Pejalan Terakhir Larung Gar

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 15:00 WIB

Di dalam kompleks tersebut, saya hanya menjumpai segelintir kedai makan dan tempat belanja keperluan sehari hari. Itu pun barang yang dijual adalah bahan pokok. Lantaran para biksu adalah vegetarian, saya pun menikmati santapan yang sangat bersahaja. Sementara air bersih cukup sulit didapatkan—karena mereka harus mengangkutnya dari sumber air menuju ke pondok. Di sini saya pun berhemat air.

Saat mendokumentasikan kehidupan para biksu, saya dihadapkan oleh satu kendala lagi. Tampaknya mereka sulit untuk diajak berbincang karena mereka umumnya tak menguasai bahasa Inggris. Selain itu mereka kerap menghindar ketika diabadikan. Kebanyakan dari mereka berusaha menunduk saat saya mencoba memotret mereka. Saya merasa maklum, mungkin biksu-biksu itu mendapat tekanan dari pemerintah Tiongkok atas publikasi media. Atau, mungkin saja saya kurang menjalin kedekatan dengan mereka.

Namun, di kawasan kuil ini saya terpukau oleh beberapa peziarah. Mereka melakukan ritual sembahyang dengan tengkurap-berdiri-berjalan-tengkurap lagi, demikian seterusnya. Dengan cara itu, para peziarah mengelilingi sebuah kuil sebanyak jumlah usia mereka.

Setiap kali saya mendengar cerita kuil malang ini, saya terkenang wajah-wajah para biarawan penghuni di rumah-rumah merah. Entah, di mana mereka kini berada. Semoga Buddha memberkati perjalanan mereka.

Saya keheranan saat mendapati dua orang yang mengangkut peti hitam sembari mengelilingi kuil beberapa kali. Belakangan saya baru tahu, ternyata peti hitam itu berisi jenazah. Mereka melakukannya jelang prosesi pemakaman khas Larung Gar, yang dijuluki “Pemakaman Langit”.

Ritual Thian Zeng atau “Pemakaman Atas Langit” merupakan ritual pemakaman penting bagi para penganut Buddha Tibet. Jenazah akan dipersembahkan sebagai santapan burung-burung bangkai. Upacara ini menautkan konsep Buddha perihal kemurahan hati dan kasih sayang.

Setelah menunggu beberapa jam lamanya, sekitar pukul dua sore, peti jenazah dan keluarganya mulai berdatangan.  Seorang berjubah hitam mempersiapkan upacara dengan memotong-motong bagian jenazah. Saya menyaksikan adegan yang mengerikan sekaligus memilukan. Namun, keluarga yang ditinggalkan tidak boleh menangisi ataupun menitikkan air mata saat melihatnya. Mereka harus merelakannya dengan hati ikhlas. Bagian kecil dari tubuh jenazah itu diberikan kembali kepada salah satu anggota keluarga, mungkin sebagai simbol atau kenang-kenangan.

Ketika para biksu membacakan mantra, burung-burung pemakan bangkai mulai berdatangan untuk menanti menyantapnya. Saya takjub, berpuluh burung bangkai datang tanpa ada seorang pun yang memberi komando.

Hanya dalam sekejap, jenazah yang telah terpotong-potong, termasuk dengan tulang-tulangnya, habis dilalap burung-burung pemakan bangkai.

Setelah acara selesai, saya melihat ada seorang ibu yang menaruh makanan diatas sekam api, yang sebagai simbol persembahan ucapan syukur.

Meski hanya mendapatkan kesempatan tinggal selama dua hari di Seda, saya sangat bersyukur. Bukan hal yang mudah untuk memasuki kawasan sakral dan terlarang, sekaligus mendokumentasikan budaya dan alamnya.

Saat meninggalkan dan menuruni wilayah Seda, saya berpapasan dengan konvoi ratusan truk tentara. Mereka melaju ke arah Biara Larung Gar. Saya menduga konvoi ini pasti berhubungan dengan keputusan pemerintah setempat yang menutup wilayah tersebut. Dugaan saya tidak meleset, dua hari kemudian saya mendapat kabar bahwa pemerintah telah memulai pembongkaran rumah-rumah merah secara maraton. Rencananya, kelak, dari 40.000 biarawan hanya tersisa sekitar 5.000 biarawan.

Saya mungkin telah ditakdirkan menjadi saksi mata terakhir yang merasakan budaya dan alam di sekitar Larung Gar. Setiap kali saya mendengar cerita kuil malang ini, saya terkenang wajah-wajah para biarawan penghuni di rumah-rumah merah. Entah, di mana mereka kini berada. Semoga Buddha memberkati perjalanan mereka.