Sebelum dibuat melalui cetakan seperti yang saya lihat di To’ Barana, ternyata, dahulu sarita pernah dibuat melalui teknik lain juga. Sejak 1880 sarita telah diproduksi oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Van Vlissingen and Co., Ltd, yang berarti, setidaknya mereka mungkin telah tiba di Toraja pada tahun yang sama – dua puluh enam tahun sebelum Toraja dijajah oleh bangsa Belanda. Kontak dilakukan antara penjual Belanda dan dealer dari Bugis. Penjualan ini dilakukan hingga tahun 1930, ketika ekonomi dunia sedang berada dalam krisis.
Sarita produksi Belanda menggunakan teknik block-print. Pada teknik ini pasta perintang dicetak pada cetakan kayu, kemudian diterapkan ke permukaan kain lalu kain diwarnai dengan pewarna indigo. Walaupun dilakukan dengan teknik yang berbeda, kain yang dihasilkan tetap mirip.
Selain Belanda, pengaruh lain juga memainkan peran pada perkembangan sarita. Jika kita lihat bentuk ragam hias yang ada pada sarita, beberapa di antaranya terlihat seperti tidak asing, seperti yang ada pada batik Jawa. Motif tumpal (segitiga) yang ada di ujung-ujung kain dan swastika. Sungguh seperti batik. Ada juga ragam hias don bolu (daun sirih, dalam kosa kata Toraja) yang terlihat seperti motif paisley dari India. Dalam tulisannya, Palm menyebutkan bahwa masyarakat Toraja memiliki istilah “sarita to lambang” yang berarti, sarita dibawa oleh orang-orang yang menyebrangi sungai. Istilah ini memunculkan interpretasi bahwa sarita berasal dari luar Toraja.
Melihat ke belakang, sejak abad ke-8, pelayaran dari Sulawesi sudah dilakukan ke daerah Jawa, dan beberapa pelabuhan di Asia Tenggara, bahkan ke India. Dengan orang-orang Arab dan Cina, mereka melakukan pertukaran rempah-rempah, kain, hasil hutan, senjata, keramik, manik-manik, dan barang lainnya. Pada abad ke-15, bangsa Eropa memasuki wilayah Nusantara, dengan maksud untuk memonopoli daerah ini. Kedatangan bangsa Eropa ini tidak lantas membuat kegiatan barter orang-orang Sulawesi berhenti. Kain-kain dari India, koin Belanda dari VOC, manik-manik dan yang lainnya, tetap ditukarkan dari Makassar ke bagian dalam Pulau Sulawesi, hingga sekitar tahun 1602. Dari sinilah diasumsikan kain-kain dengan pengaruh India ini masuk ke Toraja, dan memberikan pengaruh pada kebudayaan kain Toraja.
Selain terlihat pada penggambaran kain, penggunaan istilah Hindu, deata, digunakan untuk menyebut zat Yang Maha Kuasa pada kepercayaan Aluk To Dolo (aliran kepercayaan yang dianut suku Toraja). Hal ini menjadi bukti pendukung lainnya, bahwa kebudayaan Toraja dipengaruhi Hindu, walaupun hanya pengaruh minor.
Saat ini, kain-kain sarita yang otentik ditemukan sebagai koleksi museum dan kolektor, sangat jarang ditemui beredar di antara masyarakat. Di Toraja Utara, kita dapat menemukan kain ini di Museum Kete’ Kesu, tetapi karena umurnya yang begitu tua, dan perawatan yang kurang baik, kain ini menjadi lusuh dan rapuh.
Selain jarang ditemukan, penggunaannya yang sakral di berbagai upacara-upacara pun tidak lagi ditemukan menggunakan kain yang otentik, fungsinya telah tergantikan, atau malah justru hilang. Palm dalam tulisannya juga berkata bahwa boleh jadi kristenisasi massal masyarakat Torajalah yang membuat masyarakat semakin meninggalkan penggunaan sarita. Di beberapa kejadian, bahkan sarita yang nilainya sangat tinggi, berakhir dengan dijual sebagai barang antik, dari sinilah berbagai kolektor mendapatkan kain istimewa ini.
Dalam rangka menghidupkan kembali “batik Toraja” ini, pada 2012, Kementerian Pariwisata telah melakukan riset, pelatihan, promosi budaya dan pengembangan ekonomi kreatif batik di Toraja Utara. Pelatihan pembuatan kain ini dilakukan di beberapa kecamatan. Teknik yang digunakan adalah teknik batik tulis dengan menggunakan bambu sebagai kuasnya, dan bahan pewarnanya pun, di beberapa daerah, menggunakan pewarna alam, yaitu ekstrak daun indigo, selayaknya pembuatan sarita di masa lampau. Walaupun begitu, di beberapa daerah pembuatan sarita yang baru ini dilakukan dengan teknik sablon, stensil, serta print dengan pewarna sintetis.
Sarita bukanlah hanya selembar kain. Sarita merupakan saksi sejarah berbagai perkembangan budaya Toraja. Segala pengaruh yang ia serap baik secara visual maupun dari segi cara pembuatannya mengisahkan perjalanannya yang kaya. Boleh jadi ia masih memiliki perjalanan untuk dilanjutkan, boleh jadi juga perjalanannya pada suatu titik harus berakhir.
Terkadang, konservasi sebuah artefak kebudayaan tidak melulu tentang bagaimana sebuah artefak tetap dapat hidup beriringan dengan kehidupan saat ini, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat tetap hidup beriringan dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh nenek moyang melalui artefak budaya. Nilai inilah yang tidak berganti seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi pada artefak budaya. Sarita seharusnya juga dikonservasi tidak hanya dari cara pembuatannya saja, tetapi juga dari nilai luhur yang ada di dalamnya.