“Ini lebih dari pesta tahun baru, Mas,” kata Helmi, anggota komunitas Vespa Tenggarong, yang berkumpul bersama hampir seratus anggota komunitas lainnya dari Kota Penajam dan Samarinda untuk melihat gerhana. Beberapa di antara mereka sudah membuka tenda, membuat api unggun, dan membakar ayam di pantai ini sejak dua hari sebelumnya. Pantai Kilang Mandiri pun seakan menjelma menjadi arena konser dengan ribuan pemirsa.
Banyak keluarga sengaja datang dari kota-kota tetangga. Bahkan, ada seorang nenek berusia 67 tahun, Damayanti Adidarma, yang sengaja terbang seorang diri dari Bogor untuk mengejar momen ini. “Saya ingin mengapresiasi fenomena alam yang langka ini, yang nggak akan saya jumpai lagi,” katanya, lengkap dengan alat pandang seadanya, berupa disket floppy tua—yang sebenarnya tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai filter matahari.
Saya merasakan energi yang menggelegak di pantai itu, yang bahan bakarnya adalah rasa ingin tahu dan semangat untuk menjadi bagian dari keajaiban alam. Padahal, hari masih terlalu dini untuk keriaan semacam ini.
Perlahan, waktu pun merangkak. Begitu pula mentari. Saya bersijundai, lupa masa. Penonton kian meruah di kawasan pantai. Dari jauh, seakan-akan pasir pantai berubah menjadi lautan manusia. Ketika suara-suara teriakan dan suitan bersahut-sahutan, saya tahu, momen gerhana itu sudah dimulai. Bulan perlahan menutup Matahari dari pinggir, membentuk sabit, seperti biskuit bundar yang digigit. Nama Sang Pencipta membahana dari mulut-mulut hamba-Nya, ketika mentari benar-benar tertelan candra.
Pantai Kilang Mandiri yang tadinya hangat-hangat cahaya pagi, kini dirambati udara dingin. Saya berlari ke arah Lapangan Merdeka, hendak melihat suasana di luar pantai. Astaga! Jalan raya tertutup oleh manusia dan kendaraan. Bagaimana saya nanti bisa mengejar pesawat ke Berau?
Hayyul Abunawas sedang duduk di atas sadel sepeda motornya ketika saya hampiri. Anak muda asal Bontang yang masih kuliah di jurusan perminyakan sebuah universitas di Balikpapan itu kaget ketika tiba-tiba saya menodongnya dengan sebuah permintaan: “Dik, bisakah antar saya ke bandara? Saya mesti mengejar pesawat ke Berau. Ojek saya sepertinya tidak bakal bisa masuk ke kawasan ini,” kata saya, memberanikan diri. Dalam keadaan terdesak, apa pun mesti dilakukan.
Dia bingung. “Macet begini, Pak?” katanya. Pertanyaannya memang masuk akal. Tetapi, saya tetap harus berangkat. “Nggak apa-apa, kita jalan pelan-pelan, ikuti saja. Yang penting kita bergerak dari sini,” saya menenangkan dia. Saya merasa bersalah karena telah melibatkan dia dalam masalah saya. Sejurus kemudian, ia menoleh ke kiri, kanan, depan, belakang. Ia mencari jalan alternatif. “Oke pak, kita berangkat,” katanya.
Dia memang harus bolak-balik mencari jalan paling memungkinkan untuk bisa bergerak. Sulitnya, jalan-jalan Kota Balikpapan cenderung “linier” alias tidak banyak jalur alternatif. Kami harus menempuh jalan memutar yang agak jauh untuk melepaskan diri dari bebang. Akhirnya, kami berhasil lolos dan tiba di bandara SAMS tepat waktu.
Saya tiba di Bandara Kalimarau di Berau sekitar satu setengah jam kemudian. Sekali lagi, saya terpana. Kali ini oleh Bandara Kalimarau. Di antara hutan-hutan—yang sebagian besar rusak akibat pertambangan—Bandara Kalimarau terlihat mencolok.
Area parkirnya luas dan rapi. Arsitekturnya modern. Rangka-rangka atapnya bergelombang, membentuk siluet karapas penyu. Penyu memang identitas utama daerah dengan destinasi wisata bahari masyhur ini. Interior landside bandara yang resmi beroperasi pada Desember 2012 ini juga megah, setidaknya sebagai sebuah bandara kelas 2.
Tujuan saya adalah ke resor Pulau Nabucco di Maratua lewat Tanjungbatu. Dari Tanjungredeb, perjalanan ke Maratua—yang merupakan bagian dari gugus Kepulauan Derawan—memakan waktu total lima jam, terdiri dari tiga jam perjalanan darat plus dua jam perjalanan laut menggunakan speedboat. “Sebenarnya, bisa lebih singkat jika lewat Sei [Sungai] Segah,” kata Rahman, pemandu saya dalam perjalanan ini.
Jalan aspal ke Tanjungbatu berlubang di sana-sini, sehingga perjalanan selama tiga jam lumayan bikin pusing. Lebih sial lagi, pemandangan di kiri-kanan jalan juga tidak terlalu menarik, hanya hutan yang di beberapa titik terlihat hangus terbakar. “Kenapa tidak ambil jalan sungai saja?” gumam saya.