Menumpang Pinisi Menghampiri Banggai

By , Kamis, 28 April 2016 | 13:06 WIB

Sementara itu, pinisi mulai bergerak lagi ke arah Selatan dari perairan Balantak, menuju Pulau Peposo dan Pulau Lesampuang, kepulauan dalam wilayah administratif Kabupaten Banggai Kepulauan. Betapa indahnya menyusuri pulau-pulaunya, yang bahkan global positioning system (GPS) pun menyerah. Terbukti alat yang ada di ruang kemudi tersebut kerap mengeluarkan tanda “tidak ada sinyal” dan tak mampu “menyebutkan nama” pulau-pulau tersebut.

Siang itu, kecepatan rata-rata kapal  9-11 knot. Kemudian para ABK berikat kepala segitiga ala busana tradisional Bugis itu membentangkan layar. “Layar yang ada di sini jarang dipakai. Kapal ini digerakkan dengan mesin,” kata Lapana.

Tapi pinisi tanpa layar terbentang rasanya kurang afdol.  Ibarat tarian tanpa musik, bukan?

Sungguh menakjubkan perjalanan ini. Langit bergulung awan serupa kapas. Pinisi yang saya tumpangi melenggang laksana bidadari dengan segala keanggunannya. Kami pun bertemu pelangi yang melengkung setengah lingkaran, dengan warna berlapis tak mudah pudar.

Tak hanya pelangi, bahkan 6 ekor  lumba-lumba pun seolah menyambut kedatangan kami. Mereka berenang beriringan, sesekali melompat melewati kanan dan kiri haluan. Lumba-lumba terlihat sebagai makhluk yang selalu bergembira di laut lepas. “Kami para pelaut percaya, kalau melaut diikuti lumba-lumba, maka pelayaran itu akan selamat,” kata Gede sambil menunjuk ke arah haluan.

Usai terpesona oleh rombongan lumba-lumba, mendekatlah sebuah sampan dengan seorang lelaki berdiri tegak mendayungnya. Muatannya, bubu (perangkap ikan dari bambu) yang kosong dan 4 ekor gurita berukuran besar. Ia menunjukkan hasil buruannya dan menawarkan untuk kami bawa secara cuma-cuma. Bagi para pelaut, memberi beberapa ekor ikan sama dengan mengucapkan “Apa Kabar” pada orang yang baru dikenal.

Tak banyak peman­dangan bawah laut yang saya lihat di dekat Pulau Peposo, kecuali Gede yang menyelam agak jauh dari garis pantai. Ia menemukan spot diving dengan banyak sekali jenis ikan. “Ribuan!” serunya.

Beberapa sisi tampak hamparan lamun yang menjadi makanan favorit duyung. Sementara sisi yang lain, Gede menemukan blue black tiger fish dalam jumlah yang sangat banyak dan juga karang lunak  dengan warna memikat. Sementara, saya cukup menikmati pemandangan di atas air. Ada dua pulau berdekatan, yang satu ditumbuhi dengan kelapa. Sedangkan pulau satunya dilingkupi tumbuhan heterogen, dari ragam jenis bakau hingga tanaman merambat. Juga rumah panggung  menghadap laut menjadi pemandangan gugusan Pulau Peposo.

Rumah panggung ini jadi tempat persinggahan nelayan. Bagi nelayan, istilah singgah bukan hanya beberapa jam seperti yang saya lakukan. Persinggahan nelayan bisa berarti minggu bahkan bulan. Bukan hal garib, jika banyak perabotan memasak di rumah panggung itu. Saya bertemu nelayan yang singgah. Bule, nelayan  berusia di atas 60 tahun berkulit mengilap khas orang-orang laut. “Saya mencari kerang. Silakan kalau mau ambil. Saya tinggal di sini, kadang sampai 3 bulan,” katanya sambil menumpuk kerang sebesar telapak tangan.

Pulau Lesampuang menampilkan wajah berbeda. Saya mengunjunginya di hari ke-4 sembari menuju perjalanan pulang. Dari jauh, pulau berpasir putih itu tampak mengapung sendirian, cantik, dan memikat. Aroma ikan bakar mengambang bercampur aroma asin air laut. Saat saya mendekat, ternyata bukan ikan, melainkan teripang yang tengah dipanggang nelayan yang sedang singgah. Mereka menanak nasi dengan ketel sembari memanggang teripang untuk makan siang di gubuk menghadap laut.

Puluhan meter dari garis pantai, tampak hamparan terumbu karang. Bintang laut beraneka warna tampak di dasar pasir. Saya menemukan bintang laut biru, chocolate chip sea star, dan juga jenis linckia lain berwarna krem. Salah seorang penumpang pinisi yang mendayung kayak takjub melihat banyak bintang laut tersebar. Ragu ia menyentuhnya. Hari itu adalah pengalaman pertamanya, menyentuh bintang laut.

Beberapa orang tampak mencari keong segitiga yang terselip di antara pasir untuk dikonsumsi. Saya menjumpai dua perempuan mengambil keong dengan tangannya. Dan, dalam beberapa jam saja, sudah mendapatkan dua keranjang besar penuh keong.

Gede memilih sisi agak jauh. Ternyata setelah hamparan karang, terdapat tebing. Di tempat ini warna laut berubah drastis dari hijau toska menjadi biru gelap. Di tebing itu Gede menyelam. Ia menemukan banyak ikan karang dan dinding yang dipenuhi pemandangan terumbu karang nan indah.

Selama 25 tahun jadi penyelam, Gede mengakui sepanjang Selat Peling masih sedikit yang telah ia selami. Baginya, setiap spot diving adalah lembaran baru yang selalu menampilkan kisah berbeda. Sebagaimana rute KLM Lady Denok yang  mencari titik-titik penyelaman luar biasa, untuk dikisahkan kembali agar dikenal lebih luas oleh masyarakat. Kali ini giliran saya yang menceritakannya.

--------

TITIK KARTITIANI menggemari tema budaya dan lingkungan hidup. Salah seo­rang pendiri www.theactualstyle.com dan www.foksijatim.com. Kisahnya “Keindahan Pulau yang Terbuang” terbit di majalah ini pada edisi Maret.