk mengambil payung dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas sang mumi. Saya pun sempat termenung. Berapa lama lagi mumi itu dapat bertahan dalam kondisi baik?
Di tengah para penduduk yang bersikeras agar para tamunya membeli kerajinan mereka, saya sempat memperhatikan daerah sekeliling walau hanya sekilas. Menurut salah satu penduduk, ada sekitar tujuh honai dan tujuh keluarga yang memenuhi tempat yang dikelilingi oleh pagar ini. Saat hujan semakin mendera, saya pun melangkahkan kaki keluar desa. Para wanita tetap menawarkan pernak pernik hingga ke batas pintu mobil. Beberapa dari mereka meminta ongkos tambahan karena telah memotret. Kepulan knalpot mobil meninggalkan tanah basah pun masih juga diiringi kali ini oleh anak kecil dengan kisaran usia enam hingga delapan tahun, mengiba recehan dari pengendara, dengan berlarian di samping mobil.
Sambil kembali menikmati bentang alam sekitar, saya berbincang mengenai biaya hidup di tanah Wamena. Ternyata nasi dengan tahu saja memiliki kisaran harga 20 hingga 30 ribu rupiah. Itu belum dengan lauk daging. Semua kebutuhan masyarakat Wamena tergantung dari suplai barang yang dibawa dari Jayapura dengan menggunakan pesawat kargo. Jika cuaca memburuk, harga pasti meningkat. “Satu sak semen saja di sini bisa jadi harganya mencapai 400 ribu rupiah,” ujar sang pengemudi, membuat saya tercengang.
Selain di tempat-tempat seperti Kurulu, di jalanan Wamena, juga bandara. Biasanya orang berkoteka akan mengacungkan jari telunjuknya setelah pelancong berfoto bersama mereka, tanda bahwa mereka meminta uang dengan jumlah tertentu sebagai ongkos berfoto bersama.
Saat hendak kembali ke Sentani, boarding pass dari karton manila berwarna-warni sudah tak lagi mengejutkan saya. Hal yang sekarang membuat mengecohkan saya adalah bangunan bandara.
Di ruang boarding ini saya pun kembali termenung memperhatikan pegunungan sekitar dengan puncaknya yang masih diselimuti kabut: Pemandangan yang selalu saya cari setiap saat, bahkan ketika saya terbangun dari tidur. Jika di penginapan saya dapat memandang pegunungan nan memukau ini dari jendela, di ruang ini saya memandangnya dari sela-sela kawat dengan beratap seng. Ya, bandara Wamena terbakar beberapa tahun lalu. Kini berdirilah sebuah ruang dengan ukuran sekitar 10 kali 15 meter yang terdiri dari kayu, seng dan kawat. Satu-satunya benda yang membuat tempat ini layak disebut sebagai ruang tunggu di bandara adalah bangku kokoh yang tampak baru. Dari sela kawat, saya kembali berangan-angan. Andai saja Wamena bisa menjadi pusat bagi para pelancong untuk mendaki ke pegunungan Jayawijaya yang kakinya terlihat di kejauhan, mungkin Indonesia akan seperti Nepal atau India yang amat tersohor akan pelancongan Pegunungan Himalayanya.