“Pulau itu belum dikenal oleh orang-orang Eropa,” tulis Abel Janszoon Tasman di buku hariannya pada akhir November 1642. Sekitar pukul empat sore, dari atas kapal, dia menyaksikan pulau pertama yang dia jumpai setelah berlayar selama berbulan-bulan.
Tasman memimpin ekspedisi VOC yang membawa kapal Heemskerck dan Zeehaen. Mereka berlayar dari Batavia menuju kawasan selatan yang belum terpetakan. Kemudian, dia menjuluki pulau yang baru disaksikannya itu sebagai Daratan Van Diemen, dari nama sang gubernur jenderal saat itu. Namun, kelak, kita menjulukinya sebagai Tasmania—pulau yang luasnya sedikit lebih besar daripada Sulawesi Tengah.
Lebih dari tiga setengah abad kemudian, seperti apakah rupa daratan yang disaksikanTasman?
Pantulan sinar matahari meredup. Suasana biru bersaput jingga terlihat sendu dari jendela pesawat. Dari ketinggian, saya menengok ke hamparan daratan, pulau yang sama seperti yang disaksikan Meneer Tasman. Saya tiba di Launceston, kota di sisi utara Tasmania.
Setelah pukul enam sore, Launceston bak kota tidur. Hanya permukiman penduduk yang masih terlihat menyala-nyala, disertai lampu jalan dan lampu-lampu toko yang meredup. Nyaris tak dijumpai warga yang berada di luar rumah. Walaupun begitu kota ini terkenal sangat aman dan ramah.
Setiap akhir pekan kota ini menggelar pasar pagi atau pasar kaget. Berbeda dengan pasar di Tanah Air kita, di sini semuanya tersusun lebih rapi dan tertata di lapangan kota. Pasar ini tidak begitu besar, namun memiliki makna mendalam buat saya. Kesannya bersahaja, membuat saya betah menikmati tempat ini sambil duduk santai dan menyeruput kopi. Sebagian besar yang dijual adalah tanaman, buah, dan daging.
Saya menyewa mobil selama di Tasmania. Di sini banyak agen yang menyewakan mobil secara resmi. Perlu menyesuaikan diri apabila pertama kali mengendarai mobil di luar negeri, seperti saya. Sebelum perjalanan ke Tasmania, tentu saja, di Jakarta saya telah membuat Surat Izin Mengemudi yang berlaku internasional.
Teman seperjalanan saya menjadi obat yang membantu tetap terjaga. Kami melaju di sepanjang Highway Toll dari Launceston menuju Gunung Cradle.
Saya membayangkan betapa mendebarkannya pelayaran Abel Tasman menjelajahi dunia baru. Begitu juga saya, yang juga selalu berdebar-debar saat melaju di jalan raya di negeri orang ini. Selama di Tasmania, khususnya di jalan tol, saya selalu menjaga jarak dengan mobil di depannya, dan mematuhi batas kecepatan. Pada kenyataannya, saya justru diklakson karena terlalu lambat. Padahal, saya sudah memacu kecepatan di batas maksimal yang diperbolehkan.
Suatu saat, saya berkendara memasuki jalanan perdesaan. Tampaknya, saya merasa dibuntuti oleh sebuah mobil polisi. Saya tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Mobil polisi itu juga tidak kunjung memotong laju saya. Saya geregetan. Apa salah saya, ya Tuhan?
Saya menyerah, bukankah saya sedang di negeri orang. Pada akhirnya, saya berhenti di bahu jalan untuk pura-pura mengecek keadaan mobil saya, namun mobil polisi itu melaju mendahului saya. Uh, lega rasanya!
Rute menuju Gunung Cradle memang bisa ditempuh melalui jalan raya dan seterusnya masuk jalan perdesaan. Jalur yang paling sering digunakan dari Launceston biasa disebut Great Western Tier. Perjalanan akan menghabiskan waktu tiga jam dalam kecepatan normal, tanpa istirahat. Saya merasa waktu tempuhnya terhitung cukup lama, karena sejatinya jarak yang ditempuh tidak sejauh jarak antara Jakarta-Bandung.
Di Tasmania, apabila ada hewan yang tiba-tiba melintas di jalanan, disarankan untuk tidak berhenti mendadak demi keselamatan pengemudi lain.
Roda-roda mobil saya menggilas jalanan Kota Hansen, Westbury, dan Deloraine. Kota yang pasti disinggahi selama perjalanan ke Gunung Cradle. Saya menjulukinya kota-kota kecil dengan pesona yang berbeda.