“Jangan lupa besok jemput saya jam lima pagi, ya,” saya berpesan berkali-kali kepada seorang tukang ojek, seakan-akan nyawa saya terancam bila ia tidak tepat waktu. Peristiwa yang menanti saya—juga ratusan ribu warga Kota Balikpapan, dan jutaan penduduk Indonesia pada umumnya—memang amat penting dan langka; gerhana matahari total.
Selain Palembang, Bangka-Belitung, Palangkaraya, Palu, Ternate, dan Halmahera, Balikpapan merupakan kota yang berada di sekitar garis khatulistiwa yang “disinggahi” gerhana. Saya beruntung bisa mengunjungi kota ini untuk melihat sang rawi bermesraan dengan bulan.
Ini kali kedua saya “mengunjungi” kota minyak ini. Ya, saya berikan tanda petik karena pada perjumpaan pertama beberapa tahun lalu, saya hanya melintas untuk menuju Kutai Kertanegara. Malam hari pula. Jadi, tidak banyak kesan yang saya dapat kecuali bahwa perjalanan darat dari Balikpapan ke Kutai adalah salah satu perjalanan paling berkelok-kelok dan turun-naik yang pernah saya alami. Dan, tentu saja, bahwa kota ini panas luar biasa.
Pada kali kedua ini, agenda saya di Balikpapan juga singkat saja; mengamati gerhana matahari total sekaligus menangkap suasana keriuhan warga Balikpapan, lalu segera terbang ke Berau untuk menikmati wisata bahari di sana.
Hal yang paling membuat saya terkejut pada kunjungan kedua ini adalah penampakan bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan yang begitu keren, yang membuat saya mesti meyakinkan diri bahwa saya sedang berada di Indonesia, negeri sendiri.
Informasi menarik mengenai sejarah, budaya, kekayaan flora dan fauna, serta wallpaper berupa ornamen seni khas Dayak sudah bisa dijumpai begitu kita memasuki terminal kedatangan. Paparan informasi itu seakan hendak mengingatkan bahwa kita benar-benar berada di Kalimantan.
Langit-langit bangunan utama bandara (landside) yang tinggi memberi kesan lapang dan rasa nyaman. Pada salah satu sudut bandara, anak-anak terlihat asyik di taman bermain artifisial. Pengelola bandara (Angkasa Pura I) sepertinya paham betul bahwa waktu menunggu di bandara bisa membuat anak-anak bosan, sehingga perlu dibikin tempat bermain yang memadai untuk mengusir rasa jenuh.
Landside bandara SAMS juga terhubung langsung dengan mal modern, seperti yang biasa kita lihat banyak bandara besar di luar negeri. Dengan bantuan rekan-rekan dari Angkasa Pura I, saya juga mendapat kesempatan untuk melihat-lihat sistem Airport operation Control Center (AOCC) yang membuat setiap proses landing dan take off serta operasi-operasi teknis bandara yang rumit bisa diotomatisasi hanya dari satu ruangan.
Kesimpulan saya hingga titik ini, Balikpapan memiliki gerbang wisata yang sangat layak dibanggakan dan membuat saya terkesan.
Tukang ojek—yang lupa saya tanyakan namanya—menelepon saya tepat pukul 5.00 pagi, sebagaimana saya instruksikan tadi malam. “Saya sudah di lobi ya, Pak,” katanya.
Saya menginap di Hotel Novotel. Sebelumnya, saya berencana untuk meliput di Pantai Mandar, sekitar 20-30 menit dari hotel. Tetapi, berhubung waktu saya sangat terbatas, karena pukul 9.00 harus sudah sampai di bandara SAMS kembali untuk check-in ke Berau, saya memutuskan untuk meliput di kawasan Pantai Kilang Mandiri, di area Lapangan Merdeka, yang hanya berjarak lima menit dari Novotel.
Lapangan Merdeka adalah alun-alun bagi warga kota Balikpapan. Tempat ini merupakan ruang terbuka publik yang dijadikan sarana rekreasi murah meriah, tempat warga bisa berkumpul dengan keluarga, berolahraga dengan berlari di jalur jogging, atau sekadar menandaskan senja yang bisa dilihat dari sudut lapangan berumput.
Di pagi yang masih gelap itu, banyak mobil sudah parkir di pinggir-pinggir jalan utama di Lapangan Merdeka. Warga berbondong-bondong menuju area Pantai Kilang Mandiri, hanya untuk menantikan sang rawi.
“Ini lebih dari pesta tahun baru, Mas,” kata Helmi, anggota komunitas Vespa Tenggarong, yang berkumpul bersama hampir seratus anggota komunitas lainnya dari Kota Penajam dan Samarinda untuk melihat gerhana. Beberapa di antara mereka sudah membuka tenda, membuat api unggun, dan membakar ayam di pantai ini sejak dua hari sebelumnya. Pantai Kilang Mandiri pun seakan menjelma menjadi arena konser dengan ribuan pemirsa.
Banyak keluarga sengaja datang dari kota-kota tetangga. Bahkan, ada seorang nenek berusia 67 tahun, Damayanti Adidarma, yang sengaja terbang seorang diri dari Bogor untuk mengejar momen ini. “Saya ingin mengapresiasi fenomena alam yang langka ini, yang nggak akan saya jumpai lagi,” katanya, lengkap dengan alat pandang seadanya, berupa disket floppy tua—yang sebenarnya tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai filter matahari.
Saya merasakan energi yang menggelegak di pantai itu, yang bahan bakarnya adalah rasa ingin tahu dan semangat untuk menjadi bagian dari keajaiban alam. Padahal, hari masih terlalu dini untuk keriaan semacam ini.
Perlahan, waktu pun merangkak. Begitu pula mentari. Saya bersijundai, lupa masa. Penonton kian meruah di kawasan pantai. Dari jauh, seakan-akan pasir pantai berubah menjadi lautan manusia. Ketika suara-suara teriakan dan suitan bersahut-sahutan, saya tahu, momen gerhana itu sudah dimulai. Bulan perlahan menutup Matahari dari pinggir, membentuk sabit, seperti biskuit bundar yang digigit. Nama Sang Pencipta membahana dari mulut-mulut hamba-Nya, ketika mentari benar-benar tertelan candra.
Pantai Kilang Mandiri yang tadinya hangat-hangat cahaya pagi, kini dirambati udara dingin. Saya berlari ke arah Lapangan Merdeka, hendak melihat suasana di luar pantai. Astaga! Jalan raya tertutup oleh manusia dan kendaraan. Bagaimana saya nanti bisa mengejar pesawat ke Berau?
Hayyul Abunawas sedang duduk di atas sadel sepeda motornya ketika saya hampiri. Anak muda asal Bontang yang masih kuliah di jurusan perminyakan sebuah universitas di Balikpapan itu kaget ketika tiba-tiba saya menodongnya dengan sebuah permintaan: “Dik, bisakah antar saya ke bandara? Saya mesti mengejar pesawat ke Berau. Ojek saya sepertinya tidak bakal bisa masuk ke kawasan ini,” kata saya, memberanikan diri. Dalam keadaan terdesak, apa pun mesti dilakukan.
Dia bingung. “Macet begini, Pak?” katanya. Pertanyaannya memang masuk akal. Tetapi, saya tetap harus berangkat. “Nggak apa-apa, kita jalan pelan-pelan, ikuti saja. Yang penting kita bergerak dari sini,” saya menenangkan dia. Saya merasa bersalah karena telah melibatkan dia dalam masalah saya. Sejurus kemudian, ia menoleh ke kiri, kanan, depan, belakang. Ia mencari jalan alternatif. “Oke pak, kita berangkat,” katanya.
Dia memang harus bolak-balik mencari jalan paling memungkinkan untuk bisa bergerak. Sulitnya, jalan-jalan Kota Balikpapan cenderung “linier” alias tidak banyak jalur alternatif. Kami harus menempuh jalan memutar yang agak jauh untuk melepaskan diri dari bebang. Akhirnya, kami berhasil lolos dan tiba di bandara SAMS tepat waktu.
Saya tiba di Bandara Kalimarau di Berau sekitar satu setengah jam kemudian. Sekali lagi, saya terpana. Kali ini oleh Bandara Kalimarau. Di antara hutan-hutan—yang sebagian besar rusak akibat pertambangan—Bandara Kalimarau terlihat mencolok.
Area parkirnya luas dan rapi. Arsitekturnya modern. Rangka-rangka atapnya bergelombang, membentuk siluet karapas penyu. Penyu memang identitas utama daerah dengan destinasi wisata bahari masyhur ini. Interior landside bandara yang resmi beroperasi pada Desember 2012 ini juga megah, setidaknya sebagai sebuah bandara kelas 2.
Tujuan saya adalah ke resor Pulau Nabucco di Maratua lewat Tanjungbatu. Dari Tanjungredeb, perjalanan ke Maratua—yang merupakan bagian dari gugus Kepulauan Derawan—memakan waktu total lima jam, terdiri dari tiga jam perjalanan darat plus dua jam perjalanan laut menggunakan speedboat. “Sebenarnya, bisa lebih singkat jika lewat Sei [Sungai] Segah,” kata Rahman, pemandu saya dalam perjalanan ini.
Jalan aspal ke Tanjungbatu berlubang di sana-sini, sehingga perjalanan selama tiga jam lumayan bikin pusing. Lebih sial lagi, pemandangan di kiri-kanan jalan juga tidak terlalu menarik, hanya hutan yang di beberapa titik terlihat hangus terbakar. “Kenapa tidak ambil jalan sungai saja?” gumam saya.
Sekitar pukul 15.30, saya tiba di Tanjungbatu. Aktivitas sore di dermaga kecil itu sudah meredup. Hanya gemuruh suara mesin speedboat yang akhirnya memecah kesunyian. Sekitar setengah jam perjalanan, kurang lebih hingga di Derawan, ombak masih bersahabat. Akan tetapi, melewati Derawan, keadaannya lain. Laut Sulawesi mengirim ombak besar yang beberapa kali menghantam lambung kapal. Prak…prak…prak! Rasanya seperti baru pertama kali belajar menunggang kuda.
Saya merasa mual. Berkali-kali saya melirik jam, sekadar ingin tahu berapa lama lagi penyiksaan ini berlangsung. Untungnya, kawanan lumba-lumba yang mengiringi kapal dengan begitu gembira berhasil menghibur saya. Setidaknya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mereka menghilang.
Rasa mual saya mulai mereda setelah larik sinar sunset mulai terlihat di cakrawala, dan benar-benar hilang setelah meneguk segelas air kelapa muda yang segar.
Nuansa alami begitu terasa di resor berkelas internasional ini. Saya sempat melihat kepiting kelapa—juga dikenal sebagai ketam kenari—merambati pohon kelapa yang memang asli tumbuh di pulau seluas 20.000 meter persegi dengan nama lokal Pulau Pabahanan ini. Sebagai tempat istirahat, resor ini menyediakan bungalo-bungalo yang didesain menggunakan material kayu lokal, menambah nuansa alami sekaligus keberlanjutan eco resort ini.
“Di sini sepi. Tidak setiap hari ada pengunjung,” ujar Muhadi, yang bertugas menjaga kawasan wisata Pulau Kakaban. “Tidakkah setiap orang yang berkunjung ke Derawan pasti singgah di sini?” tanya saya. Pria berusia 53 tahun itu hanya mengangkat bahunya.
Atraksi utama pulau yang tak berpenghuni manusia ini adalah Danau Kakaban yang menjadi habitat beberapa spesies endemik, salah satunya ubur-ubur yang tidak menyengat. Dari atas dermaga mini, ubur-ubur bahkan sudah dapat dilihat, saking banyaknya. Airnya jernih, dan mengundang siapa pun untuk menceburkan diri. Konon, ia merupakan perpaduan air laut, air tanah, dan air hujan sejak dua juta tahun lalu. Alhasil, airnya lebih tawar dibandingkan air laut di sekitarnya.
Dari Pulau Kakaban, Rahman yang masih menemani perjalanan memberi aba-aba kepada kapten speedboat untuk bertolak ke Sangalaki. “Saatnya kita melihat manta,” katanya. Tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di perairan Pulau Sangalaki. Saya membuka mata lebar-lebar. “Mana manta-nya?” saya menagih Rahman. “Biasanya ada kok,” katanya sambil tersenyum.
Rahman adalah sosok yang menarik. Badannya tinggi besar, perutnya buncit. Ia merupakan tipe pemandu tulen; doyan bercerita, dan pandai berkelit. Misalnya soal manta itu. “Saya tetap harus menjelaskan bahwa biasanya manta menampakkan diri di titik ini, tetapi saya tidak bisa menjamin mereka bakal datang,” ujarnya sambil terbahak-bahak.
Dalam perjalanan kembali ke Berau, jalan berlubang dan berkelok-kelok tidak terasa menyebalkan lagi karena cerita-cerita Rahman. Sebagian lucu, dan sebagian lagi terasa menyentuh. “Saya ini pada dasarnya cuma calo. Saya punya tiga penyewaan mobil, tetapi saya tidak punya mobil. Saya hanya menghubungkan calon pelanggan dengan pemilik mobil, lalu saya ambil komisi. Modal saya cuma website dan laptop yang selalu saya bawa untuk mengecek orderan setiap ada Wi-Fi,” ia menjelaskan rahasianya.
Meski hanya tamatan SMA, pria beranak satu ini punya minat besar terhadap dunia pemasaran, kepemimpinan, dan bisnis. Secara teratur, ia mengikuti pelatihan pemasaran dan motivasi, bahkan hingga ke Jakarta. Ia juga hobi membaca dan mengoleksi buku-buku tentang motivasi dan psikologi. “Saya ini sanguinis sejati, Mas,” katanya sambil tertawa. Saya kaget, ia tahu istilah bagi orang yang mampu menghidupkan suasana.
Hobinya membaca ia tularkan kepada timnya yang seluruhnya berjumlah 20-an orang (meski hanya satu yang ia kontrak sebagai pegawai tetap). “Sekarang amat mudah mencari informasi, tinggal googling, jadi tidak ada alasan untuk tidak membaca. Semakin banyak membaca, akan semakin banyak wawasan, sehingga bisa melayani tamu lebih baik.”
Saat order sepi, Rahman meluangkan waktu bersama teman-temannya untuk bepergian. “Saya sangat suka traveling, terutama ke tempat-tempat yang tenang, seperti perbukitan. Dalam setahun, saya sudah punya daftar destinasi yang ingin saya kunjungi,” katanya.
Menjelang tiba di Kota Berau, Rahman sedikit bernostalgia. “Saya pernah diusir oleh ibu saya, Hajjah Beda, untuk menyusul kakak merantau ke Kalimantan.” Tetapi, ia mengakui, ia merasa beruntung karena pengalaman itu justru membentuknya menjadi pribadi yang mandiri dan kreatif dalam menghadapi tantangan hidup.
-----
FIRMAN FIRDAUS penyuka perjalanan dan fotografi. Lulusan kimia Universitas Indonesia ini kini menjadi editor Fotokita.net, situs web fotografi berbasis komunitas National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler.