Pernak-pernik Alor

By , Selasa, 26 April 2016 | 16:15 WIB

Belum lagi menyentuh bumi, rangkaian pulau-pulau cantik itu telah menyapa kami. Saya menyebutnya perkenalan pertama di angkasa yang singkat. Tak seberapa waktu, awan tipis memisahkan kami dengan rangkaian kepulauan Alor itu. Pesawat kami membumi dalam rinai hujan.

Perkenalan kedua: Christian Dami, pemilik tempat inap ‘Cantik’ di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Selama 12 tahun, ‘Cantik’ telah disinggahi para pejalan dari segala penjuru. Bisa dibilang, ‘Cantik’ adalah pelopor rumah inap di Alor.

“Dulu ‘Cantik’ nama angkutan kota saya. Angkot di Alor punya nama, dan penumpangnya dipanggil sesuai julukan angkotnya. Nama angkot saya ‘Cantik’, semua penumpang saya cantik. Lalu, Cantik saya jadikan nama penginapan, juga nama perusahaan,” ungkap Chris sembari berkelakar.

Di sepanjang perjalanan, saya bersua dengan angkot bertuliskan nama-nama unik. Beberapa di antaranya dengan sentuhan kekinian: Cinta, Move on, atau Mantan. Angkot-angkot itu dipenuhi pelantang suara untuk memikat penumpang. Ini melayangkan memori saya pada angkutan kota di Manado yang juga semarak dengan pengeras suara—namun tak seheboh jipney di Filipina.

Perkenalan ketiga: Ida Senimawan Malaum. Perempuan 25 tahun yang menjadi sejawat penjelajahan saya. Ida berhasrat melambungkan keindahan dan kejayaan masa lampau tanah kelahirannya. Tiga perkenalan itu mengantarkan jejak langkah saya menjelajahi Alor yang berbatasan dengan Timor-Leste ini.

Dermaga Alor Kecil, 15 km dari Kalabahi, menjadi saksi pengarungan saya bermula. Pagi menyentak dermaga Alor Kecil. Perahu ojek laut bersandar rapi. Selain penumpang, wahana ini juga memboyong bahan makanan, dagangan, hingga sepeda motor. Bukan pelabuhan besar, melainkan salah satu terminal ojek laut dari Pulau Alor ke pulau sekitar. Inilah titik nol bagi para pecandu kedalaman samudra, langit biru, dan pulau kecil.

 “Hati-hati jatuh,” Chris mengingatkan saya, “dermaga ini baru saja roboh. Naik perahu agak sulit sekarang.” Saya mengangguk. Sembari menanti perahu, saya berkeliling kawasan dermaga.

Baru di titik nol penjelajahan, jernihnya air laut melayangkan benak saya ke Muara Angke, Jakarta—tempat saya tinggal. Di tempat ini, di sudut Nusantara nan jauh, kengerian justru meruap-ruap membayangkan Muara Angke: pesisir yang begitu dekat, tapi sungguh berjarak.

Saya berandai-andai: jika bagian dermaga yang roboh itu masih ada, mungkin mudah bagi saya menceburkan diri. Dermaga Alor Kecil, yang jauh, terasa akrab.

“Kita ke pantai Ling’al. Perjalanannya paling jauh memang, tapi tak akan menyesal,” ungkap Ida sambil menggiring saya menuju perahu. Ajakan Ida menyentil saya: terlalu berat untuk menyinggahi banyak tempat di Alor dalam sehari.  Alam Alor membentang luas: 20 nusa besar-kecil perlu waktu jelajah empat hari hingga tak terbatas.

Perahu beringsut membelah perairan yang tenang. Ombak yang ramah mengayun-ayunkan perahu. Ida benar. Ini perjalanan yang jauh. Sembilan puluh menit untuk sampai di pantai Ling’al di Halerman, Alor Barat daya.

Ling’al menuturkan dilema Alor. Meski dapat dijangkau dari laut, pantai ini ternyata masih berada di Pulau Alor. Ida bercerita Ling’Al bisa dijangkau melalui darat dari Kalabahi. Hanya saja butuh 5 jam berkendara dengan roda-empat gardan ganda atau motor trail—jalur yang menantang bagi pecandu jalanan. Pilihan lain, berperahu dari dermaga Kalabahi, selama tiga jam.

Pantai berpasir putih itu membayang-bayang. Senyap. Peradaban tak menyentuh Ling’al. Tiada rumah, tiada kedai. Untuk sementara waktu, Ling’al dalam kuasa kami, ditemani warga setempat di pinggir pantai. “Kalau mau lihat pemandangan yang bagus kita harus menjelajah ke sana,” Ida menunjuk hamparan batu karang, yang menjadi asal nama pantai ini. Ling’al berarti batu besar.

Ling’al menuntut kami menjamah air dan dasar lautnya. Kami berbasah-basah ria saat turun dari kapal. Hari yang mulai siang membuat ombak membesar, mengombang-ambingkan tubuh. Saya limbung.

Sesampai di pantai saya memekik: pasir putih! Hamparan pasir cemerlang ini membentang dua kilometer membentuk teluk. Ida mengajak saya meniti bukit dengan janji-janji.

Sandal jepit, alas kaki kebangsaan berlibur ke pantai itu, adalah kekeliruan. Bukit berbatu-batu membuat saya nyaris tergelincir. Tak ada tanaman berakar yang  bisa dijadikan pegangan saat mendaki lereng curam.

Rayuan Ida yang menjanjikan 15 menit pendakian, rasanya menjadi dua kali lipat. Apalagi biru langit, teduh laut, dan bebatuan kerap menghentikan langkah saya untuk mengabadikan alam sekitar.

Janji Ida benar. Dari puncak bukit, pantai Ling’al menghampar sempurna. Hamparan pasirnya terlihat tanpa halangan. Air jernih di bawah sana mengesankan perahu kami seolah melayang.

Bagi yang terlanjur kepincut dengan Ling’al, dapat tinggal berlama-lama. Membuka tenda di atas Ling’al akan memuaskan jiwa-jiwa petualang atau meresapi kehidupan di rumah warga.

Sayangnya, waktu membunuh angan saya. Kami harus bergegas untuk mencari titik snorkling: membuktikan keindahan bawah laut Alor yang mahsyur. Namun Ida gusar. “Kita berangkat terlalu siang, saya khawatir kita tidak bisa snorkling. Arus mulai datang,” terangnya. Ida menyarankan titik snorkeling: Pulau Ternate, Pulau Pantar, dan beberapa pantai di sekitar Pulau Alor: Sebanjar dan Lola. Perahu kami bergerak menuju pantai Sebanjar.

Mengapung di biru laut, dalam pengarungan singkat ini, Ida bagaikan teman ensiklopedik kepulauan Alor. Dia mengisahkan pulau-pulau. Tak semua pulau di Alor memendam situs snorkling, tetapi hampir semuanya memiliki titik penyelaman. Penyebabnya, kata Ida, arus dan kedalaman samudra.

“Itu Pulau Buaya, yang mirip buaya. Kaum perempuan di sana pandai menenun, tapi lautnya tidak bagus,” papar Ida. “Yang itu Pulau Pura. Bisa menyelam dan snorkling. Yang paling besar itu Pulau Pantar. Di sana lautnya bagus, pantas buat selam dan snorkling. Kalau yang jauh di sana, Pulau Ternate. Ikan-ikannya bagus. Ini Ternate Alor, ya, bukan Ternate Maluku.”

Ikannya cantik? Mengapa Pulau Ternate tidak menjadi menjadi tujuan kami? Rupanya, dari Ling’al perlu waktu untuk sampai ke sana. Arah berlawanan dan laut sedang tak menentu.

Kami berhenti di perairan pantai Sebanjar. Arus laut tak menentu. Namun hasrat saya lebih besar untuk mengintip surga bawah laut Alor. Sayang, bawah laut pantai Sebanjar sedang muram. Arus mengaburkan pandangan, dan menyapu ikan-ikan. Baru sejenak menceburkan diri, hasrat saya menguap seiring lengkingan pengemudi perahu: “Awas arus, naik, ayo naik.”

Raut wajahnya memancarkan kepanikan. Air laut hangat tiba-tiba menjadi dingin. Baiklah, saya memupus diri. Demi keselematan. “Kita seharusnya berangkat pagi-pagi. Kalau siang, jadinya begini. Musim arus tidak bagus untuk snorkling.” Ida menggerutu.

Harapan saya masih ada di Pulau Kepa. Pulau di hadapan dermaga Alor Kecil ini terkenal dengan beberapa resor. Pulau ini pantas menjadi satu dari 56 situs andalan Alor. Alam di bawah kedalaman Pulau Kepa membuat penyelam tergila-gila.

Saya berenang di batas pulau. Resor-resor telah mengelola sebagian besar tepian Pulau Kepa. Berenang di pinggiran pulau memang tak begitu memikat. Beberapa kawan berenang ke tengah perairan.

“Darat, darat! Naik cepat,” teriakan pengemudi perahu melayangkan peringatan. Pertemuan dua arus menciptakan pusaran air. Awal tahun agaknya bukan waktu yang tepat untuk menikmati nirwana bahari Alor. Musim hujan juga menyulitkan perjalanan.

“April sampai Agustus,” Ida mengingatkan, “waktu tepat main ke Alor. Resor penyelaman baru buka pada Maret, setelah libur dari Desember sampai Maret.”

Saya harus puas meresapi permukaan laut Alor, pulau-pulaunya dan panoramanya. Saya legawa. Sekawanan lumba-lumba mengiringi kami yang gontai kembali ke daratan utama.

Jejak masa lalu manusia Alor terpendam di kampung-kampung adat yang tersebar di Pulau Alor dan Pulau Pantar. Saya menyambangi salah satu dari tiga desa adat terbesar: Takpala, Monbang, dan Bampalola di Alor.

Ida mengingatkan saya untuk tak lupa membawa sirih, pinang dan kapur sebagai buah tangan. Sejenak kami tiba, dan menggelar buah tangan, tua-muda Takpala menyambut kami dengan ramah.

Takpala adalah kampung adat yang bertengger di atas bukit, didiami 14 kepala keluarga suku Abui yang memegang teguh adat leluhur. Takpala berada di Desa Lembor Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara. Suku Abui memang tinggal di dataran tinggi Alor. Abui berarti orang gunung.

Warga Takpala cukup terbuka dan menyambut ramah. Saya bercengkerama dengan bapak, mama, kakak, dan adik sambil meresapi kudapan. Saya mereguk segelas kopi sebagai penghangat, sambil mendengarkan Abner Yetimauh.

Abner menuturkan suku Abui terdiri atas suku Kapitang, Aweni, dan Marang. Sembari menikmati sirih, lelaki dari  suku Marang ini menjelaskan peran adat tiga suku tadi. Dahulu, suku Kapitang berperan sebagai panglima; Aweni menjadi bangsawan; dan Marang bertugas dalam diplomasi.

Tanah ini sejatinya bukan tempat asli leluhur Takpala. Sebagai suku gunung, dahulu penduduk Takpala tinggal jauh di gunung berhutan. Kebiasaan berpindah ladang membuat mereka turun gunung hingga ke lokasi sekarang—yang baru dihuni sejak 1942.

Keheningan Takpala terjaga dari riuhnya peradaban. Meski tak jauh dari pusat kota, Takpala tak tersentuh penerangan listrik. “Untuk menjaga keaslian desa,” sahut Martinus Kafelkai, seorang warga Takpala.

Laut, pulau, dan budaya Alor mengisi jiwa saya dalam perjalanan yang ringkas ini. Alor meninggalkan kenangan yang jujur dan mendalam: sebuah ajakan untuk kembali lagi.