Pejalan Terakhir Larung Gar

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 15:00 WIB

Mata saya berbinar-binar. Pemandangan spektakuler yang tidak pernah saya lihat sebelumnya kini terhampar di depan mata. Ribuan rumah kayu berwarna merah tampak menggelayuti lembah. Tatkala pagi, kilau matahari menyingkap rumah-rumah merah dan biara utama yang berkilau keemasan. Sementara pada malamnya, rumah-rumah itu menyajikan kerlip ribuan lampu kecil yang berpendar.

Inilah keelokan pemandangan Biara Wuming, yang juga dikenal sebagai Biara Seda, atau nama bekennya Larung Gar Buddha Institute.

Pengalaman hidup ini tidak akan pernah saya lupakan. Kebetulan, saya menjadi fotografer terakhir yang berhasil memasuki kawasan “terlarang” ini sebelum terjadi perubahan besar. Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks kuil ini tak pernah sama seperti hari-hari sebelumnya.

Saya dan beberapa teman menempuh perjalanan darat sekitar 350 kilometer dari Chengdu ke Markeang. Kemudian hari berikutnya kami menyusuri jarak 380 kilometer yang sangat melelahkan menuju Kabupaten Seda.

Ini awal perjalanan yang menegangkan dan menjengkelkan pada Juni silam. Jelang memasuki pos pemeriksaan untuk memasuki Seda—sekitar 70 kilometer sebelum Larung Gar—beberapa petugas keamanan memberhentikan kami. Tak sekadar berhenti, kami dilarang keras untuk meneruskan perjalanan ke Seda. Alasannya, pemerintah menyatakan bahwa Larung Gar telah menjadi kawasan terlarang, kendati kami telah memiliki perizinan lengkap. 

Konflik domestik antara pemerintah Tiongkok dan Tibet telah membuat wajah kompleks kuil ini tak pernah sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sial! Kami memunguti sisa tenaga dan semangat yang nyaris pupus. Akhirnya, kami meneruskan perjalanan memutar hampir 400 kilometer supaya bisa memasuki Seda dengan aman. Celakanya, kami harus mengurus izin lagi dengan pemangku pariwisata setempat. Setelah menempuh perjalanan darat yang sangat panjang dan melelahkan sekitar hampir 20 jam dari Markeang, tibalah kami di Seda.

Sejatinya kondisi badan saya mulai melemah. Kami berada di ketinggian sekitar 4.000 meter di atas muka laut, dengan udara yang menipis dan suhu sekitar lima derajat celcius. Apapun kondisinya, saya mencoba bertahan untuk tetap bugar.

Seda—atau yang biasa disebut Sêrtar —merupakan kabupaten di Provinsi Sichuan, Tiongkok. Bagi warga Tibet, sêrtar bermakna “kuda mas”. Kabupaten ini terletak di sebelah tenggara dari dataran tinggi Tibet.

Di kabupaten inilah rumah bagi Larung Gar Buddha Institute, lembaga pemeluk Buddha Tibet yang terbesar di dunia, yang didirikan pada 1980.  Lembaga ini dihuni lebih dari 40.000 biarawan dan biarawati, mahasiswa, dan peziarah dari seluruh dunia.

Aktivitas para biarawan dan biarawati terlihat semenjak dini hari. Di pagi hari mereka melakukan doa dan meditasi, lalu dilanjutkan ceramah di beberapa tempat pendidikan.  Setiap pagi pula para siswa berjalan teratur menuju ke pusat-pusat biara utama untuk belajar.

Saya cukup takjub dengan kekuatan fisik mereka yang menempuh perjalanan dengan jalan kaki, kendati jarak ke tempat tempat studi cukup jauh. Mereka berjalan mendaki bukit, namun tak membuat mereka cepat lelah.

Biksu yang saya temui di sini berbeda dengan biksu yang pernah saya jumpai di negara lain.  Di sini mereka mempunyai kehidupan yang cukup mandiri. Mayoritas dari mereka mempunyai gawai cerdas untuk berkomunikasi, dan juga sepatu masa kini. Mereka juga bukan sebagai peminta sumbangan dari masayarakat sekitarnya, namun sebaliknya merekalah yang memberikan sedekah kepada fakir miskin.

Hidup mereka terlihat sangat disiplin, mulai saat bangun pagi untuk melakukan ritual sembahyang, belajar, dan mengakhiri aktivitas sore hari di perkebunan. Hidup mereka juga teratur, saya menyaksikan susunan peranti makan dan tempat penyimpanan barang di dalam seminari mereka.