Impian Menggapai Awan Bersama Si Capung

By , Senin, 16 Mei 2016 | 16:25 WIB

“Papa Kilo Sierra Zero Seven Seven. Wind calm. Continue to take-off. Right turn after”, demikian petunjuk Air Traffic Control (ATC) kepada kami. Deru mesin Rotax 582 meluncurkan pesawat trike kami dari Airstrip Lido. Kami mengudara, menjemput matahari pagi! Boys only dream, but man really fly...

Setiap orang mungkin punya mimpi untuk terbang. Peradaban terdahulu telah menorehkan impian-impian terbangnya meski dengan karya belum sempurna. Salah satunya Leonardo da Vinci yang dikenal orang sebagai pendesain mesin terbang pengangkut manusia pada abad pertengahan. Seperti da Vinci, saya pun punya impian suatu saat bisa menerbangkan pesawat sendiri.

Pagi itu saya dan Sang pilot kampiun, Edgar Ekaputra, berencana terbang ke arah Utara menuju Sentul lewat Rancamaya, kira-kira sejauh 18 km. Edgar adalah penerbang gantole yang telah 27 tahun berpengalaman menerbangkan trike. Boleh dibilang dia adalah orang Indonesia pertama yang menekuni cabang olahraga gantole bermesin ini. Terus terang hal itu membuat saya merasa lebih aman kala mengangkasa bersamanya. Maklum, inilah kali pertama saya terbang dengan pesawat mungil ini.

Cuaca akhir-akhir ini memang cepat sekali berubah. Rencana terbang ini sempat tertunda selama seminggu lantaran kendala angin. Karenanya, kami menyiasati terbang lebih pagi lagi untuk mendapatkan cuaca lebih tenang. Beruntunglah, meski pagi itu Jakarta diguyur hujan gerimis,  cuaca Lido cukup cerah dengan kecepatan angin masih di batas aman untuk penerbangan, sekitar 10 km/jam.

“Semuanya terlihat indah”, itulah percakapan pembuka saya lewat microphone yang tersemat di depan bibir. “Ya, memang! It’s another new world”, sahut Edgar dari kokpit depan.

Trike yang dibeli Edgar seharga AUD 28 ribu pada 1999 ini mulai menanjak dan memutar ke arah utara. Berbeda dengan pesawat pada umumnya, pengendalian trike mirip dengan gantole, yaitu menggunakan sistem Weight-Shift Control (WSC), kendali melalui perpindahan beban. Lebih aman daripada pesawat terbang karena tidak perlu di tune-in.

“Lihat horizon dulu. Kalau sudah tenang, pelan-pelan lihat ke bawah”, demikian salah satu materi briefing yang disampaikan Edgar seminggu lalu kepada saya dan rekan-rekan penerbang gantole pemula untuk mengatasi rasa gugup di ketinggian. Benar saja, hijaunya Danau Lido terlihat lebih memesona dengan kilauan mentari kala dipandang dari ketinggian. Pohon-pohon di sekitarnya pun lebih mirip dengan brokoli yang tersusun rapi menyelimuti kontur tanah. “Semuanya terlihat indah”, itulah percakapan pembuka saya lewat microphone yang tersemat di depan bibir. “Ya, memang! It’s another new world”, sahut Edgar dari kokpit depan.

Terpaan dinginnya angin pagi mengguncang badan trike ketika merambah langit Rancamaya.  “Ini biasa saja, di sini memang sering terjadi turbulence”, jelas Edgar menenangkan. Inilah pentingnya melihat rute simulasi sebelum terbang, kita akan lebih siap dengan kondisi geografis yang mempengaruhi penerbangan. Rancamaya, juga Lido dan sekitarnya, terletak di antara dua gunung yang menyebabkan seringnya terjadi turbulensi di wilayah ini. Bersama kami melintasi kabut tipis dan menikmati keindahan panorama dengan alunan musik.

Kami telah memasuki wilayah udara Lanud Militer Atang Senjaya. “Please establish contact to Atang Senjaya”, petugas ATC Lido mengingatkan. Pilot segera melakukan hubungan kontak dengan Atang Senjaya dan melaporkan identitas pesawat dan posisi kami. Selalu terhubung dengan otorisasi wilayah udara wajib dilakukan selama terbang. Jika sampai tak terpantau, selain menyalahi aturan, hal itu juga membahayakan jiwa penerbang sendiri dan pemakai transport udara lainnya.  

Saya melirik satu persatu instrumen yang terpasang di dashboard. Gantole bermotor ini terus melaju dengan kecepatan rata-rata 40 mil/jam. Layar GPS menunjukkan angka 2806 kaki. Saat melintas angkasa pinggiran Kota Bogor, kegugupan saya diketinggian seolah sirna ketika menyaksikan keindahan bentang alam antara Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango. Tampak kejauhan bangunan putih ditengah rerimbunan hijaunya pohon, “Itu Istana Bogor!”, seru Edgar sambil menunjuk arah kiri kami. “Tapi itu restricted area ya, kita ngga boleh terbang di atasnya”, tegasnya. Memang ada beberapa wilayah larangan terbang permanen yang harus dipatuhi, seperti instalasi militer, istana atau kediaman presiden.  Sesaat kemudian kami terbang melintas tol Jagorawi yang pagi itu tampak lengang, biasalah Minggu pagi.

Pilot harus menjaga ketinggian kala memasuki daerah perumahan sekitar Sentul. Jangan sampai terlena menikmati terbang rendah karena di depan terdapat menara-menara yang menjulang dengan rangkaian kabel tegangang tingginya. Kami melakukan manuver sambil mengitari sebuah lapangan baseball dua kali. Pada manuver kedua, ketinggian lebih rendah, sehingga kami bisa melambaikan tangan kepada wajah-wajah keheranan para pemain baseball.

Gumpalan awan di kedua gunung yang mengapit kami mulai terlihat ketika kami bertolak menuju Lido. “Tuh lihat. Ini pertanda akan terjadi hujan”, tutur Edgar yang mengaku bisa ‘berbicara dengan awan’ ini. Sebenarnya alam selalu memberikan sinyal yang menentukan apakah kita tetap terbang atau harus mendarat. Pembentukan dari awan sampai hujan, bahkan badai, selalu melewati suatu proses yang bisa diamati, tidak terjadi begitu saja. Setiap penerbang mutlak mengetahui jenis-jenis awan dari yang berkategori ringan sampai berat, dari cirrus sampai comulo-nimbus.

Dari radio terdengar informasi Lanud Militer Atang Senjaya bahwa akan ada pesawat Cessna 172 Skyhawk berkabin 4 orang melintas dari arah Lido menuju ke arah kami. Kami pun membalas dengan menginformasikan bahwa ketinggan gantole bermesin ini di bawah 2000 kaki. Sekali lagi, inilah  pentingnya komunikasi dengan ATC.

Kode “17” di ujung airstrip Lido mulai terlihat. Kami pun bersiap landing dari arah Utara landasan setelah mendapat izin dari ATC.  “Mas, apakah jadi mendarat dengan engine off?”, tanya saya ke Edgar sekaligus ingin membuktikan bahwa meski di angkasa dengan mesin mati pun trike tetap terbang aman.“Oh, boleh. Siap ya?”, jawab Edgar sambil mematikan mesin. Saya berdebar. Kini trike berubah menjadi glider yang meluncur mendekati airstrip. Landing memang lebih sulit dan lebih beresiko dibandingkan take off. Saat take off, pilot punya alternatif untuk membatalkan. Namun ketika landing –hanya ada satu kesempatan– pilot tak ada alternatif lain.