Belum lagi menyentuh bumi, rangkaian pulau-pulau cantik itu telah menyapa kami. Saya menyebutnya perkenalan pertama di angkasa yang singkat. Tak seberapa waktu, awan tipis memisahkan kami dengan rangkaian kepulauan Alor itu. Pesawat kami membumi dalam rinai hujan.
Perkenalan kedua: Christian Dami, pemilik tempat inap ‘Cantik’ di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Selama 12 tahun, ‘Cantik’ telah disinggahi para pejalan dari segala penjuru. Bisa dibilang, ‘Cantik’ adalah pelopor rumah inap di Alor.
“Dulu ‘Cantik’ nama angkutan kota saya. Angkot di Alor punya nama, dan penumpangnya dipanggil sesuai julukan angkotnya. Nama angkot saya ‘Cantik’, semua penumpang saya cantik. Lalu, Cantik saya jadikan nama penginapan, juga nama perusahaan,” ungkap Chris sembari berkelakar.
Di sepanjang perjalanan, saya bersua dengan angkot bertuliskan nama-nama unik. Beberapa di antaranya dengan sentuhan kekinian: Cinta, Move on, atau Mantan. Angkot-angkot itu dipenuhi pelantang suara untuk memikat penumpang. Ini melayangkan memori saya pada angkutan kota di Manado yang juga semarak dengan pengeras suara—namun tak seheboh jipney di Filipina.
Perkenalan ketiga: Ida Senimawan Malaum. Perempuan 25 tahun yang menjadi sejawat penjelajahan saya. Ida berhasrat melambungkan keindahan dan kejayaan masa lampau tanah kelahirannya. Tiga perkenalan itu mengantarkan jejak langkah saya menjelajahi Alor yang berbatasan dengan Timor-Leste ini.
Dermaga Alor Kecil, 15 km dari Kalabahi, menjadi saksi pengarungan saya bermula. Pagi menyentak dermaga Alor Kecil. Perahu ojek laut bersandar rapi. Selain penumpang, wahana ini juga memboyong bahan makanan, dagangan, hingga sepeda motor. Bukan pelabuhan besar, melainkan salah satu terminal ojek laut dari Pulau Alor ke pulau sekitar. Inilah titik nol bagi para pecandu kedalaman samudra, langit biru, dan pulau kecil.
“Hati-hati jatuh,” Chris mengingatkan saya, “dermaga ini baru saja roboh. Naik perahu agak sulit sekarang.” Saya mengangguk. Sembari menanti perahu, saya berkeliling kawasan dermaga.
Baru di titik nol penjelajahan, jernihnya air laut melayangkan benak saya ke Muara Angke, Jakarta—tempat saya tinggal. Di tempat ini, di sudut Nusantara nan jauh, kengerian justru meruap-ruap membayangkan Muara Angke: pesisir yang begitu dekat, tapi sungguh berjarak.
Saya berandai-andai: jika bagian dermaga yang roboh itu masih ada, mungkin mudah bagi saya menceburkan diri. Dermaga Alor Kecil, yang jauh, terasa akrab.
“Kita ke pantai Ling’al. Perjalanannya paling jauh memang, tapi tak akan menyesal,” ungkap Ida sambil menggiring saya menuju perahu. Ajakan Ida menyentil saya: terlalu berat untuk menyinggahi banyak tempat di Alor dalam sehari. Alam Alor membentang luas: 20 nusa besar-kecil perlu waktu jelajah empat hari hingga tak terbatas.
Perahu beringsut membelah perairan yang tenang. Ombak yang ramah mengayun-ayunkan perahu. Ida benar. Ini perjalanan yang jauh. Sembilan puluh menit untuk sampai di pantai Ling’al di Halerman, Alor Barat daya.
Ling’al menuturkan dilema Alor. Meski dapat dijangkau dari laut, pantai ini ternyata masih berada di Pulau Alor. Ida bercerita Ling’Al bisa dijangkau melalui darat dari Kalabahi. Hanya saja butuh 5 jam berkendara dengan roda-empat gardan ganda atau motor trail—jalur yang menantang bagi pecandu jalanan. Pilihan lain, berperahu dari dermaga Kalabahi, selama tiga jam.
Pantai berpasir putih itu membayang-bayang. Senyap. Peradaban tak menyentuh Ling’al. Tiada rumah, tiada kedai. Untuk sementara waktu, Ling’al dalam kuasa kami, ditemani warga setempat di pinggir pantai. “Kalau mau lihat pemandangan yang bagus kita harus menjelajah ke sana,” Ida menunjuk hamparan batu karang, yang menjadi asal nama pantai ini. Ling’al berarti batu besar.