Menumpang Pinisi Menghampiri Banggai

By , Kamis, 28 April 2016 | 13:06 WIB

Di haluan KLM Lady Denok, Michael, juru mesin, menggenggam handy talkie (HT). Matanya berusaha fokus ke bawah lambung kapal, menembus laut yang berubah jadi hitam oleh malam. Tubuh si Lady bergetar, diikuti pecah laut di ujung haluan. 

“Yak… si Bongkok (panggilan mesra para ABK untuk jangkar)  sudah mulai terlihat, ganti,” katanya seiring pinisi yang mulai beringsut meninggalkan Teluk Lalong dan hamparan cahaya kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Jam menunjukkan angka  23.45 WITA. Berarti  lebih cepat 15 menit dari waktu yang direncanakan. Dimulailah perjalanan 5 hari memburu gerhana matahari.

“Lady Denok ini kapal wisata yang keseluruhannya milik orang Indonesia. Biasanya pinisi wisata milik asing atau kerjasama dengan asing,” kata I Gede Sumendra, Cruise Director KLM Lady Denok.  Malam itu, kami menuju kesunyian Pulau Peling, kira-kira 4 jam perjalanan dengan kecepatan 4 knot.

Awalnya kapal seberat 114 ton dengan panjang 28 meter ini mengapung tenang. Lantas datang gelombang agak tinggi sekitar 2 jam selepas dari Teluk Lalong. Dini hari itu, sembilan ABK terjaga.  Setengah sadar, saya merasakan tempat tidur terguncang dan tenang kembali menjelang fajar, seolah laut tak pernah bergejolak.

Pagi belumlah usai. Matahari baru saja keluar dari tempat peristirahatannya. Namun kami harus berpindah ke pulau lain.

 “Kita cari pulau lain saja, karena kemungkinan Pulau Peling tertutup awan,” kata Lapana, Kapten KLM Lady Denok. Lapana adalah laki-laki 50 tahun, bertubuh liat, melaut dari kecil. Pada masa mudanya, ia membawa kapal kopra dari Luwuk ke Surabaya. Dengan laut, ia berkawan akrab.

Menjelang pukul 07.00 WITA, speedboat mengantar kami ke sebuah pantai yang memungkinkan melihat matahari tanpa terhalang, sementara pinisi menautkan jangkar di permukaan air yang lebih dalam. Gede menyebutnya sebagai Pulau Balantak, tepatnya salah satu pantai di Kecamatan Balantak, Kabupaten Banggai, masih satu kabupaten dengan Teluk Lalong. Pantai ini berada di sisi timur laut Pulau Sulawesi.

Tak banyak orang yang datang ke tempat itu, kecuali anak-anak yang mengaku dari desa dekat pantai. Mereka datang mengendarai sepeda dan sepeda motor untuk melihat gerhana matahari. Menarik melihat tingkah laku anak usia SD ini. Rupanya mereka sudah mendapatkan pengetahuan dari gurunya untuk tidak secara langsung melihat gerhana matahari. Salah satu dari mereka memberanikan diri meminjam kacamata gerhana kami, lantas mengenakannya bergantian.

Keriuhan terjadi ketika matahari tertutup bulan, pada pukul 8.48 WITA. Pantai temaram, tidak gelap total seperti bayangan saya sebelumnya. Laut berubah warna jadi kelabu, namun masih menyisakan kilauan sinar matahari. Keindahan itu berlangsung dalam hitungan detik, sampai kemudian korona pecah sangat menyilaukan. Konon peristiwa ini hanya bisa berulang ratusan tahun yang akan datang.

Saatnya menikmati kekayaan hayati pulau ini. Begitulah keinginan saya selepas menyaksikan gerhana matahari. Salah satunya mengais jejak maleo senkawor atau maleo, burung endemik Sulawesi dan Pulau Buton.

“Di sini dulu sering terlihat maleo, jalan-jalan di pasir,” kata Gede sambil mendekatkan speedboat ke tempat kami berdiri. Gede, yang akan menemani kami selama 5 hari pelayaran ini juga seorang penyelam yang merantau dari Bali dan sudah tinggal lebih dari 20 tahun di Luwuk. Sampai kami meninggalkan pantai itu, tak ada satu pun burung, apalagi maleo terlihat.

Memang sejak puluhan tahun lalu, populasi Maleo di alam liar terus menurun.  Bahkan menurut data IUCN, kini populasinya berkisar 12.000 -21.000 ekor.  Wajar untuk berjumpa dengannya, tak semudah kita menemukan papan nama “Jangan Membeli Telur Maleo” di Bandara Syukuran Aminuddin, Luwuk.

Tak berhasil menemukan maleo, Gede mencoba beberapa titik lokasi penyelaman di sepanjang jalur yang akan dilalui pinisi. Ia berharap bisa menemukan titik selam menarik, termasuk merekam aktivitas ikan kardinal banggai, satwa laut yang hanya dijumpai di Kepulauan Banggai. Ikan ini biasanya berenang secara berkelompok di terumbu karang. Terkadang menyamar di antara bulu babi. “Di sini banyak spot diving yang belum banyak diselami. Saya juga baru survei,” kata Gede.