Saya memacu mobil di jalanan yang menanjak tinggi di perbukitan. Pohon besar berusia ratusan tahun dan jalan yang semakin menyempit selalu mengintai sepanjang jalan. Jarang sekali kami bisa berpapasan dengan sesama pengunjung di jalur ini. Jalur ini sangat menyenangkan saya karena sepi dan tenang.
Sesekali saya melihat bangkai wallaby—satwa yang mirip kanguru tetapi bukan kanguru—tergeletak mati terlindas kendaraan di jalanan. Di Tasmania, apabila ada hewan yang tiba-tiba melintas di jalanan, disarankan untuk tidak berhenti mendadak demi keselamatan pengemudi lain. Seorang teman pernah berkata, risikonya, bagian depan mobil akan rusak apabila menabrak binatang besar seperti kanguru. Jadi, ujarnya, pastikan mobil telah diasuransikan.
Cuaca buruk menghampiri ketika saya memasuki area Historical National Park Mount Cradle. Langit begitu gelap, tanda hujan segera melanda. Sungguh mujur, saya mendapatkan tempat bermalam yang layak tinggal.
Panorama paling ikonik di Gunung Cradle adalah Danau Dove. Seorang petugas informasi bercerita kepada saya, bahwa danau dan gunung ini seperti sepasang anak manusia yang memadu kasih. “The Lover,” katanya.
Apa yang paling menyenangkan ketika jalan-jalan di luar negeri? Bagi saya, jawabannya adalah bertemu sesama warga Indonesia. Selama saya di Tasmania, hanya sekali saya menemukan orang Indonesia itu pun di Gunung Cradle—daerah terpelosok.
Ketika bersantap malam di sebuah restoran hotel, saya dilayani oleh pramusaji asal Indonesia. Sang pramusaji, seorang lelaki kurus berkacamata, menyapa saya setelah mendengar saya menerima telepon dalam bahasa Indonesia. Kami pun berkenalan, namun saya lupa namanya. Setahu saya dia berasal dari Bandung. Katanya ada satu orang Indonesia lagi di Gunung Cradle, yang magang di hotel yang sama, sebagai chef. Bangga juga mendengarnya.
Saya bertanya, mengapa bersedia jauh-jauh magang ke tempat ini. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang magang di sebuah perguruan tinggi di Sydney. Di Gunung Cradle, ujarnya, dia bisa berhemat karena tempat ini begitu terpencil. Semua biaya hidup ditanggung oleh hotel. Lagipula di sini dia mendapat pengalaman di hotel kelas internasional.
Hobart adalah kota terakhir yang saya kunjungi. Inilah ibu kota Tasmania, yang ramah bagi pejalan kaki. Pusat kota tidak jauh dari pelabuhan yang biasanya disebut Port of Hobart. Di kawasan ini saya berkesempatan mengunjungi bangunan-bangunan tua yang menjadi tengara kota.
Apa yang paling menyenangkan ketika jalan-jalan di luar negeri? Bagi saya, jawabannya adalah bertemu sesama warga Indonesia.
Saya sengaja tidak mencari informasi mengenai desa-desa ini dari internet. Alasannya, saya ingin mendapatkan kejutan tak terduga sepanjang perjalanan. Banyak sekali kejutan menarik dalam perjalanan ini, seperti ketika singgah di sebuah desa bernama Tullah. Desa kecil ini hanya sepanjang satu kilometer dengan jumlah rumah yang dapat dihitung cepat. Bahkan ketika saya memutari desa ini, saya tidak melihat seorang pun kendati domba-domba berkeliaran. Betapa tenang kehidupan di Tullah.
Desa unik lainnya adalah Queenstown. Kalau saya perhatikan, Queenstown laksana kota koboi di film barat. Bedanya jalanan di sini beraspal. Kantor polisi di sini tidak seperti kebanyakan kantor polisi di Indonesia. Apabila mau melaporkan sesuatu, kita harus memencet bel karena kantornya selalu tertutup.
Perhentian terakhir adalah Gunung Kunyanyi, salah satu bagian terindah Kota Hobart. Saya berkendara menuju puncak gunung itu sesaat setelah menghabiskan suasana surya tenggelam. Tampaknya, saya salah waktu. Seharusnya saya menuju gunung ini ketika hari masih terang. Bagi mereka yang takut ketinggian, seperti saya, berkendara mencumbu gunung ini sungguh menyeramkan. Jalan sempit yang menanjak dan berseberangan dengan jurang, tampaknya membuat saya gentar. Apalagi ketika gelap sudah menyergap.
Saya menyerah. Perjalanan malam itu akhirnya saya akhiri jelang dua kilometer sebelum mencapai puncak. Gunung ini sebenarnya memiliki pesona tersendiri ketika malam hari karena panorama malam Kota Hobart. Mobil sewaan saya kembali merangkak pelan menuju kota.
Boleh dikata, petualangan saya serupa dengan Abel Tasman. Mungkin saya sedikit berlebihan, namun kami memulai perjalanan kawasan yang sama: Hindia Timur, kini Indonesia. Kami juga bertualang tanpa bekal informasi yang mencukupi: Tasman tidak memiliki peta kawasan ini, begitu juga saya yang sengaja tidak mengandalkan informasi dari internet. Dan, saya rasa kami berdua mungkin menyesal karena tak punya waktu cukup untuk menjelajahi daratan ini.
Oh ya, Abel Tasman memang lahir di Groningen Belanda. Namun, dia menjadi pegawai VOC di Batavia, dan hingga akhir hayatnya menetap di kota itu. Entah, apakah boleh saya mengatakan bahwa sebenarnya Tasmania ditemukan oleh warga Jakarta?