Saya disambut dengan pemandangan yang cukup unik saat tiba di sentra kain To’ Barana. Rumah kayu yang digunakan untuk berjualan kain berjejeran menghadap ke Tongkonan, rumah adat Toraja, dan di sampingnya berjejer pula beberapa bilik-bilik bambu yang ditutupi kain berwarna hitam dan merah. Bentuknya seperti saung. Beberapa tumpukan sampah berserakan di pinggir jalan. Sepi. Tidak seperti tempat sentra suvenir yang biasanya dikunjungi banyak turis. Beberapa wanita paruh baya berjalan ke arah yang berlawanan dengan saya, mengenakan atasan hitam dan sarung hitam, rambut disanggul rapi, menggunakan kalung manik-manik berwarna merah-kuning. Mereka terlihat hendak pulang. Pemandangan ini rasanya seperti sebuah pesta besar baru saja berakhir.
Di depan bilik bambu yang berjejeran, terdapat sebuah rumah. Saya mengetuk pintu. Lalu tak lama, seorang wanita paruh baya bertubuh besar membukakan pintu, seolah sudah menunggu saya sedari tadi. Ia mempersilakan saya masuk dan beristirahat setelah perjalanan 8 jam dari Makassar.
“Kami baru saja selesai melakukan pesta mati. Bilik-bilik bambu yang sudah dibangun itu digunakan untuk tamu-tamu menginap. Besok orang mati yang lain akan dibawa ke mari untuk diupacarakan”. Namanya Angel, perempuan yang saya jumpai itu. Ia adalah salah seorang anggota keluarga yang tinggal di rumah keluarga di daerah To’ Barana. “Di Toraja, kalau seseorang meninggal maka diadakanlah sebuah pesta”, lanjutnya. Kami berbincang seraya ia menyuguhkan teh dan camilan.
Sebelum akhirnya saya tiba di To’ Barana, Sa’dan, ekspektasi saya melambung tinggi terhadap pusat kain di Toraja Utara ini. Saya berpikir bahwa saya akan menemukan banyak sekali kain-kain otentik hasil budaya tradisional Toraja, seperti yang telah saya lihat sebelumnya melalui literatur-literatur antropologi tentang kehidupan tradisional Toraja dan museum-museum. Hingga akhirnya saya tiba di daerah dataran tinggi tersebut.
Di sore hari, saya masuk ke dalam rumah-rumah kayu tersebut. Di salah satu rumah kayu terdapat beberapa orang perempuan sedang sibuk melipat kertas. Saya disambut hangat oleh seorang ibu yang berbicara dengan logat Betawi yang kental. Mama Ari panggilannya. Ia ternyata seorang perempuan Jawa yang telah lama tinggal di Jakarta. Setelah menikahi seorang pria Toraja, ia memilih menetap di Toraja Utara. “Kertas ini kami lipat untuk dijadikan wadah hidangan tamu-tamu yang akan datang ke pesta mati besok. Yang datang banyak sekali, jadi kami tidak punya banyak waktu menyiapkan dan mencuci piring” ujarnya. Mama Ari lalu menawarkan kain-kain usaha keluarganya ini kepada saya.
Sambil saya melihat-lihat kain yang terpajang di dinding. Mama Ari mengeluarkan kain tenun polos buatan penenun setempat, dan tenun ikat buatan Mamasa (Sulawesi Barat). Ia juga mengeluarkan beberapa kain yang sangat berbeda dengan apa yang saya lihat di buku-buku tentang kain Toraja: kain buatan Bali, Sumba dan Jepara. Saya kemudian melihat sebuah kain berwarna putih-biru, yang rasanya pernah saya lihat sebelumnya “Nah, kalau yang itu namanya kain sarita” ujar seorang penjual kain lainnya yang melihat saya memegang kain itu.
Sebelum tiba di Toraja Utara, untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai kain Toraja, saya memutuskan pergi ke perpustakaan Museum Nasional. Di pojok rak di ruangan sepi lantai 6 Museum Nasional ini, saya menemukan beberapa buku yang membantu saya. Salah satunya tentang kumpulan hasil kajian tentang kain Indonesia, berjudul To Speak with Cloth. Di dalamnya terdapat sebuah tulisan yang belum pernah saya temukan sebelumnya, karya Hetty-Nooy Palm, seorang peneliti kain Indonesia dari Delft, Belanda. Dalam tulisan berjudul The Sacred Cloth: Unanswered Questions ini dijelaskan bahwa terdapat sebuah kain bernama sarita, nama yang sama dengan kain yang disebutkan sang penjual kain. Kain tradisional ini merupakan kain Toraja yang dibuat dengan teknik celup rintang, sebuah teknik membuat motif pada kain dengan cara menutup sebagian kain dengan perintang, salah satu jenis teknik celup rintang adalah batik, dengan cara penorehan malam panas pada kain.
Secara teknik pembuatan, sarita memiliki konsep pembuatan yang sama dengan batik. Perbedaan antara batik sarita dengan batik di Jawa selain pada motif juga pada penggunaan bahan perintangnya. Masyarakat Toraja menggunakan malam lebah yang dilelehkan pada suhu tinggi atau bubur tepung beras untuk merintangi kainnya. Pada literatur lainnya dijelaskan juga bahwa masyarakat Toraja menggunakan ekstrak kayu damar yang berkarakter seperti resin sebagai bahan perintang kain.
Untuk menoreh perintang pada kain, berbeda dengan di Jawa, suku Toraja menggunakan bambu yang bertindak selayaknya canting atau kuas. Untuk pewarna kain, hitam yang terdapat pada sarita dihasilkan dari lumpur, dan warna biru dihasilkan dari ekstrak daun indigo.
Palm dalam karyanya menuliskan, “Sarita dihormati oleh masyarakat Toraja sebagai kain bertuah. Kain ini digunakan untuk berbagai fungsi: ikat kepala bangsawan, dipasang di rumah keluarga keturunan leluhur sebagai panji pada upacara adat, sebagai rok lebar bagi wanita yang dikenakan pada acara adat,” bahkan di sebuah sumber lainnya disebutkan bahwa kain ini juga digunakan sebagai pengusir roh jahat.
Sarita digunakan dalam berbagai macam upacara. Salah satunya adalah dalam upacara “merenovasi” rumah adat, tongkonan. Bahkan perbaikan atap dianggap sebagai sebuah kegiatan yang perlu diupacarakan dalam perayaan besar. Sarita digunakan sebagai dekorasi pada upacara ini. Penggunaan lainnya adalah dalam ritual upacara kematian. Sarita diletakkan pada jenazah atau digunakan untuk menjadi ikat kepala patung tau-tau yang merepresentasikan diri orang yang meninggal. Fungsi kain ini beragam, tergantung konteks ritual dan tradisi lokal sebuah daerah.
Selain membaca lewat buku, di Museum Nasional saya juga melihat langsung sarita secara fisik. Kain ini memiliki ukuran sekitar 500 x 40 cm. Pada motifnya, garis putih pembuat motif digambarkan dengan ukuran tebal dan tegas, dengan ujung garis seperti lingkaran. Kain ini berlatarbelakang warna biru laut. Motifnya geometris seperti motif tumpal bersusun dan di beberapa bagian menggambarkan bentuk-bentuk organik seperti daun sirih, cangkang kerang, dan kecebong.
Lantas, saya cukup kaget melihat kain yang dikatakan oleh penjual kain di To’ Barana adalah sarita. Berbeda dengan yang saya lihat di Museum Nasional, kain ini bertekstur agak lebih kaku dan kasar, sedangkan yang saya lihat di Museum Nasional terlihat lebih tipis, ukurannya tidak sepanjang yang ada di Museum Nasional. Kain ini terlihat seperti hasil cetakan, karena bagian belakangnya tidak tembus warna. Beberapa ragam hiasnya sama seperti yang saya lihat di Museum Nasional, ataupun buku-buku tentang kain Toraja, seperti: gambar manusia dan kerbau, dihiasi elemen-elemen dekorasi seperti ayam dan tumpal (potongan bambu), tetapi kelihatannya telah melalui proses digitalisasi sebelumnya. Ketika saya tanyakan kepada sang penjual mengenai asal kain yang ia jual, ia tidak tahu di mana tempat pembuatan kain tersebut.
Sebelum dibuat melalui cetakan seperti yang saya lihat di To’ Barana, ternyata, dahulu sarita pernah dibuat melalui teknik lain juga. Sejak 1880 sarita telah diproduksi oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Van Vlissingen and Co., Ltd, yang berarti, setidaknya mereka mungkin telah tiba di Toraja pada tahun yang sama – dua puluh enam tahun sebelum Toraja dijajah oleh bangsa Belanda. Kontak dilakukan antara penjual Belanda dan dealer dari Bugis. Penjualan ini dilakukan hingga tahun 1930, ketika ekonomi dunia sedang berada dalam krisis.
Sarita produksi Belanda menggunakan teknik block-print. Pada teknik ini pasta perintang dicetak pada cetakan kayu, kemudian diterapkan ke permukaan kain lalu kain diwarnai dengan pewarna indigo. Walaupun dilakukan dengan teknik yang berbeda, kain yang dihasilkan tetap mirip.
Selain Belanda, pengaruh lain juga memainkan peran pada perkembangan sarita. Jika kita lihat bentuk ragam hias yang ada pada sarita, beberapa di antaranya terlihat seperti tidak asing, seperti yang ada pada batik Jawa. Motif tumpal (segitiga) yang ada di ujung-ujung kain dan swastika. Sungguh seperti batik. Ada juga ragam hias don bolu (daun sirih, dalam kosa kata Toraja) yang terlihat seperti motif paisley dari India. Dalam tulisannya, Palm menyebutkan bahwa masyarakat Toraja memiliki istilah “sarita to lambang” yang berarti, sarita dibawa oleh orang-orang yang menyebrangi sungai. Istilah ini memunculkan interpretasi bahwa sarita berasal dari luar Toraja.
Melihat ke belakang, sejak abad ke-8, pelayaran dari Sulawesi sudah dilakukan ke daerah Jawa, dan beberapa pelabuhan di Asia Tenggara, bahkan ke India. Dengan orang-orang Arab dan Cina, mereka melakukan pertukaran rempah-rempah, kain, hasil hutan, senjata, keramik, manik-manik, dan barang lainnya. Pada abad ke-15, bangsa Eropa memasuki wilayah Nusantara, dengan maksud untuk memonopoli daerah ini. Kedatangan bangsa Eropa ini tidak lantas membuat kegiatan barter orang-orang Sulawesi berhenti. Kain-kain dari India, koin Belanda dari VOC, manik-manik dan yang lainnya, tetap ditukarkan dari Makassar ke bagian dalam Pulau Sulawesi, hingga sekitar tahun 1602. Dari sinilah diasumsikan kain-kain dengan pengaruh India ini masuk ke Toraja, dan memberikan pengaruh pada kebudayaan kain Toraja.
Selain terlihat pada penggambaran kain, penggunaan istilah Hindu, deata, digunakan untuk menyebut zat Yang Maha Kuasa pada kepercayaan Aluk To Dolo (aliran kepercayaan yang dianut suku Toraja). Hal ini menjadi bukti pendukung lainnya, bahwa kebudayaan Toraja dipengaruhi Hindu, walaupun hanya pengaruh minor.
Saat ini, kain-kain sarita yang otentik ditemukan sebagai koleksi museum dan kolektor, sangat jarang ditemui beredar di antara masyarakat. Di Toraja Utara, kita dapat menemukan kain ini di Museum Kete’ Kesu, tetapi karena umurnya yang begitu tua, dan perawatan yang kurang baik, kain ini menjadi lusuh dan rapuh.
Selain jarang ditemukan, penggunaannya yang sakral di berbagai upacara-upacara pun tidak lagi ditemukan menggunakan kain yang otentik, fungsinya telah tergantikan, atau malah justru hilang. Palm dalam tulisannya juga berkata bahwa boleh jadi kristenisasi massal masyarakat Torajalah yang membuat masyarakat semakin meninggalkan penggunaan sarita. Di beberapa kejadian, bahkan sarita yang nilainya sangat tinggi, berakhir dengan dijual sebagai barang antik, dari sinilah berbagai kolektor mendapatkan kain istimewa ini.
Dalam rangka menghidupkan kembali “batik Toraja” ini, pada 2012, Kementerian Pariwisata telah melakukan riset, pelatihan, promosi budaya dan pengembangan ekonomi kreatif batik di Toraja Utara. Pelatihan pembuatan kain ini dilakukan di beberapa kecamatan. Teknik yang digunakan adalah teknik batik tulis dengan menggunakan bambu sebagai kuasnya, dan bahan pewarnanya pun, di beberapa daerah, menggunakan pewarna alam, yaitu ekstrak daun indigo, selayaknya pembuatan sarita di masa lampau. Walaupun begitu, di beberapa daerah pembuatan sarita yang baru ini dilakukan dengan teknik sablon, stensil, serta print dengan pewarna sintetis.
Sarita bukanlah hanya selembar kain. Sarita merupakan saksi sejarah berbagai perkembangan budaya Toraja. Segala pengaruh yang ia serap baik secara visual maupun dari segi cara pembuatannya mengisahkan perjalanannya yang kaya. Boleh jadi ia masih memiliki perjalanan untuk dilanjutkan, boleh jadi juga perjalanannya pada suatu titik harus berakhir.
Terkadang, konservasi sebuah artefak kebudayaan tidak melulu tentang bagaimana sebuah artefak tetap dapat hidup beriringan dengan kehidupan saat ini, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat tetap hidup beriringan dengan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh nenek moyang melalui artefak budaya. Nilai inilah yang tidak berganti seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi pada artefak budaya. Sarita seharusnya juga dikonservasi tidak hanya dari cara pembuatannya saja, tetapi juga dari nilai luhur yang ada di dalamnya.