Merentang Asa dari Lereng Ranti

By , Kamis, 28 Juli 2016 | 06:00 WIB

Masih ingat lelaki bernama Tuhan dari Banyuwangi? Ia berasal dari desa Kluncing kecamatan Licin yang terpencil.

Coba bayangkan! Ada sebuah kecamatan di kaki gunung berapi Ijen Banyuwangi bernama Licin. Karena di kaki gunung, tempatnya tinggi dan menanjak. Di sebuah pertigaan tepat di dekat kecamatan, terdapat penanda, ke kanan ke Gunung Ijen, dan ke kiri ke arah Segobang. Kalau diikuti, jalan ke kiri itu juga naik turun dua tiga kali dengan kemiringan jalan kira-kira 45 derajat.

Setelah dua kilometer melewati jalan aspal tersebut, terdapat jalan desa, jalan tanah yang sebagiannya tertutup bongkahan bebatuan. Jalan tanah yang becek saat hujan dan berdebu saat kemarau itu membentang sepanjang 4.600 meter. Jalan tersebut tak bisa dilalui kendaraan roda empat. Pada saat musim hujan, sepeda motor tak bisa dinaiki, bahkan sepeda mesti dipikul. Banyak penduduk, terutama anak-anak sekolah, harus menitipkan sepedanya di desa sebelah yang jalannya lebih baik, Desa Rembang, tapi dipisahkan sungai.

Di ujung jalan itulah terdapat Dusun Randu Agung, kecamatan Licin. Penduduknya seperti dalam sebuah gang buntu, dead end, sebuah cul de sac. Jalanannya tak akan dilewati orang kecuali punya tujuan mengunjungi seseorang di dusun itu. Padahal sawah-sawahnya indah bukan kepalang, pematangnya bersusun, menakjubkan. Keterasingan membuat keindahan ini menjadi sesuatu yang terlewatkan sia-sia. Ada saatnya berpetak-petak sawah yang berdampingan kiri kanan, dibatasi pematang yang di tengahnya menjulang beberapa pohon kelapa, terlihat hijau menenangkan mata. Dari kejauhan, sawah-sawah itu seperti kotak-kotak seperti gambar pada sebuah lukisan. Suara air pegunungan segar dan belum tersentuh polusi gemericik mengalir kencang di tepi pematang. Tak kalah dengan sawah-sawah di Tabanan atau Ubud Bali.

Pagi hari tempat tetirah ini menyajikan pemandangan Gunung Ijen yang terlihat terang seakan dalam jangkauan tangan, dan kaki gunung menjulur memancarkan air membasahi sawah-sawah sampai petakan yang paling bawah di kaki bukit sana. Di dekat desa mereka ada hutan kecil yang kayu-kayunya mau tidak mau menjadi barang jarahan warga yang tak punya mata pencaharian untuk dijual.

“Begitulah yang terjadi beberapa tahun lalu sebelum kami memulai mendirikan Ijen Resort,” kata GM Ijen Resort Iswadi menerangkan. Sebenarnya pemilik resor, seorang yang berkecimpung di dunia pariwisata di Bali, tergiur untuk membangun di daerah lain seperti Lombok atau Sumbawa. Naluri romantisme dalam membangun daerah tanah kelahiran akhirnya membawanya ke Kluncing. Meski didera berbagai tantangan: mengenalkan daerah baru, dana promosi sendiri, pasar yang perlu diedukasi, sumber daya manusia yang tidak terdidik, dan kemungkinan penolakan masyarakat setempat.

Saat pembangunan, pihak manajemen Ijen Resort melatih penduduk setempat menjadi tukang batu, tukang kayu, atau keahlian lainnya, yang sekarang membawa mereka bisa bekerja di luar desa dengan keahliannya.

Jalanannya tak akan dilewati orang kecuali punya tujuan mengunjungi seseorang di dusun itu. Padahal sawah-sawahnya indah bukan kepalang, pematangnya bersusun, menakjubkan. Keterasingan membuat keindahan ini menjadi sesuatu yang terlewatkan sia-sia.

Resor itu berada sekitar 300 meter dari desa, terpencil berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadap persawahan di sekelilingnya. Hawa udara segar dan suasana hening merupakan keasyikan tersendiri pengunjung yang tiduran di tepi kolam renang, yang dindingnya seakan berdiri di pinggiran bukit dan airnya jatuh ke sawah-sawah di bawahnya. Kolam renang yang tidak begitu besar, namun sangat indah dengan Gunung Ijen di depannya seakan-akan menjaga keheningan yang tak boleh diusik kecuali oleh suara-suara burung di pepohonan sekitar.

Pihak resor sekarang mengerakkan ekonomi setempat. Mereka memperkerjakan hampir 90 persen penduduk lokal. Pengelola melatih warga dengan berbagai ketrampilan perhotelan dan kebahasaan, bahkan hingga fasih menguasai sistem manajemen online. Tadinya Ijen Resort juga dilengkapi dengan kamar untuk supir. Setelah beberapa tahun, Resort menutup fasilitas kamar tidur itu dan memberi referensi pegawainya untuk membuka rekening bank dan mendapat pinjaman atas jaminan pihak resor.

Sekarang beberapa penduduk yang bekerja di Resort, membangun sejumlah homestay empat lima kamar yang mereka sediakan untuk pemandu wisata maupun sopir. Dengan arahan ketat dari resor, homestay ini dibangun dengan persyaratan fasilitas yang lumayan bagus, seperti lantai keramik, kasur springbed, dan kamar mandi dalam. Pemilik homestay juga terbantu dengan menyediakan sarapan berupa kopi dan makanan kecil lainnya, dengan harga kampung.Meskipun, kata Sapawi, salah satu pemilik penginapan, kedatangan tamu beserta sopir dan pemandu wisata, biasanya hanya pada Juli, Agustus, dan September. Selebihnya, kamar-kamar yang bertarif antara Rp50.000-100.000 itu tanpa penghuni.

“Kalau pun terisi kadang hanya satu dua orang. Sepi.” Ibu Kepala Dusun, Wiwik, berharap penduduk desa bisa lebih banyak berkontribusi, misalnya dari sayuran yang ditanam di halaman rumah mereka yang subur, bisa dengan hidroponik juga. “Apakah bisa mengajukan ke desa untuk pelatihan hidroponik?” tanyanya. Saya hanya bisa memberinya saran agar mencoba bersurat kepada kepala desa.

“Kalau Anda foto, orang-orang pasti mengira ini Ubud,” ujar Iswadi. Para pegawai hotelnya mendapat berbagai pelatihan perhotelan, dan sebagian sekarang membekali diri dengan mempelajari berbagai bahasa asing. Penduduk desa juga membangun paguyuban yang menyediakan kendaraan untuk keliling Banyuwangi atau mendaki Gunung Ijen. Sekarang rumah-rumah berdinding bata, jalan desa yang dapat dilewati mobil pengangkut wisatawan sebagian sudah ber-paving dan hampir setiap rumah terparkir sepeda motor. Dan aliran air bersih mereka dapatkan dari kelebihan air dari yang dibutuhkan oleh Resor yang sudah membangun saluran pipa sepanjang 1.000 meter.

Usai menelisik kampung, saya duduk di kursi malas di tepi kolam memandang Gunung Ijen yang samar-samar tertutup mega dari kejauhan. Seorang turis dari Prancis sedang membaca novel, selonjoran tanpa mempedulikan sekitarnya, asyik dengan bukunya. Hawa pegunungan yang dingin tetapi tidak terlalu menusuk karena matahari yang masih menyembul memancarkan sinarnya. Di sekitar kolam, lima orang ibu-ibu kampung sedang membersihkan rumput liar yang tumbuh di sela-sela rumput jepang.